Opini
Oleh: Dr. Adian Husaini
“… setelah dibersihkan lalu diukur badan termasuk buah dada (badan)nya dan kemudian diperas susunya untuk dijual, tanpa menyadari bahwa dia sebenarnya sudah dimanfaatkan, dijadikan sapi perah. Untuk kepentingan dan keuntungan siapa?” (Dr. Daoed Joesoef).
Itulah pernyataan keras mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr.Daoed Joesoef, soal kontes-kontes ratu kecantikan, seperti ditulis dalam memoarnya “Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran” (Jakarta: Kompas, 2006).
Daoed Joesoef tidak berlebihan. Masalah eksploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan bisnis sudah banyak disorot pemerhati masyarakat dan keperempuanan. UGM Yogyakarta, tahun 2004, meluluskan sebuah Tesis S2, yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku bertajuk: Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan, karya Kasiyan, (Yogya: Ombak, 2008).
Deborah Lupton, dalam bukunya, “Medicine as Culture: Illness, Disease and The Body in Western Societies” (1994), seperti dikutip Kasiyan, mengungkapkan, bahwa tubuh perempuan dalam media massa menjadi alat yang sangat penting dalam berbagai proses sosial ekonomi, guna memberikan daya tarik erotis berbagai produk. “Di negeri kami, tubuh perempuan bukan milik perempuan. Dada dan paha sudah dijatahkan buat biro iklan dan wartawan,” tulis budayawan Ariel Haryanto. (Kasiyan, 246)
Menganalisis begitu dominannya pemanfaatan tubuh perempuan dalam iklan di media massa, dalam Tesisnya itu, Kasiyan mencatat, “… maka setiap potensi micro desire yang ada pada tubuh dan diri perempuan, telah dimanipulasi serta dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga menjadi tanda-tanda, dan akhirnya menjadi objek komoditas.”
Lalu, mengutip, pendapat Piliang (1998), ia paparkan, “Di sinilah para kapitalis lewat salah satu mesin provit-itas terefektifnya, berupa iklan di media massa, akhirnya mengejawantahkan dirinya menjadi seperti sesosok ‘mucikari’, yakni menggunakan segala cara untuk mengkomersialkan setiap rangsangan libido publik, demi mendapatkan nilai tambah yang sebesar-besarnya secara ekonomis.” (Kasiyan, 247-248).
Era industrialisasi kapitalistik yang menempatkan perempuan sebagai objek eksploitasi berusaha mengkaitkan segala objek kecantikan dengan konotasi seksual. Lihatlah, begitu banyak perempuan cantik dan seksi dijadikan sebagai simbol produk-produk yang sama sekali tidak ada terkait dengan tubuh perempuan. Iklan mobil, cat pembersih mobil, ban mobil, cat dinding, dan sebagainya dipaksakan dibintangi iklannya oleh perempuan muda dan seksi. Artinya, segala sesuatu harus diseksualkan dan dikaitkan dengan libido.
Dalam perspektif inilah kita bisa melihat kegairahan para pebisnis dan ‘mucikari kecantikan’ terlibat dalam kontes-kontes kecantikan seperti Miss World. Panitia mengklaim, Miss World menjadi ajang promosi budaya Indonesia, seperti sarung dan karya-karya desainer Indonesia. Panitia itu benar, jika dilihat dalam perspektif upaya seksualisasi atau libidonisasi sasaran penjualan produk. Supaya calon pembeli produk terangsang syahwatnya untuk membeli, maka produk-produk itu ditempelkan di tubuh perempuan yang cantik, muda, montok, menggairahkan, dan “telah teruji serta terukur” kecantikannya.
Panitia Miss World sepertinya sama sekali tidak terbersit di benak mereka, memberikan kehormatan kepada Ibu Ani SBY atau Ibu Menteri Linda Agum Gumelar untuk berlenggok di pentas dan dipelotori jutaan pasang mata seluruh dunia, dalam balutan “sarung Bali”. Sebenarnya, apa yang hendak dipromosikan dan diharapkan untuk dilahap oleh para calon pembeli? Apakah mata, hidung, bibir, dada, perut, pantat, paha, betis para peserta kontes Miss World? Apakah para penonton masih tertarik melihat sehelai kain yang dibelitkan di tubuh perempuan-perempuan cantik itu?
Komodifikasi nafsu libido dalam bentuk pengendalian organ-organ tubuh perempuan untuk kepentingan pasar, telah mengakibatkan keberadaan perempuan sebagai sesosok insan – yang oleh Michel Foucault dalam buku “The History of Sexuality” (1990) – disebut mengalami “the death of reality”. Sebagai subjek, perempuan itu telah mati, karena dikendalikan oleh ideologi pasar. (Kasiyan, 249).
Kondisi ini mirip dengan fenomena ‘kematian hati/akal’ manusia saat dicengkeram hawa nafsunya, sebagaimana digambarkan dalam al-Quran (QS 45:23). Orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai “tuhan”-nya, akan tersesat, tertutup mata hati dan telingnya untuk menerima kebenaran. Penglihatannya pun terhalang melihat yang benar. Dunia menjadi gelap. Yang terlihat dan dirasa hanya syahwat.
Dalam peradaban yang lebih menghargai syahwat dari pada logika kesucian jiwa dan taqwa, maka kontes Miss World menemukan bentuknya. Logikanya hanya satu: keuntungan materi dengan kemasan libido seksual. Meskipun mengusung jargon baru: beauty, brain, and behavior (3B), tetap saja, yang terpenting adalah “beauty”. Perempuan cebol, pincang, peyot – dengan prestasi intelektual dan sosial selangit – mustahil diberi peluang untuk melenggang di pentas Miss World. Sebab, secara seksual, ia tidak laku “dijual”.
Dalam perspektif inilah, media sponsor Miss World bisa dikatakan telah melakukan “kejahatan kemanusiaan”, karena melakukan proses “dehumanisasi” dan eksploitasi perempuan sebagai objek seksual. Dalam Tesisnya, Kasiyan melukiskan fenomena semacam ini sebagai berikut:
“… ketika perempuan cenderung distereotipkan secara sosial, bahwa nilai lebihnya itu hanya terdapat pada daya tarik seksualnya, dengan indikasinya adalah terletak pada kecantikan, kemulusan, kesegaran, serta kemontokan tubuhnya, maka tanpa disadari, akhirnya perempuan didorong dan bahkan ‘dipaksa’ untuk memenuhi tuntutan tersebut, jika ingin mendapatkan penghargaan dari masyarakat, yang didominasi oleh budaya patriarkhis. Pada sisi lain, untuk memenuhi tuntutan tubuh yang harus selalu tampak muda, segar, mulus, montok, menggairahkan, serta sederetan kualitas kesan citra artifisial lainnya tersebut, ia (perempuan) akhirnya menjadi korban stadium lanjut berikutnya, dari sistem kapitalisme… Padahal dibalik semua itu, eksploitasi terhadapnya nyaris bersifat total, sehingga tubuh perempuan akhirnya terjerumus ke dalam apa yang dikatakan oleh Foucault, menjadi semacam power machinery yang harus selalu dieksplorasi, dibongkar, dan dirombak ulang. Bukankah perempuan akan selalu memeriksa dandanannya berkali-kali di setiap saat, hanya untuk sekedar melihat, misalnya, apakah alas bedak dan lipstiknya masih lengket atau maskara-nya sudah rusak. Oleh karena itu, di bawah kuasa ideologi patriarkhi yang terefleksi dalam representasi iklan di media massa tersebut, tubuh perempuan dieksploitasi secara sistemik, hanya untuk semata-mata menghadirkan dan memberikan gairah kenikmatan (jouissance).” (Kasiyan, 275-277).
Bisa dipahami, di alam “hegemoni syahwat-kapitalistik” semacam itu, kecantikan perempuan menjadi komoditas tinggi untuk dijual. Sebagian ilmuwan menyebut “kecantikanisme” justru menjadi alat ampuh untuk mengendalikan perempuan. Perempuan cantik adalah objek yang menggiurkan untuk dijual para “mucikari kecantikan”. Ironisnya, kini, bisnis kapitalis itu dikemas dengan kata-kata indah “demi kepentingan bangsa”, sehingga harus disukseskan dan diamankan dengan kekuatan polisi dan tentara Republik Indonesia.
Dalam buku “The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women”, Naomi Wolf mengemukakan, bahwa tekanan untuk senantiasa menjadi cantik telah menjadi sebentuk kontrol efektif bagi budaya kontemporer untuk mengendalikan perempuan. Lebih jauh lagi, Mary Wollstonecraft dalam “Vindication of The Rights of Woman” (1972), menyatakan, perempuan seringkali sebagai budak ‘kecantikan’, untuk dilihat, dipuja, dan ditinggikan laki-laki, namun tidak sederajat dalam hak dan kekuasaan. (Kasiyan, 280).
Penipuan dan Pelecehan
Karena itulah, dalam soal kontes-kontes kecantikan, Dr Daoed Joesoef tetap pada pendiriannya, bahwa kontes-kontes semacam itu adalah suatu bentuk penipuan. Dalam memoarnya, ia menulis: “Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang adalah suatu penipuan, di samping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini adalah tak lain dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan, dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah. Sebagai ekonom aku tidak a priori anti kegiatan bisnis. Adalah normal mencari keuntungan dalam berbisnis, namun bisnis tidak boleh mengenyampingkan begitu saja etika. Janganlah menutup-nutupi target keuntungan bisnis itu dengan dalih muluk-muluk, sampai-sampai mengatasnamakan bangsa dan Negara.”
”Pendek kata,” lanjutnya, “Kalau di zaman dahulu para penguasa (raja) saling mengirim hadiah berupa perempuan, zaman sekarang pebisnis yang berkedok lembaga kecantikan, dengan dukungan pemerintah dan restu publik, mengirim perempuan pilihan untuk turut ”meramaikan” pesta kecantikan perempuan di forum internasional.”
Karena itu, tegasnya, “Stop all those nonsense! Hentikan semua kegiatan pemilihan ratu kecantikan yang jelas mengeksploitasi perempuan dan pasti merendahkan martabatnya!”….
Itu imbau Dr. Daoed Joesoef yang saat mejabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1977-1982), dikenal sebagai tokoh yang sangat sekuler. Saat itu, dalam memoarnya, Daoed Joesoef menulis, bahwa ia menolak mengucapkan salam Islam, karena – katanya – ia bukan hanya menterinya orang Islam. Ia juga mengusulkan kepada Pak Harto agar Natal Bersama bisa dilakukan di Istana Negara, sebagaimana Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. Pak Harto menolak, dengan cara diam. Namun, dalam soal kontes kecantikan, pendapat Daoed Joesoef patut diacungi jempol!
Jika tokoh sekuler saja begitu paham akan dampak buruk dari kontes Miss World dan sejenisnya bagi bangsa Indonesia, maka seyogyanya, para pemimpin dan tokoh yang mengaku religius dan mencintai bangsa ini, lebih paham lagi. Negeri ini merdeka dengan tetesan darah para syuhada. Bangsa ini akan maju dan menjadi bangsa besar yang disegani dunia, jika dibangun dengan kerja keras, dengan mengembangkan budaya ilmu dan cinta buku! Bukan budaya jual diri dan mengumbar nafsu! Memang, jika hawa nafsu telah dijadikan “tuhan” maka manusia akan terhalang memahami kebenaran? (QS 45:23).
Jangan ikuti Iblis!
Sebagai bangsa yang secara tegas menyatakan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa; mengakui dalam konstitusi, bahwa kemerdekaan RI adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa; menyatakan komitmen membangun manusia yang adil dan beradab; menegaskan dalam lagu kebangsaannya “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”, maka seharusnya segala bentuk kontes eksploitasi tubuh perempuan – apa pun bentuk dan namanya -- tidak boleh dikembangkan di bumi Indonesia.
Dalam perpsektif Islam, manusia adil dan beradab adalah manusia yang mampu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Sang Pencipta. Sebab, manusia itu ciptaan Tuhan. Bukan hanya pelangi saja yang merupakan ciptaan Tuhan. Manusia juga hamba Tuhan; bukan hamba nafsu, sebagaimana binatang. Manusia tidak sama dengan binatang. Tidak akan jadi kontroversi hebat jika peserta kontes Miss World itu adalah monyet, anjing, atau babi.
Manusia menghargai kecantikan. Itu sifat alamiah manusia (QS 3:14). Nabi Muhammad saw juga menyebutkan perempuan dinikahi karena kecantikannya, hartanya, nasabnya, dan agamanya. Memilih yang cantik itu naluriah. Tapi, diingatkan, utamakan factor agama, maka anda akan selamat! Itu kata Nabi saw. Kecantikan bukan jaminan kebahagiaan. Lihatlah, betapa banyak laki-laki merana setelah menikah dengan perempuan cantik.
Cantik patut disyukuri. Maknanya, gunakan kecantikan sesuai dengan amanah Sang Pemberi Kecantikan, yaitu Allah SWT. Syukurilah anugerah kecantikan! Gunakan kecantikan untuk ibadah. Supaya hidup bahagia!
Jangan kufur! Ingkar perintah dan larangan Tuhan! Apalagi sampai berani menantang Tuhan, dengan (seolah-olah) berkata lantang pada-Nya:
“Tuhan, tolong, jangan campuri urusanku! Ini tubuhku sendiri! Aku punya otonomi penuh untuk mengatur tubuhku! Apakah tubuhku aku jual; aku pertontonkan; aku perlihatkan detil-detil keindahannya kepada para juri dan panitia Miss World; atau aku tutupi; aku punya otonomi penuh mengatur tubuhku! Bukan Engkau wahai Tuhan!
Jangan sok ngatur-ngatur aku! Aku berbuat ini demi kepentingan bangsaku; agar pariwisatanya maju; banyak yang mau berkunjung ke tanah airku, setelah keindahan tubuhku dinikmati oleh para makhluk-Mu! Mereka akan tertarik datang ke negeriku, membeli kain sarung yang melilit di tubuhku ini, Tuhan!
Wahai Tuhan, tolong sampaikan kepada ulama-ulama yang sok moralis, yang katanya menjaga moral bangsa. Tutup mulut mereka! Mereka tak paham arti budaya bangsa! Tidak ada yang aku langgar dari nilai-nilai budaya bangsa ini! Bahkan, aku jauh lebih sopan, karena diantara nilai budaya yang masih dilestarikan bangsa kami adalah wanita bertelanjang dada dan laki-laki berkoteka. Kalau ulama-ulama itu tidak suka dengan kontesku ini, diam saja! Urus saja diri mereka sendiri! Silakan demo! Aku tidak peduli! Habiskan energi mereka untuk demo dan teriak-teriak! Aku tidak peduliiii Tuhan!
Wahai Tuhan, sekali lagi, jangan campuri urusan ku! Aku sudah mampu mengatur diriku sendiri. Aturan-aturanmu soal baju itu hanya cocok untuk manusia abad ketujuh! Sekarang zaman sudah maju! Para desainer ku lebih hebat dari Engkau wahai Tuhan dalam memilihkan baju untukku! Karena itu, aku lebih percaya pada pilihan mereka! Bukan pilihan-Mu yang sudah uang dan ketinggalan jaman!
Wahai Tuhan, saksikan wahai Tuhan, aku akan tunjukkan seluruh keindahan tubuhku ini kepada siapa saja yang mau menikmatinya! Panitia telah bekerja keras selama tiga tahun! Ini kontes Miss World, Tuhan! Miss World! Ini Kontes kecantikan, Tuhan! Bukan olimpiade matematika! Biarlah tubuhku dijual oleh mucikari kecantikan! Karena itu yang paling mereka minati, Tuhan! Itu yang mereka mau dariku!
Ha…ha… ha… wahai Tuhan! … heighh… heighh… heighh… Tuuuu… haaannn… tolong sampaikan pada bangsaku… jangan mau dibohongi mucikari… tolong tolong …. Botol lagi… botol lagi…. tambah… tambah…….terusss… terusss… tonton aku…. Lihat tubuhku…. Pandangi terus tubuhku… jangan berhenti… demi kemajuan bangsa… demi budaya bangsa… demi pariwisata…. !!! (Depok, 7 september 2013).*
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
Miss World dan “Mucikari” Kecantikan
Oleh: Dr. Adian Husaini
“… setelah dibersihkan lalu diukur badan termasuk buah dada (badan)nya dan kemudian diperas susunya untuk dijual, tanpa menyadari bahwa dia sebenarnya sudah dimanfaatkan, dijadikan sapi perah. Untuk kepentingan dan keuntungan siapa?” (Dr. Daoed Joesoef).
Itulah pernyataan keras mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr.Daoed Joesoef, soal kontes-kontes ratu kecantikan, seperti ditulis dalam memoarnya “Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran” (Jakarta: Kompas, 2006).
Daoed Joesoef tidak berlebihan. Masalah eksploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan bisnis sudah banyak disorot pemerhati masyarakat dan keperempuanan. UGM Yogyakarta, tahun 2004, meluluskan sebuah Tesis S2, yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku bertajuk: Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan, karya Kasiyan, (Yogya: Ombak, 2008).
Deborah Lupton, dalam bukunya, “Medicine as Culture: Illness, Disease and The Body in Western Societies” (1994), seperti dikutip Kasiyan, mengungkapkan, bahwa tubuh perempuan dalam media massa menjadi alat yang sangat penting dalam berbagai proses sosial ekonomi, guna memberikan daya tarik erotis berbagai produk. “Di negeri kami, tubuh perempuan bukan milik perempuan. Dada dan paha sudah dijatahkan buat biro iklan dan wartawan,” tulis budayawan Ariel Haryanto. (Kasiyan, 246)
Menganalisis begitu dominannya pemanfaatan tubuh perempuan dalam iklan di media massa, dalam Tesisnya itu, Kasiyan mencatat, “… maka setiap potensi micro desire yang ada pada tubuh dan diri perempuan, telah dimanipulasi serta dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga menjadi tanda-tanda, dan akhirnya menjadi objek komoditas.”
Lalu, mengutip, pendapat Piliang (1998), ia paparkan, “Di sinilah para kapitalis lewat salah satu mesin provit-itas terefektifnya, berupa iklan di media massa, akhirnya mengejawantahkan dirinya menjadi seperti sesosok ‘mucikari’, yakni menggunakan segala cara untuk mengkomersialkan setiap rangsangan libido publik, demi mendapatkan nilai tambah yang sebesar-besarnya secara ekonomis.” (Kasiyan, 247-248).
Era industrialisasi kapitalistik yang menempatkan perempuan sebagai objek eksploitasi berusaha mengkaitkan segala objek kecantikan dengan konotasi seksual. Lihatlah, begitu banyak perempuan cantik dan seksi dijadikan sebagai simbol produk-produk yang sama sekali tidak ada terkait dengan tubuh perempuan. Iklan mobil, cat pembersih mobil, ban mobil, cat dinding, dan sebagainya dipaksakan dibintangi iklannya oleh perempuan muda dan seksi. Artinya, segala sesuatu harus diseksualkan dan dikaitkan dengan libido.
Dalam perspektif inilah kita bisa melihat kegairahan para pebisnis dan ‘mucikari kecantikan’ terlibat dalam kontes-kontes kecantikan seperti Miss World. Panitia mengklaim, Miss World menjadi ajang promosi budaya Indonesia, seperti sarung dan karya-karya desainer Indonesia. Panitia itu benar, jika dilihat dalam perspektif upaya seksualisasi atau libidonisasi sasaran penjualan produk. Supaya calon pembeli produk terangsang syahwatnya untuk membeli, maka produk-produk itu ditempelkan di tubuh perempuan yang cantik, muda, montok, menggairahkan, dan “telah teruji serta terukur” kecantikannya.
Panitia Miss World sepertinya sama sekali tidak terbersit di benak mereka, memberikan kehormatan kepada Ibu Ani SBY atau Ibu Menteri Linda Agum Gumelar untuk berlenggok di pentas dan dipelotori jutaan pasang mata seluruh dunia, dalam balutan “sarung Bali”. Sebenarnya, apa yang hendak dipromosikan dan diharapkan untuk dilahap oleh para calon pembeli? Apakah mata, hidung, bibir, dada, perut, pantat, paha, betis para peserta kontes Miss World? Apakah para penonton masih tertarik melihat sehelai kain yang dibelitkan di tubuh perempuan-perempuan cantik itu?
Komodifikasi nafsu libido dalam bentuk pengendalian organ-organ tubuh perempuan untuk kepentingan pasar, telah mengakibatkan keberadaan perempuan sebagai sesosok insan – yang oleh Michel Foucault dalam buku “The History of Sexuality” (1990) – disebut mengalami “the death of reality”. Sebagai subjek, perempuan itu telah mati, karena dikendalikan oleh ideologi pasar. (Kasiyan, 249).
Kondisi ini mirip dengan fenomena ‘kematian hati/akal’ manusia saat dicengkeram hawa nafsunya, sebagaimana digambarkan dalam al-Quran (QS 45:23). Orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai “tuhan”-nya, akan tersesat, tertutup mata hati dan telingnya untuk menerima kebenaran. Penglihatannya pun terhalang melihat yang benar. Dunia menjadi gelap. Yang terlihat dan dirasa hanya syahwat.
Dalam peradaban yang lebih menghargai syahwat dari pada logika kesucian jiwa dan taqwa, maka kontes Miss World menemukan bentuknya. Logikanya hanya satu: keuntungan materi dengan kemasan libido seksual. Meskipun mengusung jargon baru: beauty, brain, and behavior (3B), tetap saja, yang terpenting adalah “beauty”. Perempuan cebol, pincang, peyot – dengan prestasi intelektual dan sosial selangit – mustahil diberi peluang untuk melenggang di pentas Miss World. Sebab, secara seksual, ia tidak laku “dijual”.
Dalam perspektif inilah, media sponsor Miss World bisa dikatakan telah melakukan “kejahatan kemanusiaan”, karena melakukan proses “dehumanisasi” dan eksploitasi perempuan sebagai objek seksual. Dalam Tesisnya, Kasiyan melukiskan fenomena semacam ini sebagai berikut:
“… ketika perempuan cenderung distereotipkan secara sosial, bahwa nilai lebihnya itu hanya terdapat pada daya tarik seksualnya, dengan indikasinya adalah terletak pada kecantikan, kemulusan, kesegaran, serta kemontokan tubuhnya, maka tanpa disadari, akhirnya perempuan didorong dan bahkan ‘dipaksa’ untuk memenuhi tuntutan tersebut, jika ingin mendapatkan penghargaan dari masyarakat, yang didominasi oleh budaya patriarkhis. Pada sisi lain, untuk memenuhi tuntutan tubuh yang harus selalu tampak muda, segar, mulus, montok, menggairahkan, serta sederetan kualitas kesan citra artifisial lainnya tersebut, ia (perempuan) akhirnya menjadi korban stadium lanjut berikutnya, dari sistem kapitalisme… Padahal dibalik semua itu, eksploitasi terhadapnya nyaris bersifat total, sehingga tubuh perempuan akhirnya terjerumus ke dalam apa yang dikatakan oleh Foucault, menjadi semacam power machinery yang harus selalu dieksplorasi, dibongkar, dan dirombak ulang. Bukankah perempuan akan selalu memeriksa dandanannya berkali-kali di setiap saat, hanya untuk sekedar melihat, misalnya, apakah alas bedak dan lipstiknya masih lengket atau maskara-nya sudah rusak. Oleh karena itu, di bawah kuasa ideologi patriarkhi yang terefleksi dalam representasi iklan di media massa tersebut, tubuh perempuan dieksploitasi secara sistemik, hanya untuk semata-mata menghadirkan dan memberikan gairah kenikmatan (jouissance).” (Kasiyan, 275-277).
Bisa dipahami, di alam “hegemoni syahwat-kapitalistik” semacam itu, kecantikan perempuan menjadi komoditas tinggi untuk dijual. Sebagian ilmuwan menyebut “kecantikanisme” justru menjadi alat ampuh untuk mengendalikan perempuan. Perempuan cantik adalah objek yang menggiurkan untuk dijual para “mucikari kecantikan”. Ironisnya, kini, bisnis kapitalis itu dikemas dengan kata-kata indah “demi kepentingan bangsa”, sehingga harus disukseskan dan diamankan dengan kekuatan polisi dan tentara Republik Indonesia.
Dalam buku “The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women”, Naomi Wolf mengemukakan, bahwa tekanan untuk senantiasa menjadi cantik telah menjadi sebentuk kontrol efektif bagi budaya kontemporer untuk mengendalikan perempuan. Lebih jauh lagi, Mary Wollstonecraft dalam “Vindication of The Rights of Woman” (1972), menyatakan, perempuan seringkali sebagai budak ‘kecantikan’, untuk dilihat, dipuja, dan ditinggikan laki-laki, namun tidak sederajat dalam hak dan kekuasaan. (Kasiyan, 280).
Penipuan dan Pelecehan
Karena itulah, dalam soal kontes-kontes kecantikan, Dr Daoed Joesoef tetap pada pendiriannya, bahwa kontes-kontes semacam itu adalah suatu bentuk penipuan. Dalam memoarnya, ia menulis: “Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang adalah suatu penipuan, di samping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini adalah tak lain dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan, dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah. Sebagai ekonom aku tidak a priori anti kegiatan bisnis. Adalah normal mencari keuntungan dalam berbisnis, namun bisnis tidak boleh mengenyampingkan begitu saja etika. Janganlah menutup-nutupi target keuntungan bisnis itu dengan dalih muluk-muluk, sampai-sampai mengatasnamakan bangsa dan Negara.”
”Pendek kata,” lanjutnya, “Kalau di zaman dahulu para penguasa (raja) saling mengirim hadiah berupa perempuan, zaman sekarang pebisnis yang berkedok lembaga kecantikan, dengan dukungan pemerintah dan restu publik, mengirim perempuan pilihan untuk turut ”meramaikan” pesta kecantikan perempuan di forum internasional.”
Karena itu, tegasnya, “Stop all those nonsense! Hentikan semua kegiatan pemilihan ratu kecantikan yang jelas mengeksploitasi perempuan dan pasti merendahkan martabatnya!”….
Itu imbau Dr. Daoed Joesoef yang saat mejabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1977-1982), dikenal sebagai tokoh yang sangat sekuler. Saat itu, dalam memoarnya, Daoed Joesoef menulis, bahwa ia menolak mengucapkan salam Islam, karena – katanya – ia bukan hanya menterinya orang Islam. Ia juga mengusulkan kepada Pak Harto agar Natal Bersama bisa dilakukan di Istana Negara, sebagaimana Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. Pak Harto menolak, dengan cara diam. Namun, dalam soal kontes kecantikan, pendapat Daoed Joesoef patut diacungi jempol!
Jika tokoh sekuler saja begitu paham akan dampak buruk dari kontes Miss World dan sejenisnya bagi bangsa Indonesia, maka seyogyanya, para pemimpin dan tokoh yang mengaku religius dan mencintai bangsa ini, lebih paham lagi. Negeri ini merdeka dengan tetesan darah para syuhada. Bangsa ini akan maju dan menjadi bangsa besar yang disegani dunia, jika dibangun dengan kerja keras, dengan mengembangkan budaya ilmu dan cinta buku! Bukan budaya jual diri dan mengumbar nafsu! Memang, jika hawa nafsu telah dijadikan “tuhan” maka manusia akan terhalang memahami kebenaran? (QS 45:23).
Jangan ikuti Iblis!
Sebagai bangsa yang secara tegas menyatakan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa; mengakui dalam konstitusi, bahwa kemerdekaan RI adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa; menyatakan komitmen membangun manusia yang adil dan beradab; menegaskan dalam lagu kebangsaannya “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”, maka seharusnya segala bentuk kontes eksploitasi tubuh perempuan – apa pun bentuk dan namanya -- tidak boleh dikembangkan di bumi Indonesia.
Dalam perpsektif Islam, manusia adil dan beradab adalah manusia yang mampu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Sang Pencipta. Sebab, manusia itu ciptaan Tuhan. Bukan hanya pelangi saja yang merupakan ciptaan Tuhan. Manusia juga hamba Tuhan; bukan hamba nafsu, sebagaimana binatang. Manusia tidak sama dengan binatang. Tidak akan jadi kontroversi hebat jika peserta kontes Miss World itu adalah monyet, anjing, atau babi.
Manusia menghargai kecantikan. Itu sifat alamiah manusia (QS 3:14). Nabi Muhammad saw juga menyebutkan perempuan dinikahi karena kecantikannya, hartanya, nasabnya, dan agamanya. Memilih yang cantik itu naluriah. Tapi, diingatkan, utamakan factor agama, maka anda akan selamat! Itu kata Nabi saw. Kecantikan bukan jaminan kebahagiaan. Lihatlah, betapa banyak laki-laki merana setelah menikah dengan perempuan cantik.
Cantik patut disyukuri. Maknanya, gunakan kecantikan sesuai dengan amanah Sang Pemberi Kecantikan, yaitu Allah SWT. Syukurilah anugerah kecantikan! Gunakan kecantikan untuk ibadah. Supaya hidup bahagia!
Jangan kufur! Ingkar perintah dan larangan Tuhan! Apalagi sampai berani menantang Tuhan, dengan (seolah-olah) berkata lantang pada-Nya:
“Tuhan, tolong, jangan campuri urusanku! Ini tubuhku sendiri! Aku punya otonomi penuh untuk mengatur tubuhku! Apakah tubuhku aku jual; aku pertontonkan; aku perlihatkan detil-detil keindahannya kepada para juri dan panitia Miss World; atau aku tutupi; aku punya otonomi penuh mengatur tubuhku! Bukan Engkau wahai Tuhan!
Jangan sok ngatur-ngatur aku! Aku berbuat ini demi kepentingan bangsaku; agar pariwisatanya maju; banyak yang mau berkunjung ke tanah airku, setelah keindahan tubuhku dinikmati oleh para makhluk-Mu! Mereka akan tertarik datang ke negeriku, membeli kain sarung yang melilit di tubuhku ini, Tuhan!
Wahai Tuhan, tolong sampaikan kepada ulama-ulama yang sok moralis, yang katanya menjaga moral bangsa. Tutup mulut mereka! Mereka tak paham arti budaya bangsa! Tidak ada yang aku langgar dari nilai-nilai budaya bangsa ini! Bahkan, aku jauh lebih sopan, karena diantara nilai budaya yang masih dilestarikan bangsa kami adalah wanita bertelanjang dada dan laki-laki berkoteka. Kalau ulama-ulama itu tidak suka dengan kontesku ini, diam saja! Urus saja diri mereka sendiri! Silakan demo! Aku tidak peduli! Habiskan energi mereka untuk demo dan teriak-teriak! Aku tidak peduliiii Tuhan!
Wahai Tuhan, sekali lagi, jangan campuri urusan ku! Aku sudah mampu mengatur diriku sendiri. Aturan-aturanmu soal baju itu hanya cocok untuk manusia abad ketujuh! Sekarang zaman sudah maju! Para desainer ku lebih hebat dari Engkau wahai Tuhan dalam memilihkan baju untukku! Karena itu, aku lebih percaya pada pilihan mereka! Bukan pilihan-Mu yang sudah uang dan ketinggalan jaman!
Wahai Tuhan, saksikan wahai Tuhan, aku akan tunjukkan seluruh keindahan tubuhku ini kepada siapa saja yang mau menikmatinya! Panitia telah bekerja keras selama tiga tahun! Ini kontes Miss World, Tuhan! Miss World! Ini Kontes kecantikan, Tuhan! Bukan olimpiade matematika! Biarlah tubuhku dijual oleh mucikari kecantikan! Karena itu yang paling mereka minati, Tuhan! Itu yang mereka mau dariku!
Ha…ha… ha… wahai Tuhan! … heighh… heighh… heighh… Tuuuu… haaannn… tolong sampaikan pada bangsaku… jangan mau dibohongi mucikari… tolong tolong …. Botol lagi… botol lagi…. tambah… tambah…….terusss… terusss… tonton aku…. Lihat tubuhku…. Pandangi terus tubuhku… jangan berhenti… demi kemajuan bangsa… demi budaya bangsa… demi pariwisata…. !!! (Depok, 7 september 2013).*
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
0 komentar: