Artikel
Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa mendapat fitnah, tak lama setelah mengeluarkan rekomendasi terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Komestika (LPPOM) MUI dijadikan sasaran tuduhan korupsi senilai Rp. 480 triliun. Demikian sejumlah media memberitakan.
Serentak dengan itu, di sejumlah saluran media sosial beredar ajakan untuk menandatangani petisi mengaudit keuangan MUI.
Tuduhan sepihak dan ajakan untuk menandatangani petisi mengaudit keuangan MUI tersebut muncul tidak lama berselang setelah MUI mengeluarkan pendapat dan sikap keagamaan terkait pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama tentang surat Al-Maidah ayat 51.
Pendapat dan sikap keagamaan MUI itu sendiri keluar tidak lama setelah pihak kepolisian menolak laporan sejumlah Ormas Islam yang menutut agar Ahok diperiksa oleh polisi karena telah menghina Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Saat itu, polisi menolak laporan Ormas Islam tersebut dengan alasan belum ada fatwa atau pendapat keagamaan dari MUI soal Ahok.
Dari alur peristiwa tersebut, tampaknya ada upaya yang sistematis dan terkoordinasi untuk melemahkan Ulama.
Pewaris para Nabi
Apa
yang diwarisi ulama dari Nabi? Sungguh Nabi tidak mewariskan dinar atau
dirham, tetapi ilmu pengetahuan. Hadist tersebut menegaskan bahwa Ulama
adalah orang yang berilmu.
Pada bagian lain Rasulullah Saw pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh”.
Maka dalam tradisi Islam sesudah wafatanya Rasulullah Saw, para Ulama dapat disebut sebagai benteng peradaban. Dalam konteks ini tentu yang dimaksud adalah Ulama tentu orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama, terutama ilmu yang terkait dengan urusan amal, ibadah dan berbagai pengaturan privat dan publik. Konteks tersebut menjadi lebih relevan dan urgen mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Sertifikasi Halal
Mengapa ulama harus dilemahkan?
Sumber : http://www.republika.co.id
MUI, Politik Identitas, dan Siasat Melemahkan Umat Islam
oleh: DR Iswandi Syahputra, Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa mendapat fitnah, tak lama setelah mengeluarkan rekomendasi terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Komestika (LPPOM) MUI dijadikan sasaran tuduhan korupsi senilai Rp. 480 triliun. Demikian sejumlah media memberitakan.
Serentak dengan itu, di sejumlah saluran media sosial beredar ajakan untuk menandatangani petisi mengaudit keuangan MUI.
Tuduhan sepihak dan ajakan untuk menandatangani petisi mengaudit keuangan MUI tersebut muncul tidak lama berselang setelah MUI mengeluarkan pendapat dan sikap keagamaan terkait pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama tentang surat Al-Maidah ayat 51.
Pendapat dan sikap keagamaan MUI itu sendiri keluar tidak lama setelah pihak kepolisian menolak laporan sejumlah Ormas Islam yang menutut agar Ahok diperiksa oleh polisi karena telah menghina Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Saat itu, polisi menolak laporan Ormas Islam tersebut dengan alasan belum ada fatwa atau pendapat keagamaan dari MUI soal Ahok.
Dari alur peristiwa tersebut, tampaknya ada upaya yang sistematis dan terkoordinasi untuk melemahkan Ulama.
Pewaris para Nabi
Ulama itu pewaris para Nabi (Warosatul Anbiya’), demikian diungkap dalam sebuah hadis Nabi Muhammad Saw.
Pada bagian lain Rasulullah Saw pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh”.
Dan, akar kata ulama adalah 'alima artinya mengetahui, alim adalah orang yang berpengetahuan (tunggal) sedangkan Ulama adalah jamak untuk menunjukkan orang-orang yang berpengetahuan.
Nah,
hal yang membedakan satu peradaban pada suatu masa dengan masa yang
lain adalah ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para alim ulama pada
masa tersebut. Sehingga, tidak berlebihan jika dikatakan beradab
tidaknya suatu masa akan tergantung dari ulama yang hidup pada setiap
masa. Maka dalam tradisi Islam sesudah wafatanya Rasulullah Saw, para Ulama dapat disebut sebagai benteng peradaban. Dalam konteks ini tentu yang dimaksud adalah Ulama tentu orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama, terutama ilmu yang terkait dengan urusan amal, ibadah dan berbagai pengaturan privat dan publik. Konteks tersebut menjadi lebih relevan dan urgen mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Lalu
di mana relevansi dan urgensinya posisi ulama dalam pengaturan
kehidupan sosial kita sehari-hari? Salah satu yang paling nyata dan
terasa dari manfaat ulama adalah dalam hal pemberian sertifikat halal
untuk produk yang dikonsumsi publik, terutama makanan dan obat-obatan.
Bagi
yang pernah ke luar negeri atau menetap di luar negeri, terutama negara
yang penduduknya mayoritas non muslim, pasti merasakan sulitnya mencari
makanan halal. Suatu ketika di Roma, Italia, di sana saya hampir
memakan roti berisi daging babi. Padahal saya sengaja memilih roti yang
relatif aman dari unsur yang mengandung zat haram. Demikian juga saat di
Munich, Jerman hampir memakan mie dengan kuah lemak babi.
Saat
seperti itulah saya merasa betapa bermanfaatnya ulama yang berhimpun
dalam MUI sebagai pihak yang memberi legalitas halal bagi produk
makanan. Perlu diketahui, tidak semua produk makanan yang beredar baik
dalam bentuk kemasan atau siap saji di Indonesia yang memiliki
sertifikat halal. Beberapa produk makanan hingga saat ini masih belum
memiliki sertifikat halal. Mengapa sertifikat halal ini penting?
Pertama,
secara tekstual ini merupakan perintah Allah Swt seperti yang termaktub
dalam QS Surat Al Maidah : 88 dan QS Surat Al Baqarah : 168. Karena
ini perintah agama dan bersumber pada teks yang sakral, dia akan
diterima sebagai keyakinan. Suatu keyakinan seperti jalan rahasia dalam
setiap diri manusia tentang suatu 'yang Maha'. Karena itu suatu
keyakinan tidak bisa diintervensi oleh apapun dan oleh siapapun.
Kedua,
secara kontekstual, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Karena
ini menyangkut keyakinan umat dari umat mayoritas yang berhubungan
dengan dimensi sosial, maka perlu dilindungi dalam sebuah sistem aturan.
Ketiga,
sudah menjadi rahasia umum jika sejumlah perusahaan makanan memang
tidak selalu menggunakan bahan atau peralatan yang halal untuk
dikonsumsi umat muslim. Suatu saat saya santap malam di Barcelona,
Spanyol. Saya sengaja memilih menu ikan untuk menghindari menu lain yang
meragukan kehalalannya. Dari pramusaji restoran yang beragama Islam
saya memperoleh informasi jika tidak semua ikan di restoran dijamin
kehalalannya karena banyak yang diawetkan menggunakan bahan pengawet
yang diharamkan oleh syariat Islam.
Cara
paling mudah melemahkan umat Islam sebagai mayoritas adalah dengan
melemahkan para Ulamanya. Mengapa umat Islam perlu dilemahkan? Karena
umat Islam adalah mayoritas dan saat ini politik domestik kembali pada
politik aliran. Politik aliran yang dijalankan dalam suatu sistem
demokrasi melalui Pilkada misalnya, jelas akan menjanjikan kemenangan
bagi pihak mayoritas. Pilkada DKI Jakarta menjadi penting sebagai medan
perebutan politik identitas karena merupakan Ibu Kota negara dan
barometer politik dalam negeri. Peristiwa politik seperti Pilkada di
Jakarta tentu dapat menstimulasi daerah lainnya.
Pilkada
DKI Jakarta dijadikan arena taste the water bagi pertarungan politik
identitas atau politik aliran. Kendati demikian, dengan melemahkan Ulama
itu berarti melemahkan mayoritas. Melemahkan mayoritas itu dapat memicu
konflik sosial yang jauh lebih serius. Jika tidak ditangani dengan baik
sejak dini, tidak musathil konflik ini akan meluas dan mengorbankan
satu masa generasi Indonesia. []
Sumber : http://www.republika.co.id
0 komentar: