Oase Iman
*by Adib Nurhadi
Sumber : http://www.pkspiyungan.org
Menjadi Telaga atau Samudera, Wahai Aktivis?
Konon jauh dipedalaman belantara, ada sebuah telaga. Kerimbunan pohon
memayungi tepinya, kerapatan perdu menyembuyikan kecantikannya. Beberapa
ekor rusa anggun bertekuk lutut melipat kakinya, burung-burung membuat
sarang di kanan-kirinya. Beberapa pucuk daun jatuh menyapa permukaannya,
dan telaga itu beriak-riak membentuk lingkaran terus membesar sampai
tepi-tepi yang kemudian hilang. Terdengar keributan hewan-hewan di
sekitarnya, tetapi sayup-sayup. Suara yang paling nyata adalah desiran
angin di atasnya, atau bunyi katak terjun menyelami kedalamannya. Atau
sama sekali lenggang, ketika angin beristirahat bersama lelapnya alam
sekelilingnya.
Telaga itu begitu tenang. Cuma ada riak-riaknya. Permukaanya yang bening
mampu membuat langit dan isi alam sekelilingnya dapat berkaca.
Telaga itu di mana? Di buku-buku cerita peri yang sedang mengaso bersama
kupu-kupu bersayap indah dan bersama kelinci-kelinci lucu? Atau berada
pada legenda di ujung pelangi saat para bidadari turun mandi? Atau dalam
cerita pewayangan tempat para ksatria memulai tapa brata?
Telaga itu, di mana pun, ada sungguhan atau tidak ada, sering begitu
nyata dalam bangunan imajinasi manusia. Karena ketersembunyiannya,
kesahajaanya, ketenangannya, tentu saja telaga paling banyak dicari bagi
pengembara yang letih kehausan, yang terletak jauh di balik belantara,
jauh di balik bumi, jauh di balik kedalaman jiwa.
Telaga siapakah? Jika Anda sedang lelah, telaga menjadi tempat terbaik
untuk beristirahat dengan semilir anginnya. Jika Anda sedang haus,
telaga sangat baik untuk direguk karena kesejukan dan higienis airnya
begitu alami. Jika Anda merasa hampa, telaga adalah cermin tempat
ditemukanya kembali makna-makna. Telaga sendiri adalah sunyi yang cukup
bagi dirinya sendiri, ketika Anda tengah kehilangan orientasi dan sepi
di tengah hiruk pikuk kesibukan.
Personifikasi telaga dapat bermacam-macam. Bisa orangtua, pasangan
hidup, murabbi, kiai, ustadz, atau orang yang paling dekat di hati kita.
Sebagian mereka adalah tamsil bagi telaga yang nyata. Namun, sebagian
mereka ada yang menuntut agar telaga terpersonifikasi senyata-nyatanya.
***
Seorang rekan yang berprofesi sebagi aktivis mengenyakkan badannya di
emper sebuah kampus. Senja itu hampir saja datang dengan iringan angin
sepoi yang sejuk. Udara sejuk masih ada, sesejuk air telaga. Lalu
aktivis itu berkata pada dirinya sendiri, “Aku sebel dengan diriku sendiri, tetapi aku begitu capek harus selalu menjadi telaga….”
Oh, para aktivis penyampai idealisme dan kebenaran, apa kata dunia jika
kalian ogah menjadi telaga bagi sesama? Padahal, kalian diamanatkan
Tuhan cinta-cinta yang tulus, yang memberi tanpa pamrih, yang tidak
mengambil, kecuali ala kadarnya, yang tenang dan menenangkan.
Berbagai cerita kartun sampai nilai adat-istiadat mendukung tuntunan
bahwa seorang yang berjiwa besar harus memiliki dan mampu memberi telaga
di tengah hutan pada siapa pun, sehingga keberadaanya jauh memberi rasa
nyaman dan aman. Seorang yang berjiwa besar atau yang sedang berupaya
mendapatkan kebesaran jiwa, harus terus berlatih menjadi telaga yang
ketenangannya tidak terusik oleh kebisingan dan hiruk pikuk di
sekelilingnya, sehingga setiap orang -bahkan dirinya sendiri- akan terus
mencari. Dan sejuk dihampirinya.
Seseorang yang telah mendapatkan sentuhan kebenaran, konsekuensinya
menyampaikan kebenaran pada yang lain, mewarisi kebeningan hati. Ia
harus mampu menyederhanakan puluhan kalimat menjadi satu-dua kata,
memeras kata-kata menjadi makna, dan membagikannya seperti membagikan
segelas es teh pada siapa saja yang dahaga, tanpa memandang bangsa,
suku, perbedaan ideologi, perbedaan afiliasi politik, bahkan perbedaan
agama! Ia harus selalu memberi ketenangan dan kesejukan.
Namun telaga manusia tidak berada di balik bajunya. Ketelagaan seseorang
ada di balik hatinya. Dan betapa kecilnya telaga itu. Ia bisa saja
kering ketika kemarau panjang datang. Atau kelebihan air ketika musim
hujan datang, ia akan mengalirkannya ke lautan. Karenanya, biar saja
setiap orang, lebih-lebih yang mengaku aktivis penyampai jalan kebenaran
itu lelah jadi telaga. Dia jujur dan mengenali kelelahannya, itu yang
penting. Dia pun tidak wajib menyodorkan segelas es teh, tetapi juga
berhak mendapatkan segelas es teh. Selain itu, menjadi sebuah telaga
bukan akhir dari proses untuk “menjadi”.
“Kenapa tidak menjadi samudera saja?” Barangkali itu yang akan kita tanyakan.
Samudera itu luas. Kandungannya banyak. Nelayan-nelayan mencari ikan di
dalamnya, orang mengebor minyak bumi di lepas pantainya, membangun
kota-kota pelabuhan di tepinya, dan berlayar di atasnya. Para penemu
benua baru mengalami proses kematangan mental terpenting dalam hidupnya
setelah mengarungi keluasannya. Memang, samudera tidak sejernih dan
setenang telaga yang indah karena kecilnya, tetapi sering membuat orang
terperangah dan kecut karena keluasannya. Jika badai terjadi di tengah
samudera, kapal-kapal kecil tinggal menunggu kehancurannya. Jika badai
raksasa datang menggulung, bahkan kota-kota yang ada di sekelilingnya
pun bisa hilang dalam sekejap. Namun, telaga bisa kering, dan makhluk di
sekitarnya pun bisa mati kehausan kelaparan.
Jika telaga ada di balik hati, samudera kemanusiaan pun tampaknya susah
untuk ditunjuk oleh sebuah kalimat. Ini lantaran keluasannya dan
kedalamannya. Seorang yang ikhlas menemukan samudera di ujung amal
kesehariannya yang diniatkan secara tulus karena Allah semata. Tetapi,
seorang perindu Allah dapat juga menemukan samuderanya bersamaan dengan
kehadiran seseorang yang ikhlas menerimanya. Samudera itu dapat bersama
dengan hadirnya seorang sahabat perempuan atau lelaki, atau bahkan
anak-anak seusia yang belajar alif, ba, ta, di TPA. Karena samudera kemanusiaan amat berdimensi Ilahi. Bahkan dalam tingkat kesujudan tertentu, samudera kemanusiaan adalah Allah sendiri yang luas dan dalamnya tak terbatas.
Menyamudera adalah proses tanpa akhir, karena akhirnya adalah samudera
itu sendiri. Menyamudera adalah proses yang lebih jujur dan dinamis, dan
menantang daripada menjadi telaga. Karena pada saat itu manusia tidak
sedang unjuk kekuatan dan segala atribut kepentingan, tetapi sedang
sedang berjalan menuju-Nya.
Menjadi telaga atau samudera pada dasarnya adalah pilihan bebas bagi
siapa saja; atau justru dipilih kedua-duanya. Telaga dalam diri kita
tidak harus kita cari dalam kedalaman spiritual. Tetapi terkadang dalam
kesahajaan dan kesederhanaan yang dilandasi dengan kesadaran spiritual.
Untuk menjadi telaga atau samudera sama-sama harus mengubah diri kita
menjadi air terlebih dahulu, menepati ruang, sesuai dengan tempatnya,
transparan meskipun air tidak harus mengubah dirinya menjadi benda
lain.
Air telaga dan samudera adalah air yang keberadaannya berasal dari
air-air mengalir yang bisa jadi memerlukan proses panjang berliku.
Justru dengan proses inilah, kematangan dan kearifan hidup dapat
dicapai. Proses panjang untuk menuju proses menjadi inilah yang menurut
Jalaluddin Rummi sebagai proses ‘cinta’, karena segala eksistensi yang
berjalan menuju-Nya adalah sebuah perjalanan kekal. Hanya dengan
cintalah diri kita akan mampu berubah menjadi telaga atau samudera.
Sungguh Cinta mengubah yang pahit menjadi manis. Debu beralih emas. Keruh menjadi bening. Sakit menjadi sembuh. Penjara menjadi telaga. Derita menjadi nikmat. Dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang melunakkan besi. Menghancur-leburkan batu karang. Membangkitkan yang mati. Dan meniupkan kehidupan padanya. Serta membuat budak menjadi pemimpin. (Jalaluddin Rumi)
Dan pada akhirnya, bagi siapa saja yang dalam dirinya tersemai kesadaran
melakukan perbaikan, baik bagi dirinya maupun orang lain, dengan apa
yang selama ini kita sebut dakwah dalam dimensi sosial keagamaan,
senantiasa dituntut untuk memiliki ketenangan dan semangat yang
mengerakkan. Ia harus menjadi telaga atau samudera. Atau ia harus
menciptakan kedua-duanya dalam kesadaran di balik dadanya. []
*by Adib Nurhadi
Sumber : http://www.pkspiyungan.org
0 komentar: