Tulisan
Sumber: http://www.dakwatuna.com/
Memahami Fahri Hamzah dengan Kaca Pembesar
Wasekjen PKS, Fahri Hamzah
dakwatuna.com - “Islam merupakan suatu sistem komprehensif, atau dalam
bahasa Arab disebut al-Diin sehingga dikenal dengan Diinul Islam.
Pengertian Diin sendiri melingkupi segala permasalahan yang melintas
batas material spiritual, pribadi dan kemasyarakatan, dan dengan sendirinya dunia
dan akhirat. Dengan demikian, Diinul Islam bukanlah semata sebuah agama, dan
Diinul Islam tdk semata mengurusi akhirat.
(Fahri Hamzah, Negara, Pasar, dan
Rakyat, h.353)
***
Barangkali sementara pembaca akan
sulit memahami pandangan saya terhadap Fahri Hamzah, Ketua Umum Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pertama, yang kemudian menjadi politisi muda
“kontroversial” dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Saya katakan sebagian akan terkejut,
karena tak sedikit di antara rekan yang menyangka tulisan saya di Kompasiana berjudul Kader
PKS, Mari Belajar Bersama (yang membuat followers saya
bertambah 500 orang) ditujukan untuk mengritik sikap politik Fahri Hamzah.
Sekalipun saya memahami penilaian tersebut sah sebagai persepsi publik, namun
saya ingin katakan tidak. Tulisan tersebut sama sekali bukan untuk mengritik
Fahri Hamzah, karena sejujurnya saya kagum terhadap keberanian eksponen
mahasiswa ‘98 itu ketika bicara, dan keberaniannya pasang badan di depan media.
Ia tak sedikitpun takut untuk tidak populer karena pilihan sikap politik dan
idealismenya. Ia tentang siapapun yang ia anggap tak rasional. Fahri Hamzah
adalah seorang orator ulung. Lihat bagaimana ia membungkam Adian Napitupulu,
mantan aktivis Forum Kota (Forkot) dalam acara Debat di TVOne, ketika
berkali-kali aleg PDIP itu mengritik Lembaga DPR. Fahri membunuh debat itu
sembari berkata, “Anda bicara seolah Anda bukan orang partai, apa yang
Anda lakukan untuk PDIP?” kita tahu, PDIP termasuk partai dengan
koleksi koruptor terbanyak di Negeri kita.
Di kalangan aktivis reformasi ‘98,
Fahri Hamzah bertengger dalam posisi yang populer. Rekan-rekan seperjuangannya
dulu adalah Indra J.Piliang, Fazlurrahman, Adian Napitupulu, Andi Arif, Rama
Pratama, Desmon Mahesa, dll. Mereka adalah pentolan di antara ribuan mahasiswa
yang menduduki Gedung MPR dan melahirkan era baru politik Indonesia. Akhirnya,
berbeda dengan dulu, anak-anak sekolah kini mengeja sejarah Indonesia modern
dalam tiga fase: Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi.
Mereka-mereka itulah, bersama
elemen-elemen mahasiswa yang dibawanya, yang berdarah-darah memperjuangkan
demokratisasi di tanah air hingga kita punya kebebasan berekspresi seperti hari
ini. Menjadikan Indonesia berjejer sebagai Negara paling demokratis di dunia.
Sesekali lihatlah dokumentasi Reformasi 1998 itu di Youtube dan
biarkan badan kita merinding ketika melihat para mahasiswa itu bertakbir,
sebagian bersujud syukur, sebagian berteriak merdeka ketika akhirnya Soeharto
memilih lengser. Agar tahu, sekalipun Anda boleh membenci mereka, mereka tetap
punya andil atas reformasi kita hari ini.Patut jadi pertanyaan, Budayawan Butet
Kartaredjasa yang pernah menyetarakan
makian asu dan juancuk dengan “Fahri, lu!” di
Twitter-nya, di mana dia waktu reformasi ‘98?
Fahri Hamzah Anak Sumbawa
Fahri Hamzah lahir di Sumbawa, Nusa
Tenggara Barat (NTB), pada 10 Nopember 1971. Dia adalah deklarator sekaligus
ketua umum pertama organisasi gerakan mahasiswa yang diperhitungkan di tanah
air, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). KAMMI merupakan
satu-satunya elemen mahasiswa pendukung B.J. Habibie sebagai penerus tongkat
estafet kepemimpinan tanah air di saat elemen mahasiswa lain ketika itu
menganggap Habibie sebagai kroni Soeharto.
Fahri banyak menulis di media sejak
masih mahasiswa. Menulis artikel ini saya sempatkan diri membaca satu buku
tebalnya berjudul Negara, Pasar, dan Rakyat untuk membaca
pemikiran politik dan ekonominya sebagai seorang legislator.
Terlepas dari kontroversinya, hal
yang perlu diketahui publik adalah, ayah tiga anak ini merupakan peraih suara
terbanyak di Daerah Pemilihan (Dapil) NTB dengan raihan 125.083 suara,
sekaligus bertengger dalam daftar “Top 50 Aleg Peraih Suara Terbanyak
Nasional”. Fahri bahkan mengalahkan kyai Hidayat Nur
Wahid (Dapil Jakarta II) yang meraih 119.267 suara. Capaian Fahri ini sekaligus
mendudukan Pria berumur 43 tahun itu sebagai aleg dengan suara tertinggi
di partai dakwah!
Tentu saja, raihan suara ini tidak
lahir dari ruang hampa. Jika rekan-rekan mengatakan capaian ini merupakan hasil
kecurangan, saya kira itu hanya sebentuk ketidaksiapan menerima kebesaran orang
lain. Terlepas Anda setuju atau tidak dengan style Fahri,
faktanya lebih dari 125 ribu Rakyat NTB mengamanahkan suaranya melalui tangan
Fahri Hamzah, politisi muda yang belum genap 45 tahun itu. Tentu bijak jika
kita menghormati pilihan publik yang berbeda dengan pandangan kita, itu sah dan
konstitusional.
Fahri Hamzah adalah anak Sumbawa.
Jika kita mempelajari antropologi budaya masyarakat Sumbawa, kita akan paham
bagaimana nilai budaya masyarakat Sumbawa –dan NTB secara keseluruhan– sangat
lekat dengan Islam. Tak Percaya? terbanglah ke NTB, lalu susuri jalan raya.
Anda akan lihat Masjid-masjid megah berdiri berdekatan sepanjang jalan. Bahkan
amat mengherankan bila ada orang yang mengaku orang Sumbawa namun tidak
beragama Islam, sebab pasca penaklukkan Kerajaan Hindu Utan oleh Kerajaan
Gowa-Sulawesi beberapa abad lalu, proses Islamisasi di sana berlangsung
gemilang lewat segala sendi kehidupan, baik pendidikan, perkawinan, hingga tradisi
yang diselaraskan dengan ajaran Islam. Hal ini juga tercermin dalam syair-syair
tradisional di Sumbawa.
Sejak munculnya pengaruh Islam pada
abad ke-16, dapat dikatakan Sumbawa nyaris tak mengenal unsur kepercayaan di
luar Islam. Diyakini hanya Islamlah yang mampu mengikat rasa persaudaraan dan
mempersatukan berbagai perbedaan etnik pendatang yang telah turun-temurun.
Secara umum, panggilan Tuan Guru Haji adalah panggilan yang sangat dihormati di
NTB. Terpilihnya kembali seorang gubernur yang merupakan seorang ustadz
kharismatik di NTB, Dr.KH.Tuan Guru Haji Muhammad Zainul
Majdi, menunjukkan sentimen agama merupakan faktor dominan dalam lanskap
sosial kemasyarakatan di NTB. Secara keseluruhan, agama Islam dianut oleh
mayoritas warga NTB, yakni 96%, lebih tinggi dari rata-rata nasional. Itulah
mengapa Islam sudah menjadi nafas yang menyatu dalam diri masyarakat NTB.
Sekalipun demikian, Fahri bukan
merupakan sosok ekslusif dalam memahami ragam agama. Ia cukup moderat untuk
hidup berdampingan dengan penganut agama lain dalam hubungan sosial yang
egaliter. Nampaknya ini memang nilai yang dibawa Fahri sebagai anak pesisir
yang berkultur lebih terbuka, dan menjadi semakin matang berkat pergaulan yang
luas dan beragam.
Lihat bagaimana Fahri mengucapkan
selamat Natal kepada penganut Kristiani sebagai sesama anak bangsa. Fahri
memilih pendapat moderat yang membolehkan mengucapkan kalimat tersebut
alih-alih memilih pendapat yang mengharamkan, bahkan mem-bully Fahri
atas ucapan itu. Di kalangan Ulama Islam sendiri, ucapan selamat Natal
dibolehkan oleh ‘alim terkenal yang tergolong moderat, Syaikh Yusuf
al-Qaradhawy. Pun, mengutip eramuslim.com, ucapan tersebut dibolehkan oleh
Lembaga Riset dan Fatwa Eropa, dan sejumlah ulama antara lain DR. Abdus Sattar
Fathullah Sa’id, ustadz bidang tafsir dan ilmu-ilmu Al-Quran di
Universitas Al Azhar, DR. Muhammad Sayyid Dasuki, ustadz Syari’ah di
Universitas Qatar, ustadz Musthafa az Zarqo serta Syeikh Muhammad Rasyid
Ridho.
Kontroversi Fahri, Demokrasi kita,
dan Negara Berdasarkan Agama
Menjadi moderat memang pilihan yang
berada di antara dua titik ekstrim, tidak liberal dan tidak konservatif.
Resikonya, memilih posisi ini akan hasilkan tudingan liberal oleh kaum
konservatif, dan tudingan konservatif oleh kalangan liberal. Fahri Hamzah dicap
liberal oleh “kelompok garis keras”, dan pada saat bersamaan dianggap berbahaya
oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) sebab dianggap memperjuangkan
cita-cita Islam Dua tudingan saling kontradiktif yang –uniknya– terjadi
pada saat yang sama.
Itulah resiko. Namun Fahri tak
surut, sebagai jebolan pergerakan mahasiswa, kuping suami dari Farida Briani
itu sudah terbiasa dengan segala macam kritik. Bagi Fahri, Kritik itu yang akan
membesarkan manusia. Tak hanya kritik, kata Fahri “dibully itu melatih jiwa
kita”
Mari pahami bahwa Fahri, adalah
politisi muda yang ingin memperjuangkan kebebasan luas bagi publik untuk
mengemukakan pendapat. Jika kita ingat bagaimana Fahri berkicau
di twitter mengomentari diskusi di Salihara yang mendatangkan tokoh
kontroversial Irsjad Manji, kicauan Fahri menunjukan betapa demokratisnya suami
dari ahli bedah onkologi itu. Berikut kicauannya:
Negara melalui polisi tidak boleh
nampak lemah di hadapan konflik sebab ujungnya
perang sipil.
Kasus saling serang dan konflik
sosial di seluruh negeri adalah pertanda aparat negara sdh tidak dianggap.
Saya sensitif dengan kebebasan
berpendapat. Sebab matinya ide adalah matinya kita semua.
Setiap komplain kita harusnya
ditujukan ke aparat. Dalam hal ini
#Polisi sebab itu tugas mereka menjaga wilayah publik.
Awalnya, memelihara keamanan diri
masyarakat adalah tugas masing2 makanya setiap orang bawa senjata.
Ketika konsep negara lahir, senjata2
itu kita serahkan kepada negara dan mereka menjaga kemanan kita, lahirlah
#Polisi, kita gaji.
Maka kita andalkan #Polisi yg
mengerti bahwa dua kelompok sipil tidak boleh saling sentuh jika ada sengketa.
Jika tetangga saya memelihara anjing
yg mengancam keselamatan anak2 saya. Saya akan lapor polisi, bukan meracuni
anjing itu smp mati.
Kehadiran negara ini juga adalah
ciri masyarakat beradab ketika ruang publik diregulasi bersama dan kita tunduk
padanya.
Dalam kaitan itulah juga kasus
@salihara dan diskusi@IrshadManji kita simak. Apa masalah sebuah diskusi?
Secara subtantif UUD45 sudah
menjamin kebebasan berpendapat (#freedomofspeech) jadi diskusi apapun bebas
Kalau anda tidak setuju dgn satu
pendapat buatlah pendapat lain. Lalu bikin diskusi itulah #freedomofspeech
Jangan kan negara Tuhanpun membela
#freedomofspeech . Salah satu tujuan syariat adalah hifdzul al aql (memilihara
akal).
Kalau Tuhan aja membiarkan setan
hidup kok kita menentang #freedomofspeech ? Negara harus dilarang membatasi
kebebasan berbicara.
Negara harus menjamin pergumulan ide
bahkan harus mengambil untung dari munculnya ide2 terbaik dari publik
Kita mungkin tidak setuju dengan
@IrshadManji dalam diskusi@salihara itu, tetapi biarkan dia bicara.
Mari jadikan Indonesia ini taman
bunga ide2 segar seperti Bagdad zaman Abbasyiah. Wallahua’lam.
…
Pandangan-pandangan di atas
saya kira sangat relevan dengan alam demokrasi modern di mana kita diberikan
kebebasan untuk bicara dalam ragam pendapat. Kekerasan bukan jalan keluar atas
perbedaan. Hukum dan konstitusi ditegakkan untuk mendamaikan potensi
konflik yang bisa muncul sewaktu-waktu.
Itulah konsep Negara modern. Bahwa ada
kelompok yang menolak kedatangan Irsjad Manji itu pun sah dan dibolehkan. Fahri
hanya tak setuju jika kekerasan dijadikan sebagai jalan keluar untuk selesaikan
persoalan.
Fahri Hamzah memang acap disebut
kontroversial. Tapi tidak kontroversial sebetulnya, jika kita membacanya dengan
melihat konteks ketika “statement kontroversial” nya keluar. Tudingan #sinting-nya
kepada Jokowi misalnya, perlu dilihat sebagai sebuah kritik atas capres yang
banyak -umbar janji sekadar untuk raup suara publik. Tagar #sinting itu
menjadi besar, bahkan di-pressure di Mata Najwa secara
politis, karena ‘digoreng’ sebagai alat demarketisasi kampanye. Ironisnya Mata
Najwa atau Metro TV sendiri tidak pernah
mempersoalkan kicauan Wimar Witoelar, relawan pro Jokowi itu, yang menuding
Ormas Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyyah, sebagai bagian dari
kelompok Bajingan dan orang jahat. Padahal kicauan Wimar itu menghina puluhan
juta santri Muhammadiyah. Lebih ironi lagi menyusul belakangan, GP Anshor
Semarang menolak 1 Muharram dijadikan sebagai hari Santri karena khawatir
menimbulkan bahaya.
Logika Situasional
Saya jadi ingat sebuah buku terkenal
karangan Sayyid Qutb, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin
Mesir berjudul, Ma’alim fi Thariq (Petunjuk Jalan). Jika kita
ingin memahami isi buku tersebut, kita perlu menyertakan konteks sosio-politik
ketika buku tersebut ditulis. Sebagian aktivis yang melepaskan konteksnya
ketika menikmati Ma’alim fi Thariq, akan menjadi kaum radikal
karena tak memahami alam pikiran Sayid Qutb secara kontekstual. Itulah
pentingnya kita memahami apa yang disebut oleh William Isaac Thomas (1863-1947)
sebagai ‘logika situasional’, yakni konfigurasi faktor-faktor sosial –yang
terjadi pada waktu dan tempat—yang memengaruhi suatu gagasan ketika dicetuskan.
Demikian pula ketika memahami
kicauan Fahri, perlu dilihat konteks ‘logika situasional’nya, atau –mohon
perhatikan dalam tanda kutip– “asbaabul wurud”nya. Ia bicara bukan dari
tong yang kosong, tetapi didasari pada argumentasi rasional yang terbuka untuk
diperdebatkan.
Izinkan saya menguti beberapa
paragrap tulisan Fahri dari bukunya Negara, Pasar dan Rakyat, dan
lihat bagaimana alam pikiran seorang Fahri Hamzah terhadap demokrasi kita:
“Demokrasi tidak sekadar
berlangsung pada tataran substansial, ia memiliki cita-cita ideal dengan
instrumen yang lebih mengedepankan kemajemukan, penghargaan pada hak asasi
serta jaminan partisipasi aktif Warga Negara. Tidakkah karakter tersebut mampu
menjamin manusia untuk hidup lebih baik? jika pada kenyataannya kita belum
merasakan hal itu, bukan sistem demokrasinya yang perlu dirubah, namun
kesungguhan kita dalam berdemokrasi dan kerelaan kita untuk berkorban demi
kematangan sistem yang ada” (h.196)
Fahri melanjutkan:“Apapun pilihan
sistem politik yang dianut pada dasarnya bukanlah persolan, namun sejauh mana
gagasan kita diperjuangkan secara baik dan benar. Hal inilah yang ditunjukkan
demokrasi yang menghargai pilihan individu. Jika mayoritas bangsa ini lebih
memilih sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahan dan tata kehidupan
bernegara ketimbang agama, maka kita harus menghormati pilihan tersebut selama
diproses secara demokratis. Pun jika pilihan mayoritas lebih memilih agama
sebagai rujukan tata pemerintahan secara simbolik, kita harus menerimanya.
Karena itu, semua tergantung pada pilihan individu dan masyarakat.
(h.196)
Mengutip Syafii Maarif, Fahri
mengatakan: “Demokrasi sejalan dengan ide modernisasi yang menuntut
adanya perubahan di segala bidang kehidupan. Tradisi Islam bukanlah warisan
kaku yang mempertahankan corak klasiknya. Meski pada awalnya Islam tidak
mengenal prinsip demokrasi, namun gagasan universal demokrasi sejalan
dengan gagasan universal Islam. Bahkan Islam lahir dengan prinsip demokrasi,
meski Al-Quran sendiri tidak secara eksplisit menggambarkan struktur Negara
tertentu. Hal ini membuat organisasi politik bernafaskan Islam dapat selalu
berubah agar sesuai dengan tuntuan zaman dan kebutuhan masyarakat Muslim.”
Bagi Fahri, “Demokrasi
adalah sarana terbaik untuk menggulirkan cita-cita masyarakat Islam. Demokrasi
bisa dipakai untuk mewujudkan cita-cita tersebut, dan bukan sebagai tujuan itu
sendiri. Karena itu patut kiranya demokrasi dipertimbangkan untuk dipakai
sebagai sarana yang sesuai dengan tujuan Islam” (h.198)
Kalimat di atas adalah curahan
kegelisahan intelektual seorang Fahri Hamzah yang juga merupakan aktivis
dan politisi, dalam sebuah buku setebal 625 halaman yang perlu dibaca oleh
aktivis pergerakan. Kita akan memahami Fahri bukan politisi yang ‘asal bunyi’
atau sok sensasional seumpama seorang pengacara kondang di partai Demokrat yang
terkenal juga karena kontroversinya. Gagasan Fahri berasal dari kontemplasi
mendalam atas realitas sosial politik kita. Ia bisa tuangkan gagasan itu dalam
sebuah buku. Nalar intelektual berperan pada aras itu.
Bagi Fahri, memperjuangkan gagasan
pada koridor konstitusi merupakan jalan yang sah ketimbang sekadar berdebat
atau menuntut ditegakkannya Negara berdasarkan agama. PKS sendiri
dalam bayan-nya ketika merespon isu menghangatnya kembali ide Piagam
Jakarta beberapa tahun lalu menerangkan bahwa perdebatan mengenai syariat perlu
mempertimbangkan akseptabilitas publik terlebih dahulu. Bagi PKS, Pemunculan
isu penerapan syariat di saat yang belum tepat justru dapat menjadi bumerang
bagi Syariat itu sendiri. Karena tidak dapat disangkal, realitas pemahaman masyarakat
terhadap syariat Islam masih jauh dari ideal. Pendidikan politik bagi umat
tentang landasan filosofis, tinjauan praksis, serta dekonstruksi wacana lama
tentang betapa rigidnya Syariat Islam harus didahulukan ketimbang terburu-buru
memaksakan formalisasi di saat masyarakat belum memahaminya secara tepat.
Inilah kritik terhadap kaum strukturalisme Islam, seolah dengan formalisasi
maka semua masalah dapat diatasi.
Sayangnya, banyak yang keliru paham
mengapa Fahri mengatakan “kampungan” atas tuntutan-tuntutan tersebut. Isu itu
lagi-lagi digoreng dan dipolitisasi sedemikian rupa. Padahal konteksnya
ditujukan kepada kelompok yang acap menuntut deklarasi Negara berdasar agama
tanpa mempertimbangkan hal-hal di atas.
Epilog
Memahami alam pikiran seorang Fahri
Hamzah, tidak boleh dilepaskan dari kapasitasnya sebagai bagian tak terpisahkan
dari gerakan tarbiyah yang secara
kultural terus menerus berdakwah di masyarakat.
Apa yang dilakukan kelompok tarbiyah
secara kultural dengan memahamkan umat mengenai Islam yang komprehensif,
dan apa yang dilakukan PKS secara perlahan melalui jalur struktural parlemen
adalah dua hal yang saling berpadu, tidak terpisah.
Saya tetap meyakini, atau setidaknya
menaruh harap, tokoh muda seperti Fahri Hamzah menjadi pemimpin di masa depan.
Dengan amanah yang jauh lebih besar dari saat ini. Sosok yang berani maju
tanpa rasa takut, tanpa sikap anti terhadap kritik, dan berani untuk tidak populer.
Saya mengamini apa yang dikatakan
oleh Profesor Jimly Asshiddiqie, Mantan Ketua MK dan Guru Besar di Universitas
Indonesia, bahwa Fahri Hamzah adalah one of the rising stars dalam
jajaran elit kepemimpinan Indonesia masa depan.
Rekan-rekan, percayalah, Prof.Jimly,
tentu bukan orang bodoh!
Oleh : Sigit Kamseno
Sumber: http://www.dakwatuna.com/
0 komentar: