Berita
“Tidak ada keseriusan pemerintah untuk membangun dan mensejahterakan rakyat Papua, dengan perpanjangan kontrak PT Freeport juga rencana pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur. Padahal, kalau dibicarakan dengan rakyat Papua, juga smelter di Papua, maka akan membuka lapangan kerja sekaligus bisa mensejahterakan rakyat Papua,” tegas anggota Komite II DPD RI dari Dapil Papua, Messakh Mirin pada wartawan di Gedung DPD RI Jakarta, Rabu (28/1/2015).
Komite II DPD RI secara resmi menyikapi rencana pembangunan smelter dan perpanjangan kontrak PT Freeport di Papua. Messakh didampingi Ketua Komite I DPD RI Parlindungan Purba (Sumut) dan anggota Komite II DPD RI yang lain seperti Ahmad Nawardi (Jatim), Aceng AM Fikri (Jabar), Bahar Ngitung (Sulsesl), dan Pendeta Carles Simaremare (Papua).
Menurut Messakh, kemiskinan di Papua sebesar 31 persen sehingga menjadi ironis kalau perpanjangan kontrak PT Freeport dan smelter tak ada keperpihakan pada rakyat Papua. “Kalau itu diteruskan, maka Presiden Jokowi harus menghentikan PT Freeport sebelum rakyat Papua bergerak sendiri,” ujarnya.
Parlindungan Purba meyakinkan jika PT Freeport tidak ada keseriusan untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) sebagaimana yang telah disepakati dengan pemerintah (MoU). “Dengan kesepakatan tanggal 24 Januari 2015 yang lalu, PT Freeport Indonesia tidak menunjukkan kesungguhannya dalam membangun smelter,” tambahnya.
Dengan begitu kata Parlindungan, pemerintah terlalu lunak dengan memberi waktu lagi pada Freeport selama 6 tahun untuk mengekspor hasil tambang. Hal itu bertentangan dengan pasal 103 dan 170 UU No.4 tahun 2009 tentang Minerba dan PP No.1 tahun 2014. Oleh karena itu, Komite II DPD RI meminta kepada pemerintah untuk meninjau kembali kontrak karya dengan Freeport tersebut.
Selain itu DPD mendesak PT Freeport untuk mengalihkan rencana pembangunan smelter tersebut ke Papua. Dengan dibangun di Papua menurut Parlindungan, maka smelter akan lebih strategis dan efisien, banyak manfaat, membuka lapangan kerja dan secara ekonomi akan menggerakkan sektor perdagangan rakyat Papua. “Muaranya, sangat penting bagi peningkatan kesejahteraan rakyat,” pungkasnya. (Sjafri Ali/A-88)***
Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com
Perpanjangan Kontrak Freeport Melanggar UU
JAKARTA, (PRLM).- Komite II DPD RI menilai perpanjangan kontrak PT Freeport melanggar UU No.4 tahun 2009 tentang Minerba, karena perpanjangan itu dilakukan tanpa bermusywarah dengan rakyat Papua dan juga tidak konsultasi dengan DPR RI. Berarti perpanjangan ini tidak ada keseriusan pemerintah untuk membangun dan mensejahterakan rakyat Papua. Untuk itu DPD RI 100 persen mendukung PT Freeport ditutup.“Tidak ada keseriusan pemerintah untuk membangun dan mensejahterakan rakyat Papua, dengan perpanjangan kontrak PT Freeport juga rencana pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur. Padahal, kalau dibicarakan dengan rakyat Papua, juga smelter di Papua, maka akan membuka lapangan kerja sekaligus bisa mensejahterakan rakyat Papua,” tegas anggota Komite II DPD RI dari Dapil Papua, Messakh Mirin pada wartawan di Gedung DPD RI Jakarta, Rabu (28/1/2015).
Komite II DPD RI secara resmi menyikapi rencana pembangunan smelter dan perpanjangan kontrak PT Freeport di Papua. Messakh didampingi Ketua Komite I DPD RI Parlindungan Purba (Sumut) dan anggota Komite II DPD RI yang lain seperti Ahmad Nawardi (Jatim), Aceng AM Fikri (Jabar), Bahar Ngitung (Sulsesl), dan Pendeta Carles Simaremare (Papua).
Menurut Messakh, kemiskinan di Papua sebesar 31 persen sehingga menjadi ironis kalau perpanjangan kontrak PT Freeport dan smelter tak ada keperpihakan pada rakyat Papua. “Kalau itu diteruskan, maka Presiden Jokowi harus menghentikan PT Freeport sebelum rakyat Papua bergerak sendiri,” ujarnya.
Parlindungan Purba meyakinkan jika PT Freeport tidak ada keseriusan untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) sebagaimana yang telah disepakati dengan pemerintah (MoU). “Dengan kesepakatan tanggal 24 Januari 2015 yang lalu, PT Freeport Indonesia tidak menunjukkan kesungguhannya dalam membangun smelter,” tambahnya.
Dengan begitu kata Parlindungan, pemerintah terlalu lunak dengan memberi waktu lagi pada Freeport selama 6 tahun untuk mengekspor hasil tambang. Hal itu bertentangan dengan pasal 103 dan 170 UU No.4 tahun 2009 tentang Minerba dan PP No.1 tahun 2014. Oleh karena itu, Komite II DPD RI meminta kepada pemerintah untuk meninjau kembali kontrak karya dengan Freeport tersebut.
Selain itu DPD mendesak PT Freeport untuk mengalihkan rencana pembangunan smelter tersebut ke Papua. Dengan dibangun di Papua menurut Parlindungan, maka smelter akan lebih strategis dan efisien, banyak manfaat, membuka lapangan kerja dan secara ekonomi akan menggerakkan sektor perdagangan rakyat Papua. “Muaranya, sangat penting bagi peningkatan kesejahteraan rakyat,” pungkasnya. (Sjafri Ali/A-88)***
Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com
0 komentar: