Politik Mesir dan Minoritas (yang masih ingin) Berkuasa
Oleh: Musa Yusuf
AWAL Januari ini, Komisi Pemilihan Umum Mesir mengumumkan kemenangan Partai Kebebasan dan Keadilan (PKK) bentukan Al Ikhwan al Muslimun dan Partai Nur bentukan Salafy dalam pemilu legislatif tahap ketiga. Hasil penghitungan suara dari pemilu tahap ketiga ini menyatakan kemenangan telak PKK dengan 41% suara dari kursi parlemen yang diperebutkan. Sementara itu Partai an Nur berhasil memperoleh 20 % suara.Hasil perolehan ini, dipastikan, Pemilu yang akan menentukan keanggotaan dari 498 kursi majelis rendah ini dimenangi kelompok Islam. Tapi benarkah demikian? Tunggu dulu.
Meski partai Islam menang, militer telah menyiapkan lembaga Dewan Penasehat yang dibentuk Angkatan Bersenjata Mesir yang bisa melakukan pembentukan konstitusi. Inilah yang dibertkan Al Ikhwan al Muslimun (Ikhwan). Bagi Ikhwan tak ada lembaga tertinggi yang bisa menentukan konstitusi kecuali partai pemenang Pemilu yang sah.
Wajar saja jika Ikhwan mengancam akan kembali menyerukan demonstrasi di jalanan kepada seluruh rakyat untuk menentang Dewan Penasehat.
Aksi Jalanan
Sejak tumbangnya rezim Husni Mubarak yang telah berkuasa selama tiga dekade, masyarakat Mesir akhirnya dapat menghirup atmosfer kebebasan. Ekspresi kebebasan terlihat jelas dari lahirnya puluhan stasiun televisi, koran, majalah, hingga partai politik yang tumbuh menjamur di negara itu.
Terhitung 18 partai politik didirikan pasca revolusi yang tujuh di antaranya adalah partai Islam dan tiga partai liberal. Media masa yang dulu tak leluasa bergerak, persis dengan orde baru di Indonesia yang mengekang kebebasan pers, kini bebas.
Hanya saja beragamnya aliran pergerakan yang berada di balik puluhan media masa dan partai tersebut, acap-kali mendorong timbulnya konflik sektarian yang meminta korban jiwa. Kebebasan agaknya disalahartikan bahwa setiap warga berhak menyuarakan argumennya dan orang lain harus mengikuti pendapat tersebut.
Rakyat Mesir meyakini bahwa metode ini dinilai superior dan manjur mewujudkan segala keinginan rakyat. Karena dengan cara inilah mereka mampu menggulingkan tirani Mubarak sebagai diktator tak tergoyahkan. Lantas siapa pun pemimpin mereka setelah Mubarak yang dinilai tak becus mengakomodir keinginan rakyat, maka demonstrasi adalah jalur tunggal yang mampu “menegur” mereka.
Oleh karena itu, tak heran jika dalam setahun perdana menteri Mesir mengalami bongkar-pasang empat kali silih-berganti. Mereka adalah Ahmad Nadzif, Ahmad Syafiq, Essam Syaraf dan Kamal Ganzouri yang semuanya diangkat atau diturunkan melalui demonstrasi rakyat. Dan tentu saja, setiap perdana menteri yang baru diangkat akan melakukan reshuffle susunan kabinet sebelumnya.
Realita ini menunjukkan bahwa demonstrasi yang hanya dilakukan oleh segelintir rakyat Mesir mampu memonopoli kebijakan mayoritas warga dan menerobos konsep parlementer sebagai jalur normatif yang seharusnya ditempuh. Pada posisi seperti ini aspirasi orang jalanan dan preman bayaran yang kerap menimbulkan kerusakan materil saat demonstrasi, menjadi suara penentu kebijakan negara.
Selain itu, fakta baru sudah tak bisa ditutupi lagi. Berakhirnya Pemilu parlemen gelombang pertama (06/12/2011) kemarin menunjukkan kemenangan signifikan kelompok-kelompok Islam.
Maka salah satu cara untuk mengebiri kebijakan parlemen mendatang yang akan didominasi kubu Islam; kaum liberal dan sekular berasosiasi untuk terus memperkuat otoritas demonstrasi lapangan tersebut. Lalu lahirlah istilah “Al-Maidan Maugud” yang secara bahasa berarti “Lapangan Tersedia”.
Maksudnya, bahwa lapangan (boulevard) atau pusat kota yang menjadi tempat para demonstran memaksakan aspirasi mereka kepada pemerintah, siap beraksi kapan saja untuk “mencekal” kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan.
Kaum liberal juga gencar berkonspirasi menyuguhkan ketakutan yang akan terjadi jika kubu Islam berkuasa. Mereka mengopinikan bahwa Mesir akan dijadikan Iran kedua, turis yang datang ke negeri ini diwajibkan bercadar, patung-patung Fir’aun akan diberangus dan itu akan mematikan sektor pariwisata, kaum Kristen Koptik tidak boleh menduduki parlemen, wanita dilarang bekerja, Kaum Islam akan menggeret Mesir menuju perang melawan Israel karena pembebasan Masjidil Aqsa, dan segunung ketakutan spekulatif yang belum terwujud namun sudah ditanamkan dalam opini publik seolah itu pasti terjadi.
Selain itu, kubu liberal sangat oportunis memanfaatkan konflik antara Salafy dan Kristen Koptik (Qibty) yang terjadi beberapa bulan silam, lalu mengungkit kembali kasus tersebut hingga ketakutan kaum Koptik kian menjadi.
Lalu bagaimana jika itu semua terjadi? Maka mereka akan menggunakan kata kunci “Al-Maidan Maugud” dan menyatakan bahwa lapangan Tahrir di Kairo yang merupakan simbol revolusi dan seluruh lapangan di kota-kota besar Mesir, siap melangsungkan revolusi jilid dua, tiga dan seterusnya hingga “kebebasan” yang mereka inginkan tercapai.
Indikasi ini memperkuat sinyal bahwa iklim demokrasi di Mesir lamban untuk pulih ke arah stabilitas, karena setiap demokrasi selalu melahirkan oposisi, dan dalam bingkai demokrasi di Mesir, kubu minoritas liberal-sekular sebagai koalisi oposisi telah memvonis Tahrir Square sebagai senjata mereka guna memanuver kebijakan mayoritas kubu Islam.
Hal ini akan rentan menimbulkan konflik internal yang berpotensi menghambat kebangkitan ekonomi negara dari status krisis.
Bahkan sepekan sebelum pemilu parlemen berlangsung, unjukrasa di lapangan Tahrir yang kontra terhadap otoritas militer –dan mampu menggulingkan kabinet Essam Syaraf– ditandingi oleh demonstrasi di lapangan Abbasiyah yang mendukung dewan militer.
Oleh karena itu, Kamal Ganzouri sebelum diangkat oleh dewan militer menjadi Perdana Menteri menggantikan Essam Syaraf, ia sempat berkata di Nile TV –stasiun berita milik negara– bahwa, “Seandainya Umar bin Khattab sekalipun yang saat ini berada di antara masyarakat Mesir, para demonstran takkan pernah menemui kata mufakat untuk mengangkat Umar menjadi pemimpin mereka.”
Semua, tak lain karena prediksi pengunjuk-rasa di lapangan Tahrir melenceng. Mereka berharap ElBaradei –kubu liberal– sebagai sosok pengganti Essam Syaraf yang didukung media asing menang. Tapi justru parpol Islam menang telak. Hanya saja, meski kubu Islam menang dalam pemilu parlemen gelombang pertama, mereka masih harus dihadapkan permasalahan serius yaitu kekuasaan Tahrir Square yang digerakkan oleh oposisi.
Asumsi publik beredar bahwa apapun hasil pemilu nanti, semua seakan sia-sia karena Tarir Square telah berkuasa. Suasana politik Mesir kedepan pun masih penuh tanda tanya, karena hasil Pemilu parlemen baru final pada 13 Januari 2012 mendatang, dan dalam rentang waktu menuju Pemilu presiden pada 30 Juni 2012 banyak strategi yang mungkin digulirkan oleh oposisi dengan slogan andalan mereka “Al-Maidan Maugud”. Yang secara tidak langsung menyatakan bahwa kekuasaan mutlak berada di tangan demonstran.
Ini artinya, meskipun kubu Islam telah memenangkan Pemilu parlemen Mesir, namun realita di lapangan bisa jadi berkata lain. Maklum, ini semua terjadi karena masih ada minoritas yang akan terus menggerogoti kemenangan kelompok Islam. Mereka seolah menyatakan bahwa mayoritas biarlah menjadi yang terbanyak hanya secara formalitas saja. Sedangkan di lapangan, minoritas-lah yang kan berkuasa. Yah, begitulah kira-kira “demokrasi”.*
Penulis adalah Mahasiswa Al-Azhar Kairo
Sumber : http://hidayatullah.com/read/20608/11/01/2012/politik-mesir-dan-minoritas-%28yang-masih-ingin%29-berkuasa.html
salam berkarya mas bro,,
BalasHapussaya titip alamat blog saya agar kita bisa berbaagi..
http://rudiyantoblog.blogspot.com/2012/01/credy-patty-dan-masalah-pertambangan.html