Menyoalkan Kepemimpinan Muda
Hasil survey Lingkaran Survey Indonesia (LSI) kembali menuai kontroversi. Kali ini diumumkan kepada publik bahwa tokoh muda belum layak menjadi calon presiden tahun 2014 nanti. Menurut hasil survey LSI, tokoh muda belum layak karena hanya mendapatkan dukungan publik sebesar 3% saja. Tiga tokoh politisi muda yang di survey diantaranya Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum (42), Ketua DPP PDIP Puan Maharani (38) dan Sekjen Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono (31).
Pasca pengumuman hasil survey ini kritikaan banyak muncul. Menurut Siti Zuhro (Gatra, 31/10/11) Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai bahwa lembaga survei politik cenderung “maju tak gentar membela yang bayar”. Munculnya hasil survei seperti itu, dinilai berbahaya bagi opini publik. Apalagi, dilakukan dengan tidak cermat. Survey ini bukan lagi persoalan hasil di lapangan yang disajikan. Tetapi melakukan pembenaran bahwa calon tertentu dinilai populer, berdasarkan data statistik yang masih diragukan. Sehingga bukan lagi lembaga survey, tapi cenderung pada penggiringan publik.
Di ranah media, kontroversi soal survey ini masih berlangsung. Hanya sebenarnya, dalam konteks ini, yang perlu mendapat perhatian lebih serius bukan soal survey itu sendiri. Atau meributkan lembaga survey yang bersangkutan. Justru yang lebih substansial adalah soal kepemimpinan muda itu sendiri.
Dalam sejarah gerakan mahasiswa (muda), persoalan kepemimpinan kaum muda ini memang menjadi persoalan yang tak kunjung usai. Salah satu yang pernah mengemuka adalah gagasan tentang potong generasi. Sebuah gagasan yang cukup revolusioner sebagai solusi atas kebuntuan kepemimpinan pasca penggulingan rezim zalim yang pernah berkuasa.
Alih-alih melakukan gerakan sistemik potong generasi, yang terjadi justru anak-anak muda tersebut ramai-ramai masuk ranah politik praktis. Bergabung dengan partai-partai politik yang kemudian muncul dan menjamur.
Jadi, ketika lembaga survey atau media kembali mengangkat isu kepemimpinan muda, tak lain tak bukan sedang menyorot anak-anak muda di berbagai parpol itu. Memang, konstitusi masih membuka lebar akan datangnya misalnya calon independen untuk calon presiden. Tapi, rasanya perjuangan ke arah sana masih cukup panjang. Lantas, bagaimana debat kepemimpinan muda menjadi diskursus yang substantif dan produktif? Dan bagaimana peluang kepemimpinan muda menjadi mungkin?
Harapan atas kepemimpinan kaum muda, tentu saja tak lepas dari angin perubahan yang ingin segera terwujud. Kita sudah lelah dengan sepak terjang para elit-elit politik tua bangka yang saat ini masih bercokol dengan kuat. Menghegemoni sistem kepartaian serta menutup akses strategis bagi munculnya kepemimpinan muda. Sementara, aktivis-aktivis muda pun sebenarnya tak semua bisa diharapkan. Terlalu banyak problem serius yang menghinggapi mereka. Yang paling nyata tentu nuansa pragmatisme politik serta gejala oportunis yang begitu kental dan nyata. Yang demikian barangkali penyebab publik pun ragu dengan kapasitas mereka. Coba kita lihat.
Dari Partai Demokrat nama Anas Urbaningrum mungkin masih terbilang cukup bersih. Hanya, saat menahkodai kapal besar itu, sebagian besar awaknya adalah orang-orang busuk, culas dan penjilat nomer wahid. Terutama pada ketua Dewan Pembinanya yang sekarang bercokol sebagai presiden RI . Anas tak bisa berbuat banyak, tersandera oleh sistem dan budaya kepartaiaan yang mengkungkungnya. Sementara, Edi Baskoro, tokoh ini tak jelas dari mana datangnya, tak jelas visi dan pemikirannya. Hanya kebetulan bisa berlindung dan numpang eksis di ketiap bapaknya. Jelas, tak ada yang bisa diharapkan dari tokoh ini.
Puan Maharani, barangkali masih lebih bagus. Walau tak lepas dari bayang-bayang ibunya, Megawati. Tokoh ini juga digadang-gadang bakalan berpeluang dan ikut tampil dalam bursa capres 2014. Hanya saja rasanya, publik juga belum tahu banyak mengenai kapasitas dan visi tokoh ini. Sementara, tokoh PDIP lain, Budiman Sujadmiko misalnya, di berbagai forum, media dan koran, ide-ide perubahannya muncul dan perlu diapresiasi, begitu juga langkah nyatanya membangun basis advokasi arus bawah lewat ”Rumah Aspirasi Budiman”. Akankah tokoh ini cukup punya nyali muncul sebagai pemimpin muda? Kita tunggu saja.
Di tubuh PKS, ada intelektual dan tokoh muda yang layak dipertimbangkan. Misalnya Andi Rahmat. Tokoh muda, mantan Ketua KAMMI yang cukup fenomenal dalam pembahasan kasus Century beberapa waktu lalu. Cukup cerdas, punya visi dan ide-ide segar. Hanya, setelah kasus tersebut lenyap, lenyap pulalah kiprah tokoh satu ini. Setidaknya hilang dalam liputan media.
Malah, yang muncul tokoh kotroversial macam Fahri Hamzah. Tokoh muda PKS juga yang begitu bernafsu membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dinilainya, KPK tak mampu bekerja secara baik memberantas korupsi, maka perlu dibubarkan. Sebuah pemikiran picik. Tak pernah berkaca pada dirinya sebagai anggota DPR, lagaknya sudah bisa berkiprah baik saja. Orang semacam ini, lebih pantas segera di lempar dari Senayan.
PKS, saya kira justru perlu mangapresiasi dan memberikan keleluasaan untuk berkiprah pada tokoh semacam Andi Rahmat yang, setidaknya sampai saat ini masih cukup bersih dan bisa diandalkan untuk penyegaran atas ide-ide perubahan ke depan.
Di Partai Golkar, ada Indra J Piliang. Tokoh yang berawal dari aktivis, kemudian menjadi analisis politik, lantas masuk ke politik praktis. Ide-ide tokoh ini masih cukup segar bagi perubahan menuju tatanan yang lebih baik. Nampak dari kolom-kolomnya yang tersebar di media massa. Hanya saja, kiprahnya dalam politik praktis masih belum cukup beruntung. Masih terseok-seok, belum berhasil masuk ke dalam sistem, misalnya sebagai anggora DPR. Sekarang, masih menjadi tokoh di partai Golkar. Akankah, tokoh ini ke depan juga akan berhasil membawa arus perubahan di ranah kekuasaan? Kita tunggu saja.
Begitulah, problem-problem masih menghinggapi bagi munculnya kepemimpinan muda. Barangkali benar kata Eep Saifuloh Fatah, bahwa untuk menuju republik ini menjadi terkondisi pada tatanan yang lebih baik lagi dan sejahtera, perlu adanya sebuah ”Kesabaran Revolusioner”. Kata yang cukup ideologis dan magis. Kata yang membuka mata bawa perjalanan menuju kepemimpinan muda memang masih cukup panjang. Jalan, yang sudah pasti dilalui oleh para pejuang. Dan hanya pengecut dan pecundanglah yang menyerah pada keadaan. []
Yons Ahmad, Mantan aktivis KAMMI dan Ketua Forum Studi Kenegaraan (FSK) Jakarta.
Pasca pengumuman hasil survey ini kritikaan banyak muncul. Menurut Siti Zuhro (Gatra, 31/10/11) Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai bahwa lembaga survei politik cenderung “maju tak gentar membela yang bayar”. Munculnya hasil survei seperti itu, dinilai berbahaya bagi opini publik. Apalagi, dilakukan dengan tidak cermat. Survey ini bukan lagi persoalan hasil di lapangan yang disajikan. Tetapi melakukan pembenaran bahwa calon tertentu dinilai populer, berdasarkan data statistik yang masih diragukan. Sehingga bukan lagi lembaga survey, tapi cenderung pada penggiringan publik.
Di ranah media, kontroversi soal survey ini masih berlangsung. Hanya sebenarnya, dalam konteks ini, yang perlu mendapat perhatian lebih serius bukan soal survey itu sendiri. Atau meributkan lembaga survey yang bersangkutan. Justru yang lebih substansial adalah soal kepemimpinan muda itu sendiri.
Dalam sejarah gerakan mahasiswa (muda), persoalan kepemimpinan kaum muda ini memang menjadi persoalan yang tak kunjung usai. Salah satu yang pernah mengemuka adalah gagasan tentang potong generasi. Sebuah gagasan yang cukup revolusioner sebagai solusi atas kebuntuan kepemimpinan pasca penggulingan rezim zalim yang pernah berkuasa.
Alih-alih melakukan gerakan sistemik potong generasi, yang terjadi justru anak-anak muda tersebut ramai-ramai masuk ranah politik praktis. Bergabung dengan partai-partai politik yang kemudian muncul dan menjamur.
Jadi, ketika lembaga survey atau media kembali mengangkat isu kepemimpinan muda, tak lain tak bukan sedang menyorot anak-anak muda di berbagai parpol itu. Memang, konstitusi masih membuka lebar akan datangnya misalnya calon independen untuk calon presiden. Tapi, rasanya perjuangan ke arah sana masih cukup panjang. Lantas, bagaimana debat kepemimpinan muda menjadi diskursus yang substantif dan produktif? Dan bagaimana peluang kepemimpinan muda menjadi mungkin?
Harapan atas kepemimpinan kaum muda, tentu saja tak lepas dari angin perubahan yang ingin segera terwujud. Kita sudah lelah dengan sepak terjang para elit-elit politik tua bangka yang saat ini masih bercokol dengan kuat. Menghegemoni sistem kepartaian serta menutup akses strategis bagi munculnya kepemimpinan muda. Sementara, aktivis-aktivis muda pun sebenarnya tak semua bisa diharapkan. Terlalu banyak problem serius yang menghinggapi mereka. Yang paling nyata tentu nuansa pragmatisme politik serta gejala oportunis yang begitu kental dan nyata. Yang demikian barangkali penyebab publik pun ragu dengan kapasitas mereka. Coba kita lihat.
Dari Partai Demokrat nama Anas Urbaningrum mungkin masih terbilang cukup bersih. Hanya, saat menahkodai kapal besar itu, sebagian besar awaknya adalah orang-orang busuk, culas dan penjilat nomer wahid. Terutama pada ketua Dewan Pembinanya yang sekarang bercokol sebagai presiden RI . Anas tak bisa berbuat banyak, tersandera oleh sistem dan budaya kepartaiaan yang mengkungkungnya. Sementara, Edi Baskoro, tokoh ini tak jelas dari mana datangnya, tak jelas visi dan pemikirannya. Hanya kebetulan bisa berlindung dan numpang eksis di ketiap bapaknya. Jelas, tak ada yang bisa diharapkan dari tokoh ini.
Puan Maharani, barangkali masih lebih bagus. Walau tak lepas dari bayang-bayang ibunya, Megawati. Tokoh ini juga digadang-gadang bakalan berpeluang dan ikut tampil dalam bursa capres 2014. Hanya saja rasanya, publik juga belum tahu banyak mengenai kapasitas dan visi tokoh ini. Sementara, tokoh PDIP lain, Budiman Sujadmiko misalnya, di berbagai forum, media dan koran, ide-ide perubahannya muncul dan perlu diapresiasi, begitu juga langkah nyatanya membangun basis advokasi arus bawah lewat ”Rumah Aspirasi Budiman”. Akankah tokoh ini cukup punya nyali muncul sebagai pemimpin muda? Kita tunggu saja.
Di tubuh PKS, ada intelektual dan tokoh muda yang layak dipertimbangkan. Misalnya Andi Rahmat. Tokoh muda, mantan Ketua KAMMI yang cukup fenomenal dalam pembahasan kasus Century beberapa waktu lalu. Cukup cerdas, punya visi dan ide-ide segar. Hanya, setelah kasus tersebut lenyap, lenyap pulalah kiprah tokoh satu ini. Setidaknya hilang dalam liputan media.
Malah, yang muncul tokoh kotroversial macam Fahri Hamzah. Tokoh muda PKS juga yang begitu bernafsu membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dinilainya, KPK tak mampu bekerja secara baik memberantas korupsi, maka perlu dibubarkan. Sebuah pemikiran picik. Tak pernah berkaca pada dirinya sebagai anggota DPR, lagaknya sudah bisa berkiprah baik saja. Orang semacam ini, lebih pantas segera di lempar dari Senayan.
PKS, saya kira justru perlu mangapresiasi dan memberikan keleluasaan untuk berkiprah pada tokoh semacam Andi Rahmat yang, setidaknya sampai saat ini masih cukup bersih dan bisa diandalkan untuk penyegaran atas ide-ide perubahan ke depan.
Di Partai Golkar, ada Indra J Piliang. Tokoh yang berawal dari aktivis, kemudian menjadi analisis politik, lantas masuk ke politik praktis. Ide-ide tokoh ini masih cukup segar bagi perubahan menuju tatanan yang lebih baik. Nampak dari kolom-kolomnya yang tersebar di media massa. Hanya saja, kiprahnya dalam politik praktis masih belum cukup beruntung. Masih terseok-seok, belum berhasil masuk ke dalam sistem, misalnya sebagai anggora DPR. Sekarang, masih menjadi tokoh di partai Golkar. Akankah, tokoh ini ke depan juga akan berhasil membawa arus perubahan di ranah kekuasaan? Kita tunggu saja.
Begitulah, problem-problem masih menghinggapi bagi munculnya kepemimpinan muda. Barangkali benar kata Eep Saifuloh Fatah, bahwa untuk menuju republik ini menjadi terkondisi pada tatanan yang lebih baik lagi dan sejahtera, perlu adanya sebuah ”Kesabaran Revolusioner”. Kata yang cukup ideologis dan magis. Kata yang membuka mata bawa perjalanan menuju kepemimpinan muda memang masih cukup panjang. Jalan, yang sudah pasti dilalui oleh para pejuang. Dan hanya pengecut dan pecundanglah yang menyerah pada keadaan. []
Yons Ahmad, Mantan aktivis KAMMI dan Ketua Forum Studi Kenegaraan (FSK) Jakarta.
0 komentar: