Artikel

MUI, Politik Identitas, dan Siasat Melemahkan Umat Islam

06.33.00 Iwan Wahyudi 0 Comments



oleh: DR Iswandi Syahputra, Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


 Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa mendapat fitnah, tak lama setelah mengeluarkan rekomendasi terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.  

Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Komestika (LPPOM) MUI dijadikan sasaran tuduhan korupsi senilai Rp. 480 triliun. Demikian sejumlah media memberitakan.
Serentak dengan itu, di sejumlah saluran media sosial beredar ajakan untuk menandatangani petisi mengaudit keuangan MUI. 

Tuduhan sepihak dan ajakan untuk menandatangani petisi mengaudit keuangan MUI tersebut muncul tidak lama berselang setelah MUI mengeluarkan pendapat dan sikap keagamaan terkait pernyataan  Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama tentang surat Al-Maidah ayat 51.
Pendapat dan sikap keagamaan MUI itu sendiri keluar tidak lama setelah pihak kepolisian menolak laporan sejumlah Ormas Islam yang menutut agar Ahok diperiksa oleh polisi karena telah menghina  Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Saat itu, polisi menolak laporan Ormas Islam tersebut dengan alasan belum ada fatwa atau pendapat keagamaan dari MUI soal Ahok.
Dari alur peristiwa tersebut, tampaknya ada upaya yang sistematis dan terkoordinasi untuk melemahkan Ulama.

Pewaris para Nabi
Ulama itu pewaris para Nabi (Warosatul Anbiya’), demikian diungkap dalam sebuah hadis Nabi Muhammad Saw. 

Apa yang diwarisi ulama dari Nabi? Sungguh Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi ilmu pengetahuan. Hadist tersebut menegaskan bahwa Ulama adalah orang yang berilmu.
Pada bagian lain Rasulullah Saw pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh”. 

Dan, akar kata ulama adalah 'alima artinya mengetahui, alim adalah orang yang berpengetahuan (tunggal) sedangkan Ulama adalah jamak untuk menunjukkan orang-orang yang berpengetahuan.
Nah, hal yang membedakan satu peradaban pada suatu masa dengan masa yang lain adalah ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para alim ulama pada masa tersebut. Sehingga, tidak berlebihan jika dikatakan beradab tidaknya suatu masa akan tergantung dari ulama yang hidup pada setiap masa. 

Maka dalam tradisi Islam sesudah wafatanya Rasulullah Saw, para  Ulama dapat disebut sebagai benteng peradaban. Dalam konteks ini tentu  yang dimaksud adalah Ulama tentu orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama, terutama ilmu yang terkait dengan urusan amal, ibadah dan berbagai pengaturan privat dan publik. Konteks tersebut menjadi lebih relevan dan urgen mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Lalu di mana relevansi dan urgensinya posisi ulama dalam pengaturan kehidupan sosial kita sehari-hari? Salah satu yang paling nyata dan terasa dari manfaat ulama adalah dalam  hal pemberian sertifikat halal untuk produk yang dikonsumsi publik, terutama makanan dan obat-obatan. 

Sertifikasi Halal
Bagi yang pernah ke luar negeri atau menetap di luar negeri, terutama negara yang penduduknya mayoritas non muslim, pasti merasakan sulitnya mencari makanan halal. Suatu ketika di Roma, Italia, di sana saya hampir memakan roti berisi daging babi. Padahal saya sengaja memilih roti yang relatif aman dari unsur yang mengandung zat haram. Demikian juga saat di Munich, Jerman hampir memakan mie dengan kuah lemak babi. 

Saat seperti itulah saya merasa betapa bermanfaatnya ulama yang berhimpun dalam MUI sebagai pihak yang memberi legalitas halal bagi produk makanan. Perlu diketahui, tidak semua produk makanan yang beredar baik dalam bentuk kemasan atau siap saji di Indonesia yang memiliki sertifikat halal. Beberapa produk makanan hingga saat ini masih belum memiliki sertifikat halal. Mengapa sertifikat halal ini penting? 

Pertama, secara tekstual ini merupakan perintah Allah Swt seperti yang termaktub dalam QS   Surat Al Maidah : 88 dan QS Surat Al Baqarah : 168. Karena ini perintah agama dan bersumber pada teks yang sakral, dia akan diterima sebagai keyakinan. Suatu keyakinan seperti jalan rahasia dalam setiap diri manusia tentang suatu 'yang Maha'. Karena itu suatu keyakinan tidak bisa diintervensi oleh apapun dan oleh siapapun.

Kedua, secara kontekstual, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Karena ini menyangkut keyakinan umat dari umat mayoritas yang berhubungan dengan dimensi sosial, maka perlu dilindungi dalam sebuah sistem aturan. 

Ketiga, sudah menjadi rahasia umum jika sejumlah perusahaan makanan memang tidak selalu menggunakan bahan atau peralatan yang halal untuk dikonsumsi umat muslim. Suatu saat saya santap malam di Barcelona, Spanyol. Saya sengaja memilih menu ikan untuk menghindari menu lain yang meragukan kehalalannya. Dari pramusaji restoran yang beragama Islam saya memperoleh informasi jika tidak semua ikan di restoran dijamin kehalalannya karena banyak yang diawetkan menggunakan bahan pengawet yang diharamkan oleh syariat Islam.    

Mengapa ulama harus dilemahkan?
Cara paling mudah melemahkan umat Islam sebagai mayoritas adalah dengan melemahkan para Ulamanya. Mengapa umat Islam perlu dilemahkan? Karena umat Islam adalah mayoritas dan saat ini politik domestik kembali pada politik aliran. Politik aliran yang dijalankan dalam suatu sistem demokrasi melalui Pilkada misalnya, jelas akan menjanjikan kemenangan bagi pihak mayoritas. Pilkada DKI Jakarta menjadi penting sebagai medan perebutan politik identitas karena merupakan Ibu Kota negara dan barometer politik dalam negeri. Peristiwa politik seperti Pilkada di Jakarta tentu dapat menstimulasi daerah lainnya. 

Pilkada DKI Jakarta dijadikan arena taste the water bagi pertarungan politik identitas atau politik aliran. Kendati demikian, dengan melemahkan Ulama itu berarti melemahkan mayoritas. Melemahkan mayoritas itu dapat memicu konflik sosial yang jauh lebih serius. Jika tidak ditangani dengan baik sejak dini, tidak musathil konflik ini akan meluas dan mengorbankan satu masa generasi Indonesia. []

 Sumber : http://www.republika.co.id

You Might Also Like

0 komentar: