Sejarah Bima
Sumber : http://alan-malingi.blogspot.com
Dari Kamina Hingga Nggusu Waru
![]() |
Masjid Kamina dibangun di atas bekas masjid aslinya. |
Kamina adalah nama sebuah dusun di pegunungan sisi selatan
tanah Bima. Dari puncak Kamina atau yang saat ini dikenal dengan Desa Kalodu
membentang eksotisme teluk Waworada. Kamina atau Kalodu adalah nama sebuah desa
dari kecamatan Langgudu Kabupaten Bima. Desa ini punya sejarah panjang terkait
masuknya islam di tanah Bima. Kenapa dinamakan Kamina ? dan apa hubungannya
dengan filosofi Nggusu Waru yang menjelma dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat
Bima hingga saat ini ? Kita mulai dari Kamina. Di desa ini terdapat sebuah
masjid yang diberinama Kamina. Diberi nama Kamina, karena orang-orang di
sinilah yang pertama meng-amini Islam yang rahmatan lil alamin. Dalam bahasa
Bima Ka berarti yang. Sedangkan Amina adalah yang mengaminkan. Jadi dinamakan
Kamina karena orang-orang disinilah yang pertama menerima islam.
![]() |
Trap/tangga menuju Masjid Kamina |
Masjid kuno ini oleh
masyarakat Mbojo (Bima) diberi nama “ Sigi Kalodu atau Sigi Kamina” (Sigi
berarti Masjid). Didirkan sekitar tahun 1621 M. Oleh jena Teke La Kai ( setelah
memeluk agama Islam bernama Abdul Kahir ), bersama beberapa Mubalig dari
Sulawesi Selatan ( Goa, Tallo, Luwu dan Bone ) dan para pengikut Jena Teke
Abdul Kahir ( Jena Teke berarti Putera Mahkota ). Sigi Kalodu merupakan masjid
kuno tertua di Bima setelah Masjid kuno Kampo NaE ( Kampung NaE ) kecamatan
Sape. Masjid ini juga didirikan oleh para mubalig dari Gowa, Tallo, Luwu dan
Bone, beberapa tahun sebelum Masjid Kalodu di bangun. Sebelum masjid Kalodu di
bangun, Dusun Kalodu merupakan tempat persembunyian Jena Teke La Kai bersama
pengikutnya, yang terpaksa meninggalkan Istana karena mau dibunuh oleh pamanya
yang bernama Salisi. Dengan bantuan Belanda Salisi berambisi mengambil alih
kekuasaan, walau tidak di setujui oleh Lembaga Hadat Dana Mbojo ( Lembaga
Pemerintahan Kerajaan ). Pada tahun 1621 M, Jena Teke La Kai bersama pengikut
berangkat ke Sape untuk menemui para mubalig dari Sulawesi Selatan yang datang
untuk menyiarkan agama Islam serta ingin menyampaikan pesan raja Gowa dan Tallo
kepada Raja dan keluarga Istana Bima. Karena itu raja-raja Sulawesi Selatan di
Sape, maka pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1030 H ( 7 Februari 1621 ) Jena Teke La
Kai bersama pengikutnya memeluk agama Islam dengan mengucapkan dua kalimat
syahadat di hadapan para gurunya. Sejak itu nama La Ka’I juga bernama Bumi Jara
Mbojo bernama Awaluddin, La Mbilla bernama Jalaluddin, Manuru Bata Putera Raja
Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese bernama Sirajuddin. Beberapa bulan setelah
memeluk agama Islam, Jena Teke Abdul Kahir bersama pengikut didampingin oleh
beberapa orang gurunya dari Sulawesi Selatan kembaliu menuju Dusun Kalodu.
Setelah berada di Kalodu mereka mendirikan sebuah Masjid, selain sebagai tempat
ibadah juga menjadi pusat kegiatan dakwah. Mulai saat itu Dusun Kalodu menjadi
pusat penyiaran Islam, selain Kampo Sigi (Kampung Sigi ) di sekitar Desa NaE
kecamatan Sape.
![]() |
Menyusuri kampung Kamina |
Karena bangunan kuno
tersebut sudah lama tiada, di telan zaman maka sulit untuk diketahui dengan
pasti bagaimana sesungguhnya ( Arsitektur ) Masjid Kalodu menurut Bo Asi ( Bo
Istana ) yaitu catatan kuno peninggalan Kesultanan Bima, bentuk Masjiod Kalodu
di gambarkan sebagai berikut:
1.
Bangunan masjid berbentuk
segi empat sama sisi ( bujur sangkar ) dan tidak memiliki migrab seperti
lazimnya sebuah Masjid pada masa berikutnya. Empat sisi yang sama itu merupakan
simbol empat orang putera dan keluarga Raja yang memeluk Agama Islam yaitu La
kai ( Abdul Kahir ), Bumi Jara Mbojo (Awaluddin ), La Mbilla ( Jalaluddin ) dan
Manuru Bata Putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese ( Sirajuddin ). Selain itu
empat buah sisi bangunan merupakan simbol daerah assal para gurunya yaitu Gowa,
Tallo, Luwu dan Bone.
2.
Tiang bangunan masjid ada
delapan, yang berbentuk nggusu waru (segi delapan) merupakan simbol dari empat
orang putera dan keluarga Istana dan empat daerah asal para ulama yang menjadi
Guru mereka yaitu Gowa, Tallo, Luwu dan Bone.
3.
Tidak dijelaskan luas
bangunan induk dari bangunan masjid tersebut. Mungkin bisa diketahui dari luas
bekas bangunan yang sampai sekarang masih dapat di saksikan. Luas bangunan
Masjid + 2 Are, belum terhitung luas tempat tinggalnya Jena Teke (Abdul Kahir)
bersama pengikut dan anggota masyarakat yang datang untuk belajar agama Islam.
![]() |
Komunitas JELAJAH memberikan bantuan warga Kamina |
Dalam Bo Istana tidak
dijelaskan jenis bahan bangunan Masjid, tetapi besar dugaan bahwa bangunan itu
dibuat dari kayu, karena kayu marupakan bahan utama dari semua jenis bangunan
mereka termasuk rumah tempat tinggal. Dugaan itu semakin kuat, mengingat Dusun
Kalodu berada di tengah hutan belantara, yang banyak menyediakan berbagai jenis
kayu untuk bahan bangunan. Atap masjid, mungkin dibuat dari “ Arti “ atau
“Kandolo” (jenis ilalang) yang banyak tumbuh di daerah dataran tinggi, yang
sampai sekarang menjadi bahan atap rumah masyarakat Mbojo (Bima dan Dompu)
Kemungkinan lain atap
Masjid dibuat dari bambu yang dibelah dengan ukuran panjang sekitar 30 cm yang oleh
masyarakat disebut “Sira” (sirap) yaitu atapnya dibuat dari kayu yang dibelah
dengan ketebalan 1 cm dan dipotong berukuran kurang lebih 30 cm karena bahan
bangunan dibuat dari kayu maka tidaklah mengherankan apabila bangunan masjid
Kuno di kalodu, tidak akan bertahan lama.
Seandainya Masjid Kalodu
yang berada di tengah hutan belantara itu tidak ada, maka dapat dibayangkan
betapa sulitnya para Juru Dakwah dan
Mubakig datang menyiarkan Agama Islam di Dusun dan Desa yang berada di Kaki
gunung terpencil itu dengan kata lain sesungguhnya Masjid Kalodu memiliki
keistimewaan yang jarang ditemukan di daerah lain karena di daerah lain semua
masjid tertua pada umumnya berada di daerah pesisir bukan di daerah padalaman
apalagi daerah perbukitan seperti Dusun Kalodu, sehingga di daerah-daerah
tersebut sulit mengislamkan masyarakat pedalaman.(Diadaptasi dari Buku Sejarah
Bima Dana Mbojo, H. Abdullah Tayib, BA)
Masjid kamina ini saat ini sudah
tidak sesuai aslinya lagi karena tiangnya sudah bertambah. Masjid kamina yang
sekarang adalah sudah direnovasi dengan jumlah tiang 24. Renovasi masjid ini
dilakukan oleh Bupati Bima H.Ferry Zulkarnain, ST pada tahun 2009 di atas lahan
seluas 1,5 Ha. Lokasinya berada di puncak Gunung Kamina desa Kalodu kecamatan
Langgudu.
Apa hubungannya dengan NGGUSU WARU ?
![]() |
Pose bersama di depan Masjid Kamina |
Saya memprediksi bahwa asal mula falsafah kepemimpinan Mbojo
adalah dari proses pembangunan masjid Kamina ini. Nggusu Waru merupakan filosofi
kepemimpinann Dou Mbojo, sebagai perangkat nilai, pikir dan tindak, maka Nggusu
Waru menitipkan beberapa nilai kepemimpinan Dou Dompu, dengan beberapa Prinsip
yaitu; 1. Mato,a di Ruma la bo Rasul (Beriman) 2. Ma Loa Ra Bade (Cerdas dan
Bijak) 3. Ma Mbani Ro Disa (Gagah Berani) 4. Ma Bisa ra Guna (mbawa dan
Kharismatik) 5. Ma Tenggor Ra Wale (Kuat dan gigih) 6. Mantiri Nggahi ra ka
lampa (Jujur sesuai tutur kata dan perbuatan) 7. Mantiri fiko Ra Paresa (Adil
dan seksama) 8. Londo Dou Ma Taho (Keturunan yang baik)
Nggusu Waru atau dasar segi delapan bagunan Masjid Kalodu
melambangkan 4 serangkai pejuang berdirinya kesultanan Bima yaitu La Ka’I,
Manuru Bata, La Mbila dan Bumi Jara Mbojo dengan empat orang mubaliq yang
datang dari Gowa, Bone, Tallo dan Luwu. Jadi delapan orang membentuk satu
kekuatan sejarah berdiri dan jayanya Islam di tanah Bima. Kekuatan itu
dilambangkan dalam pucuk bangunan yang satu yang terbentuk dari delapan pilar
utama. Nah, itulah yang kemudian menjadi filosofi kepemimpinan di tanah Bima.
Pada perkembangan berikutnya, Nggusu Waru tidak hanya
menjelma dalam bentuk bangunan, tetapi terus mengalir dalam bentuk seni dan
budaya Dou Mbojo serta segala sendi kehidupannya. Kita lihat bangunan Lare-lare
Istana Bima, Paruga Nae di seluruh kecamatan, motif tenunan, motif keris dan
berbagai produk seni budaya lainnya.
![]() |
View dari puncak Kamina |
Di dusun Kamina hingga saat ini masih terwarisi tradisi
NGAJI WARU. Tradisi ini biasa dilakukan sekali sebulan. Dimana delapan orang yang
menggambarkan delapan pendiri masjid Kamina duduk bersila di delapan tiang
masjid untuk membuka kitab kuno. Kitab suci Alquran yang mereka yakini warisan
dari para mubaliq penyiar agama islam di Bima. Lalu mereka melantunkan
ayat-ayat suci Alquran di masjid ini. Kitab kuno itu sudah sangat using. Entah
kapan kitab itu ditulis dan dibukukan. Walahu alam.
Antara dusun Kamina dengan lahirnya filosofi kepemimpinan
NGGUSU WARU seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipishkan. Nggusu Waru
memang terlahir sejak lama di Bumi Mbojo, bahkan jauh sebelum islam menyentuh
tanah ini. Tapi implementasi sempurna dari nilai-nilai itu hadir bersama 4
Serangkai proklamator berdirinya kesultanan Bima dengan 4 mubaliq penyiar agama
islam di tanah Bima.
Sumber : http://alan-malingi.blogspot.com
0 komentar: