Artikel Membaca Revolusi Tunisia

17.20.00 Iwan Wahyudi 0 Comments

Membaca Revolusi Tunisia

Oleh: Musthafa Luthfi*

Para pemimpin, analis, media Arab pada awal tahun baru 2011 ini sejatinya disibukkan oleh sejumlah isu yang lebih "panas" serta menyedot perhatian dan tenaga yang lumayan besar terutama terkait krisis politik di Libanon yang dapat menjurus ke perang saudara dan terpisahnya Sudan Selatan yang dapat mengancam keamanan regional Arab.

Tidak ada yang menduga, letupan di Tunisia yang dimulai sejak bulan Desember tahun lalu akhirnya dapat menumbangkan Zine El Abidine Ben Ali, sang rezim diktator yang juga anti terhadap segala bentuk kehidupan yang berbau Islam. Ben Ali yang oleh kebanyakan warga Tunisia biasa dijuluki Ben A Vie (dari bahasa Prancis yang berarti seumur hidup), sebagai bentuk ejekan karena ingin berkuasa seumur hidup di negeri berpenduduk sekitar 11 juta jiwa itu.

Ben A Vie yang sejak muda mendapat didikan Prancis tersebut menjadi Presiden Tunisia kedua sejak negara itu merdeka dari Perancis pada 1956 setelah mundurnya Presiden pertama Habib Bourguiba karena sakit-sakitan akibat penyakit tua renta pada 7 November 1987. Ben A Vie yang diharapkan mengadakan perubahan dari rezim diktator pendahulunya ternyata lebih parah, termasuk yang terkait dengan kehidupan yang berbau Islam yang menjadi agama 99 % rakyat negeri itu.

Di era keterbukaan yang mewarnai dunia Islam pada umumnya di akhir 1990-an atau pada awal abad 21, rezim diktator Ben A Avie sama sekali tidak peka. Selain terus memperkuat kekuasaan dengan menumbangkan tokoh oposisi, sang Presiden yang sudah berkuasa selama 23 tahun itu juga benar-benar berusaha terus "membuang" Islam dari tubuh negeri yang pernah ikut berjasa menyebarluaskan Islam ke seantero Afrika dan Eropa itu.

Sekularisme mutlak menjadi rujukan dan tidak boleh ada yang berbau agama termasuk pakaian penutup aurat terutama bagi kaum Muslimah dan ta`mir (menyemarakkan) masjid dimana pada masa kekuasaanya pelaksanaan shalat di masjid sangat dibatasi juga larangan mutlak wanita Muslim menggunakan hijab di luar rumah. Tunisia pada masa kekuasaan Ben Avie seolah-olah lebih eropa dari negara-negara Eropa sendiri.

Meskipun penulis belum sempat menginjakkan kaki di negeri Zaitun itu selama masa kekuasaan Ben A Avie sehingga kemungkinan besar tidak dapat membedakan secara langsung dengan masa pasca tumbangnya rezim ini bila ada kesempatan berkunjung dalam waktu dekat, namun dari penuturan banyak mahasiswa Indonesia yang menimba ilmu di negeri itu, sedikitnya memberikan gambaran betapa bencinya sang penguasa tirani itu atas ajaran agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW.

Penulis sebenarnya masih penasaran (setengah percaya) dengan penuturan rekan-rekan mahasiswa tersebut, hingga akhirnya bertemu teman, seorang dosen Tunisia di Yaman. Ia ternyata teman se-almamater saat melanjutkan S3 di Universitas Omm Darman Khartoum, Sudan yang sekarang menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta terkemuka di Yaman. Ia memilih meninggalkan negerinya setelah sempat beberapa lama mengajar di beberapa perguruan tinggi negara asalnya karena merasa tidak nyaman dengan kondisi negerinya yang sangat parah terutama terkait akhlak dan tadayyun (semangat melaksanakan ajaran agama).

"Apa yang Anda dengar tentang kondisi masyarakat negeri kami bukan bualan, tapi kenyataan yang sangat menyedihkan sehingga saya memilih meninggalkan Tunisia dan mengajar di Yaman," kata Dr. Ali suatu ketika. "Sebagai contoh, saya yang mengajar Studi Islam di depan mahasiswi-mahasiswi yang kami ajar dengan pakaian yang sangat tidak masuk akal sebagai mahasiswi Islam, misalnya dengan hanya pakai celana pendek dan pakaian yang mempertontonkan lekuk-lekuk aurat".

Merasa kondisi seperti itu sudah hampir tidak mungkin diubah, ia memboyong keluarganya ke negeri Sheba dan menetap sejak 6 tahun lebih. Sebagaimana halnya dengan sejumlah tokoh Muslim, akademisi dan pakar Tunisia lainnya yang menetap di luar negeri, Ali juga kemungkinan besar akan segera balik ke negeri tercinta setelah tumbangnya rezim diktator anti Islam tersebut.

Terlepas dari perebutan kekuasaan antar kalangan parpol di negeri itu setelah tumbangnya rezim diktator pada 14 Januari lalu, yang jelas wajah Islam dan tadayyun
(semangat melaksanakan ajaran agama) akan kembali mewarnai negeri itu setelah sempat dipasung selama setengah abad sejak rezim Bourguiba hingga Ben A Vie. Hampir dipastikan bahwa roda sejarah tidak akan berputar lagi ke belakangan di salah satu negeri Arab yang dekat dengan daratan Eropa itu, bahkan saat ini sedang dibahas amandemen konstitusi yang akan menghapus pemasungan kebebasan melaksanakan syariat, parpol yang berlandaskan Islam dan berbagai pemasungan lainnya.

"Tunisia saat ini telah melepaskan diri dari fase gelap masa kekuasaan Ben Ali di semua tingkatan mulai politik, sosial dan pelaksanaan ajaran Islam. Tadayyun adalah bagian yang tak terpisahkan dari rakyat Tunisia yang Muslim namun sempat mengalami pemudaran pada masa Ben Ali," papar Dr. Nur el-Din Mukhtar al-Khademi, Ahad (16/1).

Seorang pakar Muslim Tunisia ini dalam wawancaranya dengan salah satu situs Islam menjelaskan bahwa tadayyun akan lebih kokoh dan meluas di masa mendatang. "Sebagai contoh, begitu Ben Ali melarikan diri, rakyat Tunisia bebas melaksanakan shalat di jalan-jalan dan masjid-masjid tanpa perlu menunjukkan kartu," paparnya lagi.

Sebagaimana diketahui, pada masa kekuasaan sang diktator, setiap warga harus membawa kartu khusus ijin shalat di masjid tertentu yang ditandatangai petugas saat masuk dan saat keluar agar tidak segera meninggalkan masjid. Tentang akan maraknya kembali kaum Muslimah yang menggunakan hijab, al-Khademi mengatakan bahwa hijab sebenarnya tidak pernah lepas dari kaum Muslimah Tunisia dan bagian dari kesadaran beragama.

Pertama di Arab

Kejadian dramatis tumbangnya rezim Tunisia akibat revolusi rakyat tersebut merupakan pengalaman pertama di dunia Arab karena berbagai alih kekuasaan yang terjadi di berbagai negara Arab selama ini berlangsung lewat kudeta (baik kudeta berdarah atau kudeta putih/damai) atau sang penguasa didahului ajal sebelum masa kekuasaannya berakhir.

Sebagai contoh revolusi para personil AB Mesir terhadap dinasti Raja Farouk pada 1952, kemudian diikuti oleh puluhan kudeta di negara-negara Arab lainnya. Revolusi pertama kali dan serupa dengan kejadiaan di Tunisia itu untuk kawasan Timur Tengah terjadi di Iran pada 1979 yang menjatuhkan Sah Reza Pahlevi, sang diktator pendukung kuat Zionis Israel.

Menggambarkan kejadian di Tunisia, seorang analis Arab Saudi, Abdurrahman al-Rashid dalam kolomnya di harian al-Sharq al-Awstah, Ahad (16/1), menyebutkan bahwa sejarah menulis banyaknya revolusi di Arab, namun tak satu pun berbentuk revolusi sesungguhnya dengan kata lain revolusi rakyat. ``Semuanya karena kudeta atau alih kekuasaan secara paksa, karenanya revolusi di Tunisia membukukan sejarah baru sebab berbeda dengan revolusi-revolusi sebelumnya,`` paparnya.

Dia menggambarkan situasi di negeri dengan luas sekitar 163 ribu km2 atau 1,2 dari luas Pulau Jawa itu sebagai diluar jangkauan radar para pengamat dan hampir semua analis melihat bahwa kerusuhan hanya bersifat sementara dan aparat beserta tentara pasti akan segera memadamkannya. Pandangan ini banyak benarnya mengingat Ben Ali yang memiliki ribuan pasukan keamanan khusus dapat bertindak dengan tangan besi.

Sebelumnya banyak pihak yang berpendapat bahwa kerusuhan di negeri Zaitun ini lebih bersifat ekonomis karena banyaknya pemuda yang menganggur. Asumsi ini didasari karena letupan tersebut bermula dari unjuk rasa karena kesulitan ekonomi dari kota wisata, Sidi Bou Said yang meluas ke seantero negeri menimbulkan korban lebih dari 60 orang tewas.

Namun sejatinya yang terjadi adalah krisis politik yang lebih luas dibandingkan dengan masalah ekonomi dan pengangguran. Dengan kata lain, permasalahan utamanya adalah kebencian yang demikian memuncak terhadap pemerintahan diktator Ben Ali dan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya.

"Intinya pengangguran adalah satu-satunya yang tersisa sebagai sarana untuk menggugat pemerintah dan menunjukkan ketidakpercayaan terhadapnya. Pelaksanaan Pemilu selama ini hanya sebatas drama politis untuk melanggengkan kekuasaan tangan besi," ujar sejumlah analis lainnya.

Kondisi ekonomi memang buruk namun tidak seburuk kebanyakan negara Arab lainnya. Angka pengangguran misalnya 13 % bandingkan dengan Yaman yang mencapai 30 %, kemudian daya beli rakyat lebih tinggi dibandingkan tetangganya Libya yang penghasil minyak, sementara angka pertumbuhan ekonominya lebih tinggi dari tetangga lainnya, Aljazair yang menjadi salah satu produsen minyak dan gas terbesar di dunia.

Meskipun Tunisia miskin sumber alam dan hanya menggantungkan pendapatan di sektor pertanian dan pariwisata, namun berada di urutan teratas di dunia Arab dalam urusan pendidikan warganya. Negara ini masuk nomor 18 seluruh dunia yang paling banyak anggaran pendidikannya dan masih bertahan di urutan pertama di dunia Arab.

Apapun alasan jatuhnya Ben Ali atau Ben A Vie itu yang jelas rakyat Tunisia telah membukukan sejarah dan berhasil mengubah status quo di dunia Arab yang seolah-olah tidak mungkin diubah. "Rakyat Tunisia telah berhasil keluar dari kegelapan dan mengubah status quo yang seolah-olah tidak akan pernah bisa diubah," papar Zahir Majid, seorang analis Arab, Senin (17/1).

Pesan

Rakyat Tunisia yang meskipun jumlahnya kecil namun besar ditinjau dari pengorbanan dan harapan mereka, juga telah membuktikan diri sebagai sosok yang kuat dalam memerangi kezaliman, penguasa tiran dan memperjuangkan suatu keadilan.

Begitu juga dengan angkatan bersenjata negeri itu yang akhirnya memihak kepada rakyat dan menolak memuntahkan peluru senjata mereka ke warga sipil tak berdaya. Bahkan saat ini mereka sedang bentrok melawan pasukan keamanan khusus Presiden terguling (diperkirakan berjumlah 6 ribu personil), yang masih mencoba untuk membalikkan jarum sejarah.

Karena itu, kejadian di Tunisia itu bisa jadi sebagai pesan bagi para penguasa lainnya terutama di dunia Arab sebab tidak menutup kemungkinan dapat meluas ke negara-negara Arab lainnya. Paling tidak ada dua pesan penting dari letupan Tunisia, menurut Al-Rashid lagi, yang pertama bahwa masalah ini bukan hanya khusus bagi Tunisia tapi pelajaran bagi Arab lainnya, dan yang kedua persoalan ekonomi tidak bisa diatasi dengan pendekatan ekonomi semata.

Pelajaran lainnya, menurut Abdul Bari Athwan, pengamat Arab yang mukim di London adalah sikap tentara Tunisia yang patut dicontoh tentara-tentara Arab lainnya. "Tentara Tunisia telah menolak menjadi alat penindas oleh para penguasa untuk melanggengkan kekuasaan dan tindak korupsi korupsi mereka," tandasnya.

Karena itu, tidak berlebihan bila muncul kekhawatiran letupan itu akan meluas ke negara-negara Arab lainnya terutama yang masih tetap ingin melanggengkan status quo. Terlepas dari kekhawatiran tersebut, yang jelas hengkangnya Ben A Vie akan membuka lembaran baru bagi salah satu negeri Arab Maghribi ini terutama yang terkait dengan bangkitnya kembali semangat melaksanakan ajaran agama (tadayyun) setelah dua rezim berkuasa berusaha memadamkannya lebih dari setengah abad. [Sana`a, 14 Safar 1432 H/hidayatullah.com]

*Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com, kini tinggal di Yaman
*posted by: pkspiyungan.blogspot.com

You Might Also Like

0 komentar: