Berita
Namun pada saat yang sama, ia juga tak dapat mengabaikan realitas politik yang ia harus hadapi, baik dari kalangan internal partai pendukung maupun partai di parlemen pada umumnya. Dialog pun mulai berjalan menghangat dan intensif, dan masing-masing dari kami mencoba sumbang saran. Seperti ngobrol biasa, arus komunikasi berjalan timbal balik. Saya merasakan perbedaan jelas jika dibanding dengan pola komunikasi semasa Presiden SBY yang lebih formal, agak kaku, dan searah.
Tanpa terasa dialog berjalan sekitar satu jam. Saya melihat beberapa kali Presiden meminta Mensegneg Pratikno untuk mencatat point point yang kami kemukakan. Ini pertanda Presiden Jokowi tertarik dengan beberapa point yang melintas dalam pembicaraan.
Namun pada saat yang sama, saya tak melihat sikap definitif yang dinyatakan Presiden dalam mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Mungkin Presiden membutuhkan perenungan lagi. Tapi yang jelas semua pilihan memang bukan hal mudah. Semua memiliki potensi dampak, baik hukum, politik, moral atau etika.
Saat berdialog, karena saya merasakan situasi dialog menjadi terlalu serius, saya mencoba berseloroh: "Pak Presiden, semua pilihan dan langkah yang harus diambil memang tidak mudah. Karena itu Pak, saya tidak berminat jadi Presiden. Susah!" Presiden pun tersenyum. Yang lain tertawa lepas. Saya pun sedikit bahagia. Namun tetap saja diskusi kembali serius.
Di tengah keruwetan rambu-rambu hukum dan politik, saya berupaya mengingatkan pentingnya substansi moral, etika dan nurani rakyat yang harus dikedepankan. Karena bagi saya, apa pun aturan hukum yang dilalui, harus sejalan dengan nilai nilai moral dan etika sebagai acuan utama.
Kepatuhan terhadap tafsir prosedur hukum, jangan sampai bertentangan dengan substansinya, yaitu standar etika dan moral yang mendasarinya. Jadi argumen etis dan moral hukum, bagi saya, harus mendapat prioritas bila dibanding dengan sekedar hukum normatif prosedural. Saya mencoba menduga apa yang difikirkan Presiden saat saya mengemukakan hal itu.
Akhirnya dialog berakhir karena Presiden kelihatannya memiliki jadwal lain yang harus dipenuhi. Kami pun meninggalkan istana dan menuju Gedung Sekretariat Negara.
Setelah melayani wartawan yang tentu menunggu hasil dialog, kami berkumpul lagi untuk merangkum hasil dialog yang kami lakukan untuk disampaikan kepada publik. Pada saat itu Hikmahanto Juwana yang datang terlambat ikut bergabung mengikuti diskusi ini. Akhirnya setelah memakan waktu sekitar 30 menit, tim melakukan konferensi pers dan membacakan hasil rangkuman yang telah kami susun. Inilah butir butir rangkuman saran yang kami ajukan kepada Presiden:
1. Kami sebagai tim konsultatif independen yang diminta masukan/pendapat oleh presiden, akan menjadi mitra yang siap beri masukan terkait hubungan lembaga penegak hukum.
2. Kami pada Rabu, 28 Januari 2015, telah diundang presiden memberikan masukan berdasarkan analisis yang telah dilakukan selama 2 hari belakangan ini, dan masukan kami kepada Bapak Presiden adalah sebagai berikut:
a. Presiden seyogyanya memberikan kepastian kepada siapapun penegak hukum yang berstatus tersangka untuk mengundurkan diri demi menjaga marwah baik Polri maupun KPK.
b. Presiden seyogyanya tidak melantik calon Kapolri sebagai tersangka dan mempertimbangkan kembali untuk mengusulkan calon baru Kapolri, agar institusi Polri segera mendapat calon Kapolri yang definitif.
c. Presiden seyogyanya Menghentikan segala upaya yang diduga kriminalisasi personel penegak hukum siapapun, baik Polri maupun KPK dan masyarakat pada umumnuya
d. Presiden seyogyanya memerintahkan kepada Polri maupun KPK menegakkan kode etik terhadap pelanggaran etika profesi yang diduga dilakukan personel Polri atau KPK.
e. Presiden agar menegaskan kembali komitmennya terhadap pemberantasan korupsi dan penegakan hukum pada umumnya sesuai harapan masyarakat luas.
Di balik pertemuan Tim Independen dengan Jokowi soal Budi Gunawan
Namun pada saat yang sama, ia juga tak dapat mengabaikan realitas politik yang ia harus hadapi, baik dari kalangan internal partai pendukung maupun partai di parlemen pada umumnya. Dialog pun mulai berjalan menghangat dan intensif, dan masing-masing dari kami mencoba sumbang saran. Seperti ngobrol biasa, arus komunikasi berjalan timbal balik. Saya merasakan perbedaan jelas jika dibanding dengan pola komunikasi semasa Presiden SBY yang lebih formal, agak kaku, dan searah.
Tanpa terasa dialog berjalan sekitar satu jam. Saya melihat beberapa kali Presiden meminta Mensegneg Pratikno untuk mencatat point point yang kami kemukakan. Ini pertanda Presiden Jokowi tertarik dengan beberapa point yang melintas dalam pembicaraan.
Namun pada saat yang sama, saya tak melihat sikap definitif yang dinyatakan Presiden dalam mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Mungkin Presiden membutuhkan perenungan lagi. Tapi yang jelas semua pilihan memang bukan hal mudah. Semua memiliki potensi dampak, baik hukum, politik, moral atau etika.
Saat berdialog, karena saya merasakan situasi dialog menjadi terlalu serius, saya mencoba berseloroh: "Pak Presiden, semua pilihan dan langkah yang harus diambil memang tidak mudah. Karena itu Pak, saya tidak berminat jadi Presiden. Susah!" Presiden pun tersenyum. Yang lain tertawa lepas. Saya pun sedikit bahagia. Namun tetap saja diskusi kembali serius.
Di tengah keruwetan rambu-rambu hukum dan politik, saya berupaya mengingatkan pentingnya substansi moral, etika dan nurani rakyat yang harus dikedepankan. Karena bagi saya, apa pun aturan hukum yang dilalui, harus sejalan dengan nilai nilai moral dan etika sebagai acuan utama.
Kepatuhan terhadap tafsir prosedur hukum, jangan sampai bertentangan dengan substansinya, yaitu standar etika dan moral yang mendasarinya. Jadi argumen etis dan moral hukum, bagi saya, harus mendapat prioritas bila dibanding dengan sekedar hukum normatif prosedural. Saya mencoba menduga apa yang difikirkan Presiden saat saya mengemukakan hal itu.
Akhirnya dialog berakhir karena Presiden kelihatannya memiliki jadwal lain yang harus dipenuhi. Kami pun meninggalkan istana dan menuju Gedung Sekretariat Negara.
Setelah melayani wartawan yang tentu menunggu hasil dialog, kami berkumpul lagi untuk merangkum hasil dialog yang kami lakukan untuk disampaikan kepada publik. Pada saat itu Hikmahanto Juwana yang datang terlambat ikut bergabung mengikuti diskusi ini. Akhirnya setelah memakan waktu sekitar 30 menit, tim melakukan konferensi pers dan membacakan hasil rangkuman yang telah kami susun. Inilah butir butir rangkuman saran yang kami ajukan kepada Presiden:
1. Kami sebagai tim konsultatif independen yang diminta masukan/pendapat oleh presiden, akan menjadi mitra yang siap beri masukan terkait hubungan lembaga penegak hukum.
2. Kami pada Rabu, 28 Januari 2015, telah diundang presiden memberikan masukan berdasarkan analisis yang telah dilakukan selama 2 hari belakangan ini, dan masukan kami kepada Bapak Presiden adalah sebagai berikut:
a. Presiden seyogyanya memberikan kepastian kepada siapapun penegak hukum yang berstatus tersangka untuk mengundurkan diri demi menjaga marwah baik Polri maupun KPK.
b. Presiden seyogyanya tidak melantik calon Kapolri sebagai tersangka dan mempertimbangkan kembali untuk mengusulkan calon baru Kapolri, agar institusi Polri segera mendapat calon Kapolri yang definitif.
c. Presiden seyogyanya Menghentikan segala upaya yang diduga kriminalisasi personel penegak hukum siapapun, baik Polri maupun KPK dan masyarakat pada umumnuya
d. Presiden seyogyanya memerintahkan kepada Polri maupun KPK menegakkan kode etik terhadap pelanggaran etika profesi yang diduga dilakukan personel Polri atau KPK.
e. Presiden agar menegaskan kembali komitmennya terhadap pemberantasan korupsi dan penegakan hukum pada umumnya sesuai harapan masyarakat luas.
0 komentar: