Oase Iman
Kini, dulu atau kapanpun ritual itu masih terjalani…kita tetap menamakan diri sebagai pejuang. Menjajakan misi meski tanpa gubrisan… Biarlah… biarlah sebatas itu mereka tahu.
Oh… kau sedang berdoa kah? Doakan aku juga ya…
Apa kabar mata sayumu…? Yang menyimpan tatapan-tatapan baru untuk esok jika sempat mata ini di hargai kisah, karena begitu banyak jalan kenangan yang masih menari-nari meresmikan kejadian. Ya, kejadian itu. Yang sempat membakar nyaris sisi eleganmu. Tak ada malu atas lunglai asal batin berteriak peradaban, ya… tetap masih secuil… secuil yang kita punya namun berkahnya DIA yang tahu.
Dan Apa kabar isi pikiranmu? Masihkah memanas jika disantik oleh diam yang tak seharusnya. Atau beku karena bersuhu tak seimbang dengan lingkungan, dengannya, atau jangan-jangan dengan-Nya. Ah… lagi-lagi masih isi otak pejuang yang kubayangkan membersamai sisa jalan juang ini. Meski tak bergayut tangan lagi… mata batin masih terikat. Bersimpul padu bak tasbih bermakna atas nama dzikir untuk yang Maha Cinta. Kita bisa dengan mesranya memuja-Nya. Demikian harmonis, hingga tali-tali ukhuwah berantai tak tercerai… semoga… semoga saja ya…
Ya… apa kabar? Apa kabar? Apa kabar?!
Menggaung-gaung bagai rongsokan tanda tanya yang tertabrak, hai…aku terkurung di kotak kaca berbayang sama. Ingin teriakkan tanpa suara menandakan dendangku dendang tertahan. Tanpa nada, kiranya agar tak terhafal olehmu. Kau tetap pejuang yang menyeret apa saja yang akan dijadikan mahakarya yang tak biasa, meneriakkan hak agar menindih bathil, menyanyikan rasa agar sampai juga di sini, di sana, di mana-mana sebagai persamaan ingin…
“Akulah makhluk Allah yang peduli pada titipan awal kemanusiaan yang bergelar khalifah”
Itu katamu kan? Sehingga kuulang dan kumaknai… sampai aku hafal.
Pun jua, di antara retorika dan sorak-sorak itu pernah kau berucap.
“Mungkin, begitu resiko para pemikir besar, pekerja keras, pelayan sejati… di salah pahami… lalu akan di kagumi… sabarlah.
Wah… selesai juga. Tanda Tanya apa kabarku
dan aku tak lagi rindu.
Terakhir kutanya…
apa kabar jiwa optimis?
Sisakan senyum terbaikmu di sini, hari ini.
Apa Kabar Jiwa Optimis?
dakwatuna.com - Bismillah… Apa kabar aktivis, pejuang, penggerak, penulis, yang jelas hamba Allah yang bertaqwa? Dan bagaimana kabar iman yang bersemayam di bagian terpenting di hatimu?Kini, dulu atau kapanpun ritual itu masih terjalani…kita tetap menamakan diri sebagai pejuang. Menjajakan misi meski tanpa gubrisan… Biarlah… biarlah sebatas itu mereka tahu.
Oh… kau sedang berdoa kah? Doakan aku juga ya…
Apa kabar mata sayumu…? Yang menyimpan tatapan-tatapan baru untuk esok jika sempat mata ini di hargai kisah, karena begitu banyak jalan kenangan yang masih menari-nari meresmikan kejadian. Ya, kejadian itu. Yang sempat membakar nyaris sisi eleganmu. Tak ada malu atas lunglai asal batin berteriak peradaban, ya… tetap masih secuil… secuil yang kita punya namun berkahnya DIA yang tahu.
Dan Apa kabar isi pikiranmu? Masihkah memanas jika disantik oleh diam yang tak seharusnya. Atau beku karena bersuhu tak seimbang dengan lingkungan, dengannya, atau jangan-jangan dengan-Nya. Ah… lagi-lagi masih isi otak pejuang yang kubayangkan membersamai sisa jalan juang ini. Meski tak bergayut tangan lagi… mata batin masih terikat. Bersimpul padu bak tasbih bermakna atas nama dzikir untuk yang Maha Cinta. Kita bisa dengan mesranya memuja-Nya. Demikian harmonis, hingga tali-tali ukhuwah berantai tak tercerai… semoga… semoga saja ya…
Ya… apa kabar? Apa kabar? Apa kabar?!
Menggaung-gaung bagai rongsokan tanda tanya yang tertabrak, hai…aku terkurung di kotak kaca berbayang sama. Ingin teriakkan tanpa suara menandakan dendangku dendang tertahan. Tanpa nada, kiranya agar tak terhafal olehmu. Kau tetap pejuang yang menyeret apa saja yang akan dijadikan mahakarya yang tak biasa, meneriakkan hak agar menindih bathil, menyanyikan rasa agar sampai juga di sini, di sana, di mana-mana sebagai persamaan ingin…
“Akulah makhluk Allah yang peduli pada titipan awal kemanusiaan yang bergelar khalifah”
Itu katamu kan? Sehingga kuulang dan kumaknai… sampai aku hafal.
Pun jua, di antara retorika dan sorak-sorak itu pernah kau berucap.
“Mungkin, begitu resiko para pemikir besar, pekerja keras, pelayan sejati… di salah pahami… lalu akan di kagumi… sabarlah.
Wah… selesai juga. Tanda Tanya apa kabarku
dan aku tak lagi rindu.
Terakhir kutanya…
apa kabar jiwa optimis?
Sisakan senyum terbaikmu di sini, hari ini.
0 komentar: