Makalahku : Impor Bahan Pangan dan Kesejahteraan Petani

05.53.00 Iwan Wahyudi 0 Comments

IMPOR BAHAN PANGAN

DAN KESEJAHTERAAN PETANI )*

Oleh Iwan Wahyudi )**

 

 

 

I.       LATAR BELAKANG

Produksi bahan pangan dinegara yang sedang berkembang mulai meningkat meskipun demikian tiap tahun diiringi dengan meningkatnya jumlah penduduk yang menimbulkan kekurangan jumlah pangan bagi masyarakat. Dinegara berkembang kondisi ini terjadi pada daerah-daerah rawan miskin dan biasanya didaerah-daerah terpencil.

Stok bahan pangan untuk kebutuhan nasional selama jangka satu tahun yang merupakan kebutuhan daridaerah termasuk juga provinsi Nusa Tenggara Barat selalu tidak mencukupi hal menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan mengimpor bahan pangan sebagai salah satu solusi untuk menutupi dan mengurangi kekurangan bahan pangan bagi provinsi Nusa Tenggara Barat.

Hal dilematis dan senantiasa terjadi dari tahun ketahun adalah ketika masa panen terjadi harga bahan pangan cenderung menurun dan dibawah standar harga pasar yang ditetapkan oleh pemerintah melalui instrument Badan urusan Logstik (BULOG) dan kadang tak terjual sehingga kerugian menjadi derita dari sebagian besar masyarakat tani.

Budaya impor barang terutama bahan pangan mulai lebih gencar ketika tren pasar global dan AFTA mulai  digulirkan sehingga impor dapat dilakukan dengan mendapatkan beberapa kemudahan sehingga kecenderungan harga bahan pangan impor terhadap bahan pangan dalam negeri termasuk produk local cenderung lebih murah.

Luas lahan pertanian produktif yang dimiliki bangsa Indonesia umumnya dan  propinsi Nusa Tenggara Barat pada khususnya cenderung tidak dimanfaatkan apalagi mengoptimalisasikan fungsi produksinya. Sehingga impor bahan pangan hanya menjadi solusi bagi kekurangan pangan namun tidak menyentuh aspek lain yaitu kesejahteraan petani.

 

II.    TINJAUAN TEORITIS

Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) telah dituliskan bahwa sektor pertanian di Indonesia masih dianggap penting bagi perekonomian Indonesia. Pentingnya sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia ini dapat dilihat dari aspek: penyediaan pangan, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penyediaan lapangan kerja, dan sumbangannya terhadap perolehan devisa negara melalui ekspor. Oleh karena itu wajar kalau biaya pembangunan untuk sektor pertanian ini selalu tiga besar diantara pembiayaan sektor-sektor yang lain. Dalam Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP-I), sektor pertanian ini bahkan dikatakan sebagai sektor yang tangguh karena memang terbukti bahwa sektor pertanian telah mampu untuk:

a.       Penghasil bahan pangan dan bahkan sejak tahun 1984 Indonesia mampu berswasembada beras.

b.      Penyedia lapangan kerja bahkan kini sektor pertanian masih menampung 49,3% dari jumlah angkatan kerja yang ada.

c.       Pendorong munculnya kesempatan berusaha dan bahkan pesatnya industripun juga sebagian besar berasal dari industri yang berbahan baku pertanian.

d.      Penyedia faktor produksi dan bahkan industri hulu seperti industri peralatan pertanian dan pupuk kini berkembang pesat karena berkembangnya sektor pertanian ini.

e.       Penghasil devisa yang cukup besar dan bahkan sejak tahun 1986/87 ekspor non-migas telah lebih dari ekspor migas. Kini perbandingan ekspor non-migas terhadap migas sudah 67% dan 33% dan dari 67% tersebut ekspor dengan bahan baku pertanian adalah lebih besar.

Sektor pertanian akan lebih berperan lagi bagi perkembangan sektor industri kalau sektor pertanian sebagai pemasok (supply) bahan baku di sektor industri tersebut memenuhi persyaratan seperti tepat waktu, tempat, bentuk, jumlah dan harga. Bila sektor pertanian dianggap sebagai pemasok yang handal bagi agroindustri maka persyaratan "5 tepat" tersebut (waktu, tempat, bentuk, jumlah dan harga) harus dipenuhi. Kelima hal tersebut dalam kenyataannya akan mempengaruhi attractiveness suatu daerah dalam mengembangkan agroindustri. Hal ini disebabkan karena pengembangan agroindustri itu umumnya tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan dengan banyak variabel lain yang mempengaruhinya, antara lain variabel:

a.       Ekonomi, yaitu bagaimana respon masyarakat terhadap permintaan barang;

b.      Sosial, yaitu bagaimana sikap masyarakat terhadap agroindustri;

c.       Teknologi, yaitu apakah teknologinya tersedia dan apakah dapat dilaksanakan oleh tenaga kerja setempat;

d.      Peraturan, yaitu apakah peraturan pemerintah mendukung pada kegiatan agroindustri; dan

e.       Persaingan yaitu apakah ada persaingan dan bila ada sampai seberapa besar persaingan tersebut.

Menurut Soekartawi (1993), komoditi beras bagi masyarakat Indonesia bukan saja merupakan bahan pangan pokok, tetapi sudah merupakan komoditi sosial. Oleh karena itu perubahan-perubahan yang terjadi pada beras akan begitu mudah mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi yang lain. Perhatian pemerintah terhadap beras sudah lama dimulai dan bahkan setelah Indonesia merdeka, perhatian terhadap beras ini sudah menjadikan program prioritas. Program pengadaan beras seperti "Rencana Wisaksono", "Rencana Kasimo", "Rencana Kesejahteman Istimewa (1945 - 1960)"; kemudian dilanjutkan "Gerakan Swasembada Beras", "Komando Gerakan Operasi Makmur (KGOM)", kemudian juga dilanjutkan dengan program BIMAS, INMAS, INSUS, adalah contoh betapa seriusnya pemerintah memperhatikan masalah beras.

Karena perubahan teknologi yang begitu cepat dan keadaan infrastruktur yang begitu memadai, maka perubahan luas lahan tanaman padi terjadi begitu cepat. Sebagai ilustrasi, di bawah ini dibahas tentang perubahan luas lahan dua kali panen yang terjadi selama dua periode, yaitu 1983 dan 1989.

1.      Perubahan Luas Lahan Dua Kali Panen
Pada tahun 1983, seluas 71 % lahan pertanaman padi ada di Jawa dan sisanya sebesar 29% di Luar Jawa. Pada tahun 1989, keadaan ini berubah, yaitu 61 % di Jawa dan 39% di Luar Jawa. Angka ini memberikan arti adanya pengalihan daerah sentra produksi ke Luar Jawa. Penjelasan ini dapat dilihat di Tabel 1.

Tabel 1. Perubahan Luas Lahan Dua Kali Panen di Daerah Sentra Produksi Padi 1983-1989

No

Daerah

1983 (%)

1989 (%)

Perubahan
(+/-)

1

Jawa

71

61

-10,0

2

Luar Jawa

a. Sumatra

(13,2)

(19,1)

(+5,9)

b. Bali & Nusra

(6,8)

(5,4)

(-1,4)

c. Kalimantan

(0,6)

(3,2)

(+2,6)

d. Sulawesi

(8,1)

(11,3)

(+3,2)

e. Maluku & Irja

(0,3)

*)

*)

Jumlah (Luar Jawa)

29

39

+10,0

Indonesia (total)

100,0

100,0

 

Sumber: BPS (diolah).
*) Data luas lahan terlalu kecil.

 

Yang menarik dari angka yang disajikan di Tabel 1 adalah terjadinya tambahan luas lahan dua kali panen di Luar Jawa yang naik hampir 2% per-tahun dalam periode 1983 -1989. Hampir di semua Pulau di Luar Jawa, kecuali Bali dan NUSRA, luas lahan dua kali panen naik, yang paling luas terjadi di Sumatra (naik 5,9 %); Sulawesi (naik 3,2 %) dan Kalimantan (naik 2,6%). Angka-angka ini sekaligus menunjukkan meningkatkan intensitas tanam (crop-intensity) di daerah tersebut.

2.      Perubahan Luas Lahan Sekali Panen
Untuk daerah-daerah tertentu panen padi terjadi satu kali dalam setahun. Ini terjadi di daerah yang sarana irigasinya terbatas atau di daerah dimana lahan kering adalah lebih dominan, sehingga padi hanya sempat dipanen sekali saja untuk setiap tahunnya. Di Jawa, dimana umumnya fasilitas sarana irigasinya yang begitu baik, perkembangan luas lahan sekali panen dalam setahun turun sebesar 15%; sementara itu di Luar Jawa dimana fasilitas irigasi sudah mulai dibangun tambahan luas lahan ini melonjak sampai 15%. Data yang mendukung pernyataan ini disajikan di Tabel 2. Seperti juga data yang disajikan di Tabel 1 maka data di Tabel 2 ini juga menunjukkan begitu menyebarnya daerah sentra produksi beras di Luar Jawa. Kemungkinan sekali hal ini disebabkan karena semakin banyaknya sarana irigasi; semakin banyak para transmigran Jawa yang memang dibekali untuk mengembangkan usahatani padi di Luar Jawa dan juga semakin meratanya permintaan beras di Indonesia ini. Data yang disajikan di Tabel 1 dan 2 memberikan indikasi bahwa pertama, luas lahan padi semakin meluas dan semakin merata untuk semua propinsi dan kedua, intensitas tanam (crop-intensity) juga semakin bertambah sehingga panenan terjadi terus menerus ('lumintu: Bhs. Jawa') di hampir seluruh Indonesia. Keadaan ini telah mampu menciptakan stabilitas harga beras di seluruh Indonesia pada tingkat yang diharapkan, namun di sisi lain hal ini menimbulkan tantangan baru berupa besarnya stok beras nasional yang harus dikuasai Pemerintah. Dengan mengamati realisasi pengadaan beras per propinsi pada tahun 1983-1992, maka terlihat adanya peningkatan pengadaan beras hampir di seluruh propinsi di Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Hal ini berdampak menurunnya jumlah perdagangan beras antar pulau dan pemindahan beras dari DOLOG yang surplus ke DOLOG yang defisit. Dampak lebih jauh bagi DOLOG atau BULOG adalah meningkatnya beban biaya pemeliharaan dan perawatan stok serta resiko penurunan kualitas.

Tabel 2. Perubahan Luas Lahan Sekali Panen di Daerah Sentra Produksi Padi 1983 - 1989

No

Daerah

1983 (%)

1989 (%)

Perubahan
(+/-)

 

1

Jawa

42,7

27,7

-15,0

 

2

Luar Jawa

a. Sumatra

(28,5)

(32,3)

(+3,8)

b. Bali & Nusra

(5,4)

(6,7)

(+1,3)

c. Kalimantan

(14,3)

(24,6)

(+10,3)

d. Sulawesi

(8,91)

(9,1)

(+0,2)

e. Maluku & Irja

(0,1)

*)

*)

Jumlah (Luar Jawa)

57,3

72,3

+15,1

 

Indonesia (total)

100,0

100,0

 

 

Sumber: BPS (diolah).
*) Data luas lahan terlalu kecil.

 

Gambaran penyerapan tenaga kerja oleh sektor pertanian, industri, perdagangan dan sektor ekonomi yang lain disajikan di Tabel 10 yaitu sebagai berikut:

a.       Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian yang lebih besar justru terjadi di luar Jawa selama periode waktu 1980-1990;

b.      Penyerapan tenaga kerja di sektor industri yang terbesar adalah terjadi di Kalimantan. Hal yang sama dengan penyerapan tenaga kerja di sektor perdagangan dan ekonomi yang lain; dan

c.       Secara relatif, penyerapan tenaga kerja di sektor industri adalah yang paling besar 5,80%; sementara itu sektor pertanian hanya mampu menyerap sebesar 2,08% saja.

Tabel 3. Pertumbuhan Penterapan Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Ekonomi Utama, 1980 dan 1990

No

Daerah

Sektor Ekonomi Utama

Pertanian

Industri

Perdagangan

Total Ekonomi

1

Jawa

1,14

5,85

4,33

2,99

2

Sumatera

2,86

5,37

6,23

3,79

3

Kalimantan

2,10

12,45

6,92

4,25

4

Sulawesi

3,82

0,86

6,12

3,96

5

Indonesia lainnya

4,63

4,87

4,65

4,78

Total Indonesia

2,08

5,80

4,72

3,39

Sumber: Diolah dari data BPS, Statistik Indonesia 1983 dan Sensus Penduduk 1990 Serie SH.

Data di Tabel 4 menunjukkan bahwa komoditi ekspor andalan dari hasil pertanian tetap saja seperti yang biasanya terjadi, yaitu karet/latex dan tembakau. Namun dari data tersebut sebenamya banyak sekali peluang ekspor hasil pertanian yang sebenamya dapat diandalkan seperti padi, tanaman bahan makanan yang lain, tebu/gula, kelapa, hasil-hasil peternakan dan perikanan.

Tabel 4. Komoditi Sub-Sektor Pertanian yang Mempunyai Kaitan Kedepan dan Kebelakang Tinggi dalam Analisis Tabel I-O

Sektor

Backward
linkages

Forward
linkages

A.

.

.

.

.

.

.

Kaitan ke depan tinggi
dan ke belakang rendah

.

.

1

Padi

0,7328

1,9340

2

Tan.Bama lainnya

0,7636

1,0852

3

Tebu & gula rakyat

0,9704

0,9874

4

Kelapa

0,8010

1,4724

5

Peternakan

0,7763

1,1082

6

Perikanan

0,9732

1,0250

B.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Kaitan ke depan rendah
dan ke belakang tinggi

.

.

1

Jagung

0,7406

0,7896

2

Tanaman ubi-ubian

0,8836

0,9137

3

Sayur & buah

0,7214

0,7720

4

Kopi

0,9716

0,8635

5

Cengkeh

0,7309

0,7808

6

Pala

0,7498

0,7012

7

Rempah-rempah lainnya

0,7279

0,6961

8

Tanaman lainnya

0,7442

0,8568

9

Unggas & hasilnya

0,7478

0,7677

10

Pupuk

0,8941

0,8380

C.

.

.

Kaitan ke depan tinggi
dan ke belakang tinggi

.

.

1

Karet

1,4398

1,5088

2

Tembakau (daun & olahan)

1,2735

1,3016

D.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Kaitan ke depan rendah
dan ke belakang tinggi

.

.

1

Beras tumbuk

1,2675

0,7374

2

Minyak kelapa & kel. sawit

1,0388

0,8181

3

Teh

1,0541

0,8856

4

Ternak

1,1548

0,7659

5

Industri pengolahan
& pengawetan makanan

1,3764

0,8476

6

Industri minyak & lemak

1,3770

0,7790

7

Industri penggilingan beras

1,3137

0,8186

8

Industri tepung terigu

1,4121

0,9500

9

Industri pemurnian gula

1,2570

0,9005

10

Industri makanan lainnya

1,0514

0,7663

11

Industri rokok

1,1231

0,6858

12

Industri dari karet

1,2619

0,7608

Sumber: Soekartawi (1991a) dari BPS. Data diolah kembali

 

III. DATA LAPANGAN

Kondisi sector pertanian yang merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk Indonesia yang dapat menampung tenaga kerja (49,3% ) dan mengurangi pengangangguran yang signifikan, dengan luas lahan dua kali lipat dibandingkan hasil panen serta sempat menjadi salah satu sector yang menghasilkan devisa (67%) bagi bangsa Indonesia  saat ini sangat memprihatikan dengan adanya dampak dari impor bahan hasil pertanian yang menjatuhkan harga bahan pangan hasil pertanian yang diproduksi oleh petani Indonesia.

Hal ini dapat dilihat pada kondisi panen bebrapa waktu yang lalu Panen yang diharapkan memberi kegembiraan, malah menghadirkan kekesalan, kecewa, dan keputusasaan. Harga gabah anjlok jauh di bawah harga dasar yang ditetapkan pemerintah melalui Inpres No 32/1998.

Petani hanya mendapat Rp 700 hingga Rp 850/kilogram untuk gabah kering panen (GKP). Padahal harga dasar ditetapkan Rp 1.020/kilogram untuk wilayah Jawa, Sumatera, dan NTB; untuk Sulawesi Rp 1.065/kilogram, dan Irian Jaya Rp1.095/kilogram. Sedangkan harga gabah kering giling (GKG) yang harga dasarnya ditetapkan Rp 1.400/kilogram untuk wilayah Jawa, Sumatera, dan NTB, dalam kenyataannya petani hanya mendapat harga maksimal Rp 1.150/kilogram. Padahal biaya produksi yang dikeluarkan petani sekitar Rp 1.200/kilogram GKG.

Kenyataan ini menyakitkan, sebab tidak ada pilihan gabah tetap harus dijual. Petani butuh dana kontan untuk membiayai kehidupannya, selain dihadang tagihan pelunasan Kredit Usaha Tani (KUT) yang telah diambilnya pada musim tanam tahun 1999 untuk mendapatkan panen kali ini.

Petani bisa saja menyimpan panennya, tidak serta-merta melepas ke pedagang/tengkulak, dan menunggu sampai mendapat harga yang pantas. Namun, itu pun bukan persoalan sederhana. Perlu gudang atau lumbung penyimpanan, perlu kemampuan untuk mengeringkan sampai tingkat kadar air tertentu agar gabah tidak busuk

Dianggarkannya dana Rp 2,8 trilyun untuk pengadaan pangan pada musim panen kali ini, ternyata hingga masa panen raya hampir berakhir tidak juga mampu mengangkat harga gabah petani. Dan kini pemerintah kembali mengucurkan dana Rp 500 milyar sebagai modal kerja Koperasi Unit Desa (KUD) untuk membeli gabah petani.

Keputusan Badan Urusan Logistik (Bulog) akhir Februari 2000 menugaskan Depot Logistik (Dolog) di daerah-daerah untuk menerjunkan satuan tugas (Satgas) di daerah-daerah sentra produksi beras untuk melakukan pembelian gabah langsung dari petani, juga tidak menolong memperbaiki situasi. Petani tetap mendapat harga yang jauh di bawah harga dasar.

Intervensi pemerintah, melalui Bulog, tidak mampu mengubah struktur harga di pasar. Instruksi Presiden (Inpres) tentang harga dasar adanya seperti tidak ada. Mekanisme pasar memiliki hukumnya sendiri, dan instruksi tinggal instruksi.

            Ketidakjelasan strategi itu menjadi semakin membingungkan dengan masuknya beras-beras impor ke pelabuhan-pelabuhan di daerah sentra produksi beras. Walaupun mantan Kepala Bulog M Jusuf Kalla berkali-kali menegaskan tidak ada lagi impor beras, namun praktiknya berbeda.

Di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, misalnya, sampai Maret 2002 masih didatangi ribuan ton beras asal Pakistan. Beras-beras tersebut antara lain dikirim ke gudang-gudang Dolog di wilayah Kabupaten Tegal.

Sebagai contoh di Gudang 601 Kecamatan Larangan, Tegal, dari hasil pengiriman selama dua hari saja sudah tertumpuk 2.900 ton beras asal Pakistan. Padahal, di kabupaten ini petani mulai panen, dan akhir bulan Maret 2002 panen raya.

Bertumpuknya beras impor juga terjadi di gudang-gudang Sub Dolog lainnya. Di Cirebon misalnya, dari stok sebanyak 16.000 ton, sekitar 4.000 ton atau 25 persen di antaranya adalah beras impor yang berasal dari Thailand, Cina, dan Amerika Serikat.

Serbuan beras impor bukan saja menyudutkan petani, tetapi juga para pedagang beras lokal. Sebagai contoh juga biasanya setiap hari pemasokan beras ke Pasar Induk Cipinang Jakarta 50 ton, kini hanya memasok 20 ton/hari.

Ironis memang, 10 tahun lalu dengan menjual satu kilogram beras petani mendapat dua pak rokok. Kini, untuk mendapat satu pak rokok petani harus menjual dua kilogram berasnya. Nasib petani menjadi semakin terpuruk.

Petani selalu berada pada kelompok yang tersisihkan. Di era Orde Baru, kebijakan yang menitikberatkan pada ketahanan pangan, yang berimplikasi pada beras murah, mengabaikan kesejahteraan petani. Kini, di era reformasi, kembali petani terpuruk karena ketidakjelasan strategi. Lalu, di era apa petani dapat menikmati panen sebenar-benarnya panen?

 

IV. ALTERNATIF SOLUSI

Selama bangsa Indonesia terus melakukan impor bahan pangan sehingga nantinya bukan hanya pada permasalahan hutang luar negeri saja yang membuat bangsa ini akan tergantung kepada Negara lain namun bisa saja kekayaan alam dan keluasan lahan pertanian yang dimiliki oleh bangsa ini yang tidak di kelola dengan maksimal akan menyebabkan bangsa ini memiliki ketergantungan baru yaitu ketergantungan akan impor bahan pangan selain itu penderitaan masyarakat tani yang merupakan angkatan kerja terbesar yang dimiliki oleh bangsa ini akan mengalami penurunan tingkat kesejahteraan akhirnya memungkinkan tingkat kemiskinan bangsa Indonesia.

Selain mengurangi impor bahan pangan serta memaksimalkan menggunaan lahan pertanian yang ada, pemerintah juga perlu mengembalikan kewibawaan lembaga BULOG dalam menentukan mekanisme perdagangan komoditas pangan termasuk beras sebagai hasil pertanian terbesar petani Indonesia  kemudian untuk pemerintah agar menyisihkan dana segar untuk membeli hasil pertanian dengan harga yang standard dan memperbaiki system penyimpanan pangan sehingga bahan pangan dapat terjaga kualitas dan harganya.

 

V.    PENUTUP

Dari analisa diatas maka kebijakan pemerintah dalam mengimpor bahan pangan haruslah melihat kondisi riil dilapangan dalam artian harus melihat aspek kerakyatan. Impor bahan pangan hendaknya tidak mengalahkan produk local dalam hal ini bahan pangan dalam negeri. Sektor pertanian hendaknya dimaksimalkan terutama dalam pemanfaatan lahan dan penentuan harga pasar . Kemudian budaya mengimporbahan pangan dari luar negeri jangan sampai menjadi bentuk intervensi asing terhadap bangsa Indonesia yang kemudian bentuk intervensi tersebut terlihat dari semakin miskinnya petani karena hasil panennya tidak atay terjual dengan harga dibawah standar akibat kalah bersaing dengan bahan pangan impor.

Mataram, 12 Mei 2004

Makalah diajukan sebagai syarat Delegasi Pelayaran Kebangsaan Tahun 2004

You Might Also Like

0 komentar: