Tulisan
Yusril Ihza Mahendra: Jokowi Raisopopo yo Rapopo To?
Negara RI : Negara Apa Boleh Buat!!!
Negara ini, kini saya sebut sebagai “Negara Apa Boleh Buat” karena sistemnya tidak mampu menangkal kebuntuan konstitusional, bila itu terjadi. Sistem kita Presidensial. Walau tidak disebut tegas dalam UUD ‘45, namun dapat dipahami bahwa Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.
Presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudah itu dapat dipilih lagi maksimum 1 periode. Jabatan Presiden SBY periode kedua akan berakhir 20 Oktober 2014. DPR, DPD dan MPR akan berakhir lebih awal 1 Oktober 2014. Kalau masa bakti anggota DPR, DPD, MPR berakhir 1 Oktober nanti dan tidak dilantik yang baru, maka akan terjadi kevakuman 3 lembaga negara. Demikian juga jika 20 Oktober nanti tidak dilantik Presiden/Wakil Presiden baru, maka akan terjadi kevakuman kekuasaan pemerintahan negara. Kalau masa bakti DPR, DPD, MPR berakhir dan masa jabatan Presiden/Wapres habis, tidak ada yang berwenang memperpanjangnya.
Berbeda dengan sistem parlementer. Kalau PM mundur atau jatuh, parlemen bisa membentuk pemerintah sementara sampai selesai Pemilu baru. Raja, Ratu atau Presiden Konstitusional bisa mengesahkan PM sementara untuk memimpin pemerintahan transisi.
Di zaman Orde Lama (Orla) dan awal Orde Baru (Orba), MPRS bisa berfungsi sebagai MPR sesungguhnya. MPRS bisa tunjuk Pejabat Presiden, bahkan memilih Presiden. Sekarang, setelah amandemen UUD ‘45, semua itu tidak bisa lagi. Masa jabatan berakhir tepat waktu, dan harus diganti tepat waktu pula.
Akibat dari semua itulah, maka saya katakan negara kita sekarang ini adalah “Negara Apa Boleh Buat”. Istilah itu saya pinjam dari sahabat saya Tan Sri Ahmad Johan, seorang pengusaha penerbangan asal Malaysia. Dia bilang pada saya, “Kalau istri ada satu, jangan buat jadi dua! Tapi kalau sudah ada dua ‘apa boleh buaaaat’,” katanya terkekeh-kekeh.
Bagi saya, lepas orang lain setuju atau tidak, Pemilu Legislatif 2014 ini adalah pemilu terburuk sepanjang sejarah reformasi. Sogok menyogok terjadi dimana-mana. Untuk dapat kursi, partai dan calegnya harus keluarkan uang ratusan milyar. Calon pemimpin menyogok rakyatnya agar memilih. Sebagian rakyat juga minta disogok agar memilih sang calon pemimpin. Dugaan saya, kalau sudah terpilih, para anggota dewan ini pun dengan mudah akan disogok pula. Sogok-menyogok makin gila. Semua dengan uang.
Partai dan caleg pun saling kanibal di daerah-daerah. Suara pemilih dijualbelikan, kongkalikong dengan anggota KPUD. Kalau mau dibawa ke MK, sampai kapan pun MK takkan sanggup menanganinya, karena yang dibawa ke MK adalah kasus demi kasus. MK kita tidak berwenang menyatakan Pemilu batal karena melanggar konstitusi dan UU akibat curang dan politik uang. MK kita berbeda dengan MK Thailand yang bisa menyatakan hasil Pemilu batal seluruhnya, sehingga pemerintah demisioner jalan terus. MK kita tidak bisa. Betapapun bobroknya Pileg, DPR, DPD dan MPR harus dilantik 1 Oktober 2014. Kalau tidak, akan terjadi kevakuman kekuasaan. Betapapun rusaknya moral politisi kita yang mendapakan kursi legislatif walau bergelimang sogok, mereka tetap harus dilantik. Mengapa harus dilantik? Jawabannya “Apa Boleh Buat”. Kalau tidak dilantik akan terjadi kevakuman kekuasaaan.
Kini partai-partai yang ikut pileg dengan segala kecurangan itu sudah mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Jokow- JK dan Prabowo-Hatta. Kok keduanya bisa berpasangan? Jawabannya ya “Apa Boleh Buat” juga.
MK sudah menyatakan bahwa Pileg dan Pilpres dipisah itu bertentangan dengan UUD ‘45. Bertentangan itu artinya “inkonstitusional”. Tapi MK bilang, itu baru berlaku tahun 2019. Jadi Pilpres sekarang ini inkonstitusional? Jawabnya “ya!” tapi “Apa Boleh Buat”. Kalau tidak dilaksanakan Pilpres, akan terjadi kevakuman pemerintahan negara. Jadi ya “Apa Boleh Buat”.
MK menyatakan diri tak berwenang memutus permohonan saya untuk menafsirkan Pasal 6 ayat 2 UUD ‘45 bahwa partai atau gabungan partai peserta pemilu mencalonkan pasangan Presiden dan Wapres sebelum pileg dilaksanakan. Akibatnya, pencalonan baru dilakukan setelah pileg, agar tahu threshold 20 persen kursi atau 25 persen suara sah. Akibatnya lagi, partai-partai terpaksa harus “berkoalisi” mengajukan capres-cawapres.
Koalisi tak dikenal dalam sistem Presidensial. Untuk membangun “koalisi” itu alotnya bukan main. Tawar menawar atau dagang sapi atau “koe handel” bahasa Belandanya, pasti terjadi. Akhirnya muncullah koalisi PDIP dkk., yang memunculkan Jokowi-JK dan koalisi Geindra dkk., yang memunculkan Prabowo-Hatta. Kok bisa muncul ‘koalisi’ seperti ini dan pasangan capres/cawapres seperti ini? Jawabannya ya “Apa Boleh Buat” lagi.
Jawaban “Apa Boleh Buat” muncul lagi karena waktu mepet, jadi apa boleh buat. Presiden dan Wapres terpilih nanti akan alot menyusun kabinet karena desakan partai-partai untuk dapat jatah. Saling sikut antar partai koalisi, bahkan antar teman separtai memperebutkan jatah kabinet pasti akan terjadi. Akhirnya karena waktu mepet, kabinet harus segera diumumkan, maka Presiden dan Wapres adalah orang pertama yang tak puas dengan kabinetnya.
Kalau ditanya Presiden dan Wapres terpilih nanti, “Kok kabinetnya kayak gini, Boss?” Jawabnya ya pasti “Apa Boleh Buat” partai-partai ngotot. Maka anggota DPR, DPD, MPR, Presiden dan Wakil Presiden serta menteri kabinet yang dilantik nanti, semua adalah orang-orang “Apa Boleh Buat”. Kalau negara dipimpin orang-orang yang “Apa Boleh Buat”, maka apa yang dapat mereka perbuat untuk memperbaiki bangsa dan negara ini?
Kalau pertanyaan tadi ditujukan kepada Pak Jokowi, apakah jawabannya “Rapopo” juga, waduh. He…he…he… ‘raisopopo yo rapopo to?’ (Tidak bisa berbuat apa-apa, ya tidak apa-apa kan?) he…he…he…he..
http://www.media-babel.com/2014/07/05/yusril-ihza-mahendra-jokowi-raisopopo-yo-rapopo-to/
Negara ini, kini saya sebut sebagai “Negara Apa Boleh Buat” karena sistemnya tidak mampu menangkal kebuntuan konstitusional, bila itu terjadi. Sistem kita Presidensial. Walau tidak disebut tegas dalam UUD ‘45, namun dapat dipahami bahwa Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.
Presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudah itu dapat dipilih lagi maksimum 1 periode. Jabatan Presiden SBY periode kedua akan berakhir 20 Oktober 2014. DPR, DPD dan MPR akan berakhir lebih awal 1 Oktober 2014. Kalau masa bakti anggota DPR, DPD, MPR berakhir 1 Oktober nanti dan tidak dilantik yang baru, maka akan terjadi kevakuman 3 lembaga negara. Demikian juga jika 20 Oktober nanti tidak dilantik Presiden/Wakil Presiden baru, maka akan terjadi kevakuman kekuasaan pemerintahan negara. Kalau masa bakti DPR, DPD, MPR berakhir dan masa jabatan Presiden/Wapres habis, tidak ada yang berwenang memperpanjangnya.
Berbeda dengan sistem parlementer. Kalau PM mundur atau jatuh, parlemen bisa membentuk pemerintah sementara sampai selesai Pemilu baru. Raja, Ratu atau Presiden Konstitusional bisa mengesahkan PM sementara untuk memimpin pemerintahan transisi.
Di zaman Orde Lama (Orla) dan awal Orde Baru (Orba), MPRS bisa berfungsi sebagai MPR sesungguhnya. MPRS bisa tunjuk Pejabat Presiden, bahkan memilih Presiden. Sekarang, setelah amandemen UUD ‘45, semua itu tidak bisa lagi. Masa jabatan berakhir tepat waktu, dan harus diganti tepat waktu pula.
Akibat dari semua itulah, maka saya katakan negara kita sekarang ini adalah “Negara Apa Boleh Buat”. Istilah itu saya pinjam dari sahabat saya Tan Sri Ahmad Johan, seorang pengusaha penerbangan asal Malaysia. Dia bilang pada saya, “Kalau istri ada satu, jangan buat jadi dua! Tapi kalau sudah ada dua ‘apa boleh buaaaat’,” katanya terkekeh-kekeh.
Bagi saya, lepas orang lain setuju atau tidak, Pemilu Legislatif 2014 ini adalah pemilu terburuk sepanjang sejarah reformasi. Sogok menyogok terjadi dimana-mana. Untuk dapat kursi, partai dan calegnya harus keluarkan uang ratusan milyar. Calon pemimpin menyogok rakyatnya agar memilih. Sebagian rakyat juga minta disogok agar memilih sang calon pemimpin. Dugaan saya, kalau sudah terpilih, para anggota dewan ini pun dengan mudah akan disogok pula. Sogok-menyogok makin gila. Semua dengan uang.
Partai dan caleg pun saling kanibal di daerah-daerah. Suara pemilih dijualbelikan, kongkalikong dengan anggota KPUD. Kalau mau dibawa ke MK, sampai kapan pun MK takkan sanggup menanganinya, karena yang dibawa ke MK adalah kasus demi kasus. MK kita tidak berwenang menyatakan Pemilu batal karena melanggar konstitusi dan UU akibat curang dan politik uang. MK kita berbeda dengan MK Thailand yang bisa menyatakan hasil Pemilu batal seluruhnya, sehingga pemerintah demisioner jalan terus. MK kita tidak bisa. Betapapun bobroknya Pileg, DPR, DPD dan MPR harus dilantik 1 Oktober 2014. Kalau tidak, akan terjadi kevakuman kekuasaan. Betapapun rusaknya moral politisi kita yang mendapakan kursi legislatif walau bergelimang sogok, mereka tetap harus dilantik. Mengapa harus dilantik? Jawabannya “Apa Boleh Buat”. Kalau tidak dilantik akan terjadi kevakuman kekuasaaan.
Kini partai-partai yang ikut pileg dengan segala kecurangan itu sudah mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Jokow- JK dan Prabowo-Hatta. Kok keduanya bisa berpasangan? Jawabannya ya “Apa Boleh Buat” juga.
MK sudah menyatakan bahwa Pileg dan Pilpres dipisah itu bertentangan dengan UUD ‘45. Bertentangan itu artinya “inkonstitusional”. Tapi MK bilang, itu baru berlaku tahun 2019. Jadi Pilpres sekarang ini inkonstitusional? Jawabnya “ya!” tapi “Apa Boleh Buat”. Kalau tidak dilaksanakan Pilpres, akan terjadi kevakuman pemerintahan negara. Jadi ya “Apa Boleh Buat”.
MK menyatakan diri tak berwenang memutus permohonan saya untuk menafsirkan Pasal 6 ayat 2 UUD ‘45 bahwa partai atau gabungan partai peserta pemilu mencalonkan pasangan Presiden dan Wapres sebelum pileg dilaksanakan. Akibatnya, pencalonan baru dilakukan setelah pileg, agar tahu threshold 20 persen kursi atau 25 persen suara sah. Akibatnya lagi, partai-partai terpaksa harus “berkoalisi” mengajukan capres-cawapres.
Koalisi tak dikenal dalam sistem Presidensial. Untuk membangun “koalisi” itu alotnya bukan main. Tawar menawar atau dagang sapi atau “koe handel” bahasa Belandanya, pasti terjadi. Akhirnya muncullah koalisi PDIP dkk., yang memunculkan Jokowi-JK dan koalisi Geindra dkk., yang memunculkan Prabowo-Hatta. Kok bisa muncul ‘koalisi’ seperti ini dan pasangan capres/cawapres seperti ini? Jawabannya ya “Apa Boleh Buat” lagi.
Jawaban “Apa Boleh Buat” muncul lagi karena waktu mepet, jadi apa boleh buat. Presiden dan Wapres terpilih nanti akan alot menyusun kabinet karena desakan partai-partai untuk dapat jatah. Saling sikut antar partai koalisi, bahkan antar teman separtai memperebutkan jatah kabinet pasti akan terjadi. Akhirnya karena waktu mepet, kabinet harus segera diumumkan, maka Presiden dan Wapres adalah orang pertama yang tak puas dengan kabinetnya.
Kalau ditanya Presiden dan Wapres terpilih nanti, “Kok kabinetnya kayak gini, Boss?” Jawabnya ya pasti “Apa Boleh Buat” partai-partai ngotot. Maka anggota DPR, DPD, MPR, Presiden dan Wakil Presiden serta menteri kabinet yang dilantik nanti, semua adalah orang-orang “Apa Boleh Buat”. Kalau negara dipimpin orang-orang yang “Apa Boleh Buat”, maka apa yang dapat mereka perbuat untuk memperbaiki bangsa dan negara ini?
Kalau pertanyaan tadi ditujukan kepada Pak Jokowi, apakah jawabannya “Rapopo” juga, waduh. He…he…he… ‘raisopopo yo rapopo to?’ (Tidak bisa berbuat apa-apa, ya tidak apa-apa kan?) he…he…he…he..
http://www.media-babel.com/2014/07/05/yusril-ihza-mahendra-jokowi-raisopopo-yo-rapopo-to/
0 komentar: