Berita
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra dalam situs pribadinya belum lama ini, pernah membuat tulisan yang menggemparkan. Analisis tersebut berjudul, Angket DPR: Mungkinkah Meng-impeach Presiden?
Juni 2008, DPR dengan suara mayoritas menyetujui penggunaan hak menyelidiki hal-hal yang terkait kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi beserta implikasi-implikasinya.
Keberadaan hak angket, diatur dalam Pasal 20A ayat (4) UUD 1945, yang menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai hak DPR diatur dalam undang-undang. Legislasi yang mengatur penggunaan hak angket ialah UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-undang ini berasal dari zaman sistem pemerintahan parlementer di bawah UUD Sementara Tahun 1950, namun sampai sekarang belum pernah dicabut.
Mahkamah Konstitusi melalui putusannya tanggal 26 Maret 2004 telah menegaskan bahwa UU Nomor 6 Tahun 1954 itu masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.
Dengan demikian, tak ada keraguan apapun untuk menggunakan ketentuan-ketentuan dalam UU Nomor 6 Tahun 1954 itu untuk melaksanakan hak angket DPR. Penerapannya tentu harus mempertimbangkan sistem pemerintahan presidensial yang kini berlaku di bawah UUD 1945.
Menurut Yusril, hak angket disebut juga sebagai hak penyelidikan, karena hak ini memang dimiliki DPR untuk menyelidiki sesuatu yang lazimnya terkait hal-hal yang berkorelasi dengan masalah yang menjadi kebijakan pemerintah.
Karena itu, tutur dia, para anggota DPR yang duduk di dalam Panitia Angket, akan bertindak seperti seorang penyelidik sebagaimana di kepolisian dan kejaksaan yang menyelidik suatu dugaan tindak pidana. Bedanya, jelas Yusril, penyelidikan itu dilakukan politisi untuk menemukan fakta dan ”bukti” dari suatu kasus yang mereka selidiki, dan bukan penyelidikan ”pro yustisia” sebagaimana dilakukan penyelidik polisi dan jaksa.
Jadi, lanjut Yusril, menghadapi Panitia Angket DPR, pemerintah tidak dapat berpikir sederhana dengan mengatakan ”telah siap menjawab pertanyaan”. DPR bukan bertanya dan pemerintah menjawab, melainkan DPR menyelidiki dan menghimpun fakta-fakta dan bukti-bukti.
Fakta dan bukti itu bukan saja didapatkan dari kalangan pemerintah, namun dari siapa saja yang dianggap perlu, termasuk mereka yang dianggap ahli mengenai suatu masalah yang diselidiki.
Mereka yang diperlukan itu wajib memenuhi panggilan Panitia Angket dan wajib menjawab semua pertanyaan dan memberikan keterangan lengkap, termasuk menyerahkan semua dokumen yang diminta oleh Panitia Angket, kecuali apabila penyerahan dokumen-dokumen itu akan bertentangan dengan kepentingan negara.
Mereka yang dipanggil namun tidak datang tanpa alasan yang sah, dapat disandera selama-lamanya seratus hari (Pasal 17 ayat 1 UU Nomor 6 Tahun 1954). Panitia Angket juga dapat meminta pengadilan untuk memerintahkan seorang pejabat yang tidak mau menyerahkan dokumen negara yang mereka minta agar menyerahkannya.
Kini, usulan hak angket terhadap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly diserahkan kepada pimpinan DPR, Rabu (25/3). Sebanyak 116 anggota DPR telah menandatangani hak penyelidikan terhadap keputusan Menkumham terkait sengketa Partai Golkar dan PPP.
Dokumen hak angket tersebut diserahkan tiga inisiator yakni Jhon Kennedy Azis dari Fraksi Partai Golkar (FPG), Ahmad Riza Patria dari Fraksi Partai Gerindra, dan Abdul Hakim dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Usulan ini langsung diserahkan kepada Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon di ruang pimpinan DPR.
Sebagai insiator, politisi Golkar paling banyak menyumbang tanda tangan. Dari 91 anggota, ada 55 anggota FPG yang menandatangani hak angket. Fraksi Partai Gerindra sebanyak 37 anggota ikut meneken hak angket tersebut. Untuk Fraksi PKS, dari 40 anggota DPR, sebanyak 20 anggota DPR ikut memberikan tanda tangan.
Sementara itu, pemberi tanda tangan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hanya dua orang. Demikian pula Fraksi Partai Amanat Nasional, hanya dua politisi yang ikut memberikan tanda tangan.
Jhon Kennedy Azis menjelaskan, jumlah 116 anggota itu sudah mencukupi syarat yang ditentukan undang-undang untuk mengajukan hak angket. ”Dalam undang-undang dijelaskan minimal 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi,” ujarnya. (has/rul)
Sumber : http://www.suarakarya.id
Hak Angket Bakal Guncang Istana?
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra dalam situs pribadinya belum lama ini, pernah membuat tulisan yang menggemparkan. Analisis tersebut berjudul, Angket DPR: Mungkinkah Meng-impeach Presiden?
Juni 2008, DPR dengan suara mayoritas menyetujui penggunaan hak menyelidiki hal-hal yang terkait kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi beserta implikasi-implikasinya.
Keberadaan hak angket, diatur dalam Pasal 20A ayat (4) UUD 1945, yang menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai hak DPR diatur dalam undang-undang. Legislasi yang mengatur penggunaan hak angket ialah UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-undang ini berasal dari zaman sistem pemerintahan parlementer di bawah UUD Sementara Tahun 1950, namun sampai sekarang belum pernah dicabut.
Mahkamah Konstitusi melalui putusannya tanggal 26 Maret 2004 telah menegaskan bahwa UU Nomor 6 Tahun 1954 itu masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.
Dengan demikian, tak ada keraguan apapun untuk menggunakan ketentuan-ketentuan dalam UU Nomor 6 Tahun 1954 itu untuk melaksanakan hak angket DPR. Penerapannya tentu harus mempertimbangkan sistem pemerintahan presidensial yang kini berlaku di bawah UUD 1945.
Menurut Yusril, hak angket disebut juga sebagai hak penyelidikan, karena hak ini memang dimiliki DPR untuk menyelidiki sesuatu yang lazimnya terkait hal-hal yang berkorelasi dengan masalah yang menjadi kebijakan pemerintah.
Karena itu, tutur dia, para anggota DPR yang duduk di dalam Panitia Angket, akan bertindak seperti seorang penyelidik sebagaimana di kepolisian dan kejaksaan yang menyelidik suatu dugaan tindak pidana. Bedanya, jelas Yusril, penyelidikan itu dilakukan politisi untuk menemukan fakta dan ”bukti” dari suatu kasus yang mereka selidiki, dan bukan penyelidikan ”pro yustisia” sebagaimana dilakukan penyelidik polisi dan jaksa.
Jadi, lanjut Yusril, menghadapi Panitia Angket DPR, pemerintah tidak dapat berpikir sederhana dengan mengatakan ”telah siap menjawab pertanyaan”. DPR bukan bertanya dan pemerintah menjawab, melainkan DPR menyelidiki dan menghimpun fakta-fakta dan bukti-bukti.
Fakta dan bukti itu bukan saja didapatkan dari kalangan pemerintah, namun dari siapa saja yang dianggap perlu, termasuk mereka yang dianggap ahli mengenai suatu masalah yang diselidiki.
Mereka yang diperlukan itu wajib memenuhi panggilan Panitia Angket dan wajib menjawab semua pertanyaan dan memberikan keterangan lengkap, termasuk menyerahkan semua dokumen yang diminta oleh Panitia Angket, kecuali apabila penyerahan dokumen-dokumen itu akan bertentangan dengan kepentingan negara.
Mereka yang dipanggil namun tidak datang tanpa alasan yang sah, dapat disandera selama-lamanya seratus hari (Pasal 17 ayat 1 UU Nomor 6 Tahun 1954). Panitia Angket juga dapat meminta pengadilan untuk memerintahkan seorang pejabat yang tidak mau menyerahkan dokumen negara yang mereka minta agar menyerahkannya.
Kini, usulan hak angket terhadap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly diserahkan kepada pimpinan DPR, Rabu (25/3). Sebanyak 116 anggota DPR telah menandatangani hak penyelidikan terhadap keputusan Menkumham terkait sengketa Partai Golkar dan PPP.
Dokumen hak angket tersebut diserahkan tiga inisiator yakni Jhon Kennedy Azis dari Fraksi Partai Golkar (FPG), Ahmad Riza Patria dari Fraksi Partai Gerindra, dan Abdul Hakim dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Usulan ini langsung diserahkan kepada Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon di ruang pimpinan DPR.
Sebagai insiator, politisi Golkar paling banyak menyumbang tanda tangan. Dari 91 anggota, ada 55 anggota FPG yang menandatangani hak angket. Fraksi Partai Gerindra sebanyak 37 anggota ikut meneken hak angket tersebut. Untuk Fraksi PKS, dari 40 anggota DPR, sebanyak 20 anggota DPR ikut memberikan tanda tangan.
Sementara itu, pemberi tanda tangan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hanya dua orang. Demikian pula Fraksi Partai Amanat Nasional, hanya dua politisi yang ikut memberikan tanda tangan.
Jhon Kennedy Azis menjelaskan, jumlah 116 anggota itu sudah mencukupi syarat yang ditentukan undang-undang untuk mengajukan hak angket. ”Dalam undang-undang dijelaskan minimal 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi,” ujarnya. (has/rul)
Sumber : http://www.suarakarya.id
0 komentar: