Sejarah Bima

Sejarah Bima Dari Jaman Naka ke Jaman Kesultanan

14.02.00 Iwan Wahyudi 0 Comments


lambang mbojo0

Sejarah Bima (Dana Mbojo) NTB di bagi dalam 4 jaman, yaitu jaman Naka (Prasejarah), jaman Ncuhi (Proto Sejarah), jaman Kerajaan (Masa Klasik), dan jaman kesultanan (Masa Islam).

1. Jaman Naka (Prasejarah)
Kebudayaan masyarakat Bima pada jaman Naka masih sangat sederhana. Masyarakat belum mengenal sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan atau perindustrian serta perniagaan dan pelayaran. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mencari dan mengumpulkan kekayaan alam yang ada disekitarnya seperti umbia-umbian, biji-bijian dan buah-buahan. Selain mencari dan mengumpulkan makanan untuk kebutuhan sehari-hari, mereka juga sudah gemar berburu. Dalam istilah ilmu arkeologi, karena mereka mengumpulkan makanan dari hasil kekayaan alam disebut masyarakat pengumpul (Food Gathering).

Kehidupan masyarakat pada jaman Naka (Prasejarah) selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Masyarakat pada jaman Naka sudah mengenal agama atau kepercayaan. Kepercayaan yang meraka anut pada masa itu disebut Makakamba dan Makakimbi, yang dalam ilmu sejarah disebut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Menurut kayakinan mereka pada masa itu, alam beserta isinya diciptakan oleh Maha Kuasa, disebut Marafu atau Tuhan. Marafu tersebut merupakan tempat semayam di mata air, pohon-pohon besar atau batu-batu besar. Dan tempat untuk bersemayamnya Marafu tersebut Parafu Ro Pamboro.

Pada saat itu juga mereka melakukan upacara pemujaan terhadap Makakamba Makakimbi di tempat bersemayamnya Parafu yaitu Parafu Ro Pamboro. Upacara yang mereka lakukan disebut “Toho Dore”. Dalam upacara tersebut dibacakan mantra atau do’a serta persembahan dan dalam tradisi upacara “Toho Dore” diberikan berupa sesajen dan penyembelihan hewan. Upacara tersebut dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut Naka.

Naka adalah bukan hanya sebagai seorang pemimpin agama tetapi Naka juga merupakan pemimpin dalam kehidupan sehari-hari. Naka tersebut sangat dihormati, sehingga masyarakat pada masa itu, selain menyembah Marafu, mereka juga sangat menghormati arwah leluhur terutama arwah Naka. Masyarakat pada masa itu, sangat menjunjung tinggi asas Mbolo Ro Dampa (Musyawarah) dan Karawi Kaboju (Gotong Royong). Segala sesuatu selalu dimusyawarahkan.

2. Jaman Ncuhi (Proto Sejarah)
Demikian jaman Naka berakhir, masyarakat Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman Ncuhi. Pada jaman Ncuhi, sekitar abad ke 8 M, masyarakat Bima mulai berhubungan dengan para pedagang dan musafir yang berasal dari daerah lain. Para pedagang dan musafir itu berasal dari Jawa, Sulawesi Selatan, Sumatera dan Ternate. Pada saat itulah masyarakat Bima sudah mengenal sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan dan pelayaran serta perniagaan.

Sejak itulah keadaan Dana Mbojo sudah mulai berubah dan masyarakat sudah mulai tinggal menetap dan mendirikan rumah. Sehingga lahir adanya Kampung, Kota dan Desa. Keadaan dou Labo Dana (Rakyat dan Negeri) mulai berkembang, seperti diibaratkan sebagai sebatang pohon yang mulai Ncuhi atau Ncuri (yang mulai Bertunas dan Berkuncup), karena itu, jaman awal kemajuan maka disebut jaman Ncuhi. Dan pemimpin mereka pada saat itu disebut Ncuhi. Sehingga Ncuhi bukan hanya sebagai pemimpin pemerintahan, tetapi Ncuhi juga sebagai pemimpin agama. Pada masa Ncuhi, masyarakat masih menganut terhadap kepercayaan Makakamba dan Makakimbi.

Walaupun ilmu pengetahuan dan teknologi sudah berkembang, namun Ncuhi bersama rakyat tetap memegang teguh asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju. Ncuhi tetap berlaku adil dan bijaksana. Maka, Ncuhi harus berperan sebagai “Hawo Ro Ninu” rakyat (Pengayom dan Pelindung rakyat) dan Ncuhi juga harus memegang teguh falsafah Maja Labo Dahu (Malu dan Takut).

Kian lama masyarakat Bima melakukan hubungan dengan para pedagang dan musafir dari daerah luar semakin intim. Sehingga para pedagang dan musafir dari seluruh pelosok nusantara, terutama para pedagang dan musafir dari Jawa Timur semakin bertambah. Para pedagang dan musafir dari Jawa Timur mendirikan perkampungan di pesisir Barat Teluk Bima, yaitu desa Sowa Kecamatan Donggo sekarang. Sampai sekarang bekas pemukiman mereka masih dapat disaksikan sebagai peninggalan sejarah atau dalam istilah ilmu arkeologi yaitu disebut situs yang oleh masyarakat diberi nama Wadu Pa’a (Batu Pahat). Salah seorang tokoh pedagang dan musafir Jawa Timur yang terkenal pada saat itu yaitu bernama Sang Bima. Sang Bima tersebut menjalin hubungan persahabatn dengan para Ncuhi, yaitu ncuhi Dara.

Dengan keadaannya masyarakat Bima sekian lama semakin maju. Kehidupan masyarakat semakin bertambah makmur dan sejahtera dan mereka hidup rukun dan damai. Tetapi asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju tetap diamalkan dan falsafah Maja Labo Dahu tetap dijunjung tinggi.
Untuk meningkatkan persatauan dan kesatuan, seluruh Ncuhi mengadakan Mbolo Ro Dampa di sebuah Babuju di wilayah Ncuhi Dara. Dalam keputusan Mbolo Ro Dampa :
  • Masyarakat dan seluruh Ncuhi, mengangkat Ncuhi Dara sebagai pemimpin masyarakat Bima.
  • Ncuhi Parewa diangkat menjadi pemimpin di wilayah Selatan, yaitu di kecamatan Belo, Woha dan Monta sekarang.
  • Ncuhi Bangga Pupa diangkat menjadi pemimpin di wilayah Utara, yaitu di kecamatan Wera sekarang.
  • Ncuhi Bolo diangkat menjadi pemimpin di wilayah Barat, yaitu di kecamatan Bolo dan Donggo sekarang.
  • Ncuhi Doro Woni diangkat menjadi pemimpin di wilayah Timur, yaitu di kecamatan Wawo dan Sape sekarang.
Gabungan dari seluruh wilayah Dana Mbojo, diberi nama Babuju. Sesuai dengan nama tempat dalam Mbolo Ro Dampa. Nama Mbojo berasal dari kata Babuju.


3. Jaman Kerajaan (Masa Klasik)
Sebelum langsung terjadinya ke jaman kerajaan, menurut dalam cerita legenda dalam kitab BO (catatan kuno kerajaan Bima) bahwa Sang Bima pertama kali berlabuh di pulau Satonda, kemudian bertemu dengan seekor naga bersisik emas. Sang naga melahirkan seorang putri dan kemudian diberi nama putri Tasi Sari Naga. Sang Bima menikahi putri Tasi Sari Naga dan melahirkan dua orang putra yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala. Kedua putra Sang Bima tersebut kelak menjadi cikal bakal keturunan raja-raja Bima. Setelah Sang Bima bertemu dengan putri Tasi Sari Naga yang merupakan seorang putri dari penguasa setempat (Ncuhi) di pulau Satonda, sejak itu Bima mempunyai hubungan nyata dengan pulau Jawa. Sang Bima juga diduga seorang bangsawan Jawa. Bima tercatat dalam kitab Negarakertagama, wilayah kekuasaan Majapahit.

Sebelum mendirikan kerajaan, semua Ncuhi membentuk kesatuan wilayah di bawah pimpinan Ncuhi Dara. Selama puluhan tahun Sang Bima berada di Jawa Timur, Sang Bima mengirim dua orang putranya, yaitu Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Dara sedangkan Indra Kumala dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Doro Woni. Kemudian semua Ncuhi melakukan Mbolo Ro Dampa untuk menentukan sebagai pemimpin atau raja di Bima dan Dompu. Hasil kesepakatan dari semua Ncuhi, Indra Zamrud dijadikan sebagai sangaji atau raja di Bima sedangkan Indra Kumala dijadikan sebagai sangaji atau raja di Dompu.

Indra Zamrud di Tuha Ro Lanti atau dinobatkan menjadi sangaji atau raja pertama di Bima. Setelah Indra Zamrud memiliki ilmu pengetahuan dalam pemerintahan. Maka, berakhirlah jaman Ncuhi dan masyarakat Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Dalam kepemimpinan bukanlah dipegang oleh Ncuhi, tetapi dipegang oleh sangaji atau raja.

Sejak berdirinya kerajaan sekitar pertengahan abad 11 M, dana Mbojo memiliki dua nama, yaitu nama Mbojo dan Bima. Masa pertumbuhan masa kerajaan Bima, setelah dilantik menjadi sangaji atau raja, untuk membangun kerajaan, Indra Zamrud dibantu oleh para Ncuhi, terutama Ncuhi Dara, Ncuhi Parewa, Ncuhi Bolo, Ncuhi Bangga Pupa dan Ncuhi Doro Woni. Nama jabatan pada masa kerajaan terebut yaitu jabatan seperti Tureli Nggampo atau Rumabicara (Perdana Menteri), Tureli (Menteri), Rato Jeneli, Gelerang dan Jabatan lain yang mulai populer pada masa sangaji Manggampo Donggo. Tureli Nggampo atau Rumabicara yang terkenal, yaitu bernama Bilmana.

4. Zaman Kesultanan (Masa Islam)
Peristiwa-peristiwa dalam menjelang berdirinya masa kesultanan Bima, kerajaan mengalami kekacauan. Singkat dari cerita legenda, Salisi salah seorang putra sangaji Ma Wa’a Ndapa, karena ingin menjadi sangaji. Ia membunuh sangaji Samara dan jena Teke Ma Mbora Mpoi Wera. Dan Salisi juga mencoba berusaha ingin membunuh Jena Teke La Ka’i yang merupakan putra dari sangaji Asi Sawo. Sehingga Jena Teke La Ka’I terpaksa meninggalkan istana.

Setelah dalam kerajaan Bima mengalami kemunduran kemudian muncul dengan kedatanganya masa Islam. Dengan kedatangannya masa Islam dapat mempengaruhi dengan berakhirnya masa kerajaan menjadi lahirnya masa kesultanan.

Masuk dan berkembangnya agama Islam di Bima, melalui beberapa tahap sebagai berikut :

1. Tahap pertama dari Demak sekitar tahun 1540 M
Pada tahun 1540 M, para mubalig dan pedagang dari Demak dibawah pimpinan Sunan Prapen yang merupakan putra dari Sunan Giri dating ke Bima dengan tujuan untuk menyiarkan agama Islam. Pada masa itu yang memerintah di kerajaan Bima adalah sangaji Manggampo Donggo. Usaha yang dilakukan oleh Sunan Prapen kurang berhasil, karena pada tahun 1540 M Demak mengalami kekacauan akibat mangkatnya Sultan Trenggono.

2. Tahap kedua dari ternate sekitar tahun 1580 M
Pada tahun 1580 M, sultan Bab’ullah mengirim para mubalig dan pedagang untk menyiarkan agama Islam di Bima. Ketika masa itu kerajaan Bima, yang memerintah adalah sangaji Ma Wa’a Ndapa. Penyiar agama Islam yang dilakukan oleh Ternate, tidak dapat berlangsung lama, sebab di Ternate timbul kesultanan politik, setelah Sultan Bab’ullah mangkat.

3. Tahap ketiga dari Sulawesi Selatan sekitar tahun 1619 M
Pada tanggal 14 Jumadil awal 1028 H (tahun 1619 M), Sultan Makassar Alauddin awalul Islam mengirim empat orang mubalig dari Luwu, Tallo dan Bone untuk menyiarkan agama Islam di kerajaan Bima. Para muballig tersebut berlabuh di Sape dan mereka tidak dating ke istana, karena pada saat itu istana sedang dikuasai oleh Salisi. Kedatangan para Muballig tersebut disambut oleh La Ka’I yang sedang berada di Kalodu. Pada tanggal 15 Rabiul awal 1030 H, La Ka’I beserta pengikutnya memeluk agama Islam. Sejak itu mereka mengganti nama :
  • La Ka’I menjadi Abdul kahir
  • La Mbila putra Ruma Bicara Ama Lima Dai menjadi Jalaluddin
  • Bumi Jara Mbojo di Sape menjadi Awaluddin
  • Manuru Bata putra sangaji Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese menjadi Sirajuddin.
Sejak La Ka’i memeluk agama Islam, maka rakyat juga ikut berbondong-bondong memeluk agama Islam.

Referensi Buku Sejarah Mbojo Bima (M. Hilir Ismail)

Sumber: http://mbojonet.blogspot.com

You Might Also Like

0 komentar: