Opini
Oleh: Fahmi Huwaedi
*sumber: http://www.aljazeera.net/opinions/pages/b10f2722-41c2-4601-95b1-ad6fe3aa60ee
(penerjemah: amrozi m rais)
"Target Akhir, Jegal Arab Spring" | Kolom Fahmi Huwaedi
Oleh: Fahmi Huwaedi
Penulis tidak yakin bahwa kita memahami atas kegigihan yang diupayakan oleh orang-orang di sekitar kita memanfaatkan kegagalan pemerintahan Ikhwan dalam merawat kesuksesan Arab Spring!
(1)
Benar memang, kematin Arab Spring belum diumumkan. Akan tetapi
tanda-tandanya mulai terlihat di ufuk. Pembaca bebas untuk mengatakan
bahwa media di fase sekarang ini tengah berbicara tentang Arab Spring
yang masuk pada fase sekarat melalui fokus penyinaran. Hal ini yang kini
dikemas melalui berbagai kampanye serangan dan menganggapnya sebagai
petaka yang pernah dialami oleh Dunia Arab.
Itulah hasil perenungan penulis dan sejumlah cendekiawan dan pakar Arab
saat kami bertemu di kota Amman, Yordania, pekan lalu. Pertemuan itu
adalah pertemuan untuk mendiskusikan laporan analis tentang integrasi
peradaban Arab. Yang nanti akan diterbitkan oleh salah satu badan PBB
yang khusus menangani kawasan Timur Tengah.
Pertemuan pertama untuk “Dewan penasehat” pernah dilakukan di Kairo pada
awal tahun lalu. Di saat optimisme yang sangat kuat pada Arab Spring
dan masa depan Arab masih membara. Akan tetapi semangat itu di tahun ini
berubah karena perubahan situasi dan konidisi. Bukan hanya dipengaruhi
oleh angin kencang yang menerpa kawasan Dunia Arab selama setahun lalu,
namun juga diprediksi datangnya badai atau topan yang akan
memporak-porandakan kawasan. Karena Amerika akan menyerang Suriah yang
itu akan menjadi awal perubahan baru di Dunia Arab dan peta baru yang
akan menyertainya.
Kali ini, saat sebagian kita para cendekiawan ini masuk ke ruangan
pertemuan di ibukota Yordania, seakan kami datang ke acara belasungkawa.
Di antara kami ada yang bingung dan gunda. Sebagian lagi ada yang masih
berharap agar “yang hilang” itu tidak segera pergi walaupun sakit yang
dialaminya. Penulis termasuk orang yang mengatakan bahwa Arab Spring
belum tamat. Akan tetapi disana ada orang yang sedang mengintai dan
berharap Arab Spring itu lenyap, tak hidup kembali.
(2)
Pertemuan Amman sejatinya mendiskusikan impian berupa harapan munculnya
integrasi peradaban Arab, dan bukan mendiskusikan kondisi riil di
lapangan. Akan tetapi situasi dan kondisi Arab Spring memaksakan dengan
sendirinya. Berharap tidak hanya pada impian terwujudnya integritas itu
saja, namun juga terbentuknya basis yang dijadikan patokan bagi impian
yang diidam-idamkan tadi.
Terkait hal itu, menurut hemat penulis, sesunguhnya orang-orang yang
melihat Arab Spring, sebagai pergerakan massal yang akan menumbangkan
rezim diktator dan pergantiannya dengan rezim baru, itu telah terguling
dan gagal. Pendapat penulis, mereka ini salah dilihat dari tiga sisi:
Sisi pertama: Arap Spring, pada dasarnya, adalah perubahan historis
meliputi Dunia Arab, dari ujung barat hingga ujung timur. Dengan Arab
Spring ini, setiap warga negara lebih paham akan perubahan kondisinya ke
arah yang lebih baik. Setiap warga lebih berani untuk menyampaikan
pendapatnya dalam menentang ketidakadilan sosial dan politik.
Sisi kedua: apa yang paling penting dalam Arab Spring adalah perubahan
pada diri manusia, bukan pada struktur atau bangunannya. Artinya, bisa
jadi ia akan bisa merubah sebagian rezim ke pengkondisian rezim lain.
Dan ini memang yang nampak diluar. Akan tetapi, hal yang sama juga
terlihat dalam kehendak masyarakat luas untuk merubah kondisi yang ada.
Kerinduan ini yang banyak diposting dalam jejaring sosial di penjuru
kawasan Arab. Sebagaimana yang didengungkan oleh semua kelompok aktivis
dan pemerhati hukum di kawasan Teluk secara lebih khusus.
Sisi ketiga: terlalu dini untuk menilai Arab Spring sukses atau berhasil
hanya dalam waktu dua tahun atau tiga tahun sejak meletusnya. Karena
sesungguhnya perubahan sejarah, dengan cara seperti itu, butuh waktu
panjang. Sebagaimana rintangan dan halangan akan terus menghadang di
tengah jalan. Sebab perubahan dari kekuasaan diktator, yang selama
berpuluh-puluh tahun berkuasa, kepada sistem demokrasi bukanlah hal yang
mudah.
Hal itu juga dikarenakan upaya pemutarbalikkan yang dilakukan oleh rezim
diktator dalam struktur masyarakat, secara politik dan sosial, menjadi
halangan utama untuk memberikan jaminan bagi kesuksesan perubahan yang
diidam-idamkan.
Ditambah unsur lain, yang tidak boleh diremehkan, adalah peran media
massa yang ingin mempurburuk wajah Arab Spring melalui
propaganda-propagandanya.
Termasuk upaya untuk menyebarkan rasa empati kepada rezim diktator yang
sudah hengkang, walaupun tergolong lebih sedikit jelek dibandingkan
dengan rezim yang sekarang menggantikannya. Adalah program televisi
berjudul “Kami minta maaf, wahai presiden” produksi TV nasional Mesir
dan ide diperbolehkannya kembali Husni Mubarak ikut pemilu presiden yang
akan datang di Mesir.
Sejumlah awak media berbicara bahwa mimbar mereka memberitakan kebenaran
(fakta) dengan sejumlah kesalahan didalamnya. Dengan itu, tugas
kewartawanannya sudah ditunaikan. Akan tetapi harus dibedakan, antara
mengumpulkan kesalahan dengan pembuatan kebohongan. Antara media
kebenaran untuk memperbaikan apa yang sudah rusak dengan memusuhi
kebenaran dalam rangka menghancurkan apa yang sudah ada.
Penulis tidak akan pergi jauh dari paradigma di atas. Penulis hanya akan
mengutip ucapan yang ditulis oleh filosof Amerika terkenal, Noam
Chomsky, dalam tulisannya yang paling akhir “rezim kekuatan”. Dalam
tulisannya itu, Noam mengungkap apa yang ia sebuat sebagai kongkalikong
antara media massa dengan badan kebudayaan di masyarakat Amerika yang
meniadakan kesadaran masyarakat atau visi budaya (wawasan).
Jika itu yang terjadi di masyarakat Amerika, walaupun mereka sudah maju
di sisi struktur politik dan sosial. Namun kita berharap hal itu tidak
terjadi di Dunia Arab karena yang korbannya nanti adalah Arab Spring itu
sendiri.
(3)
Penulis tidak berbeda pendapat dengan orang yang mengatakan bahwa
sejumlah kesalahan terjadi di masa tumbangnya rezim diktator di sejumlah
negara Arab, Mesir termasuk yang pertama. Saat itu, penulis termasuk
yang mengritisi kesalahan tersebut. Namun penulis tidak menganut prinsip
yang mengajarkan tentang penyembuhan orang sakit dengan cara
membunuhnya.
Jika pembaca tidak mempercayai apa yang jadi pegangan penulis, pembaca
bisa merenungkan sejumlah bukti yang disajikan oleh media Arab, minimal,
selama dua bulan terakhir ini. Yang menurut penulis, itu adalah masa
penjegalan Arab Spring secara transparan.
Catatan penting dari bukti-bukti itu adalah bahwa aksi penjegalan Arab
Spring lebih banyak diinspirasi oleh kejadian di Mesir jika dilihat dari
dua sisi. Pertama, aksi itu dikolaborasi oleh sejumlah kegagalan
pemerintahan Ikhwan untuk membuktikan akan kegagalan Arab Spring dan
penolakan masyarakat atas aksi-aksinya. Kedua, ide perang terhadap
teroris di Mesir untuk memerangi Ikhwan sudah dimainkan dalam rangka
mengganggu lawan politik dan aktivis HAM di sejumlah negara Arab.
Walaupun mereka tidak memiliki hubungan Ikhwan sekalipun. Mengulang apa
yang pernah diambil oleh rezim Arab pasca-kejadian 11 September (2011)
ketika Washington mengumumkan perang terhadap teroris. Akibatnya, para
oposisi dan aktivis Arab menjadi korbannya.
Bukti-bukti yang penulis maksudkan adalah sebagai berikut:
- Banyaknya tulisan yang memenuhi surat-surat kabar Arab yang terbit di
London dan koran-koran Teluk, memfokuskan pada cemoohan terhadap Arab
Spring dengan membuktikan akan kegagalannya serta mengumumkan, secara
terang-terangan, akan kematiannya. Seruan yang sering didengungkan di
sejumlah mimbar di Mesir. Khususnya mimbar-mimbar yang berupaya untuk
mengritisi Revolusi 25 Januari 2011.
- Kampanye televisi yang menjadi corong sikap di atas yang disuarakan
oleh chanel-chanel swasta di Mesir. Ditambah chanel televisi Saudi yang
disiarkan dari Dubai dan Sky News yang disiarkan dari Abu Dubai. Dua
chanel televisi itu selalu menjadi lawan TV Aljazeera yang disiarkan
dari Qatar. Seperti yang diketahui, TV Aljazeera perwakilan Mesir
ditutup dan pekerjanya diburu. Setelah beberapa chanel yang
berseberangan dengan penguasa militer, juga diberedel di Mesir.
- Negara-negara “moderat” di kawasan, yang sejak awal anti Arab Spring,
segera menyambut atas kudeta yang terjadi di Mesir dan menggelontorkan
dana untuk menutupi keterpurukan ekonomi Mesir. Ditambah upaya diplomasi
yang terus digalakkan untuk melunakkan sikap negara-negara Eropa yang
menentang kudeta militer, 3 Juli lalu.
- Upaya politik dan media yang digalang oleh Israel untuk mendukung
kudeta 3 Juli. Berikut tekanan yang dilakukan Israel kepada Washington
dan ibukota-ibukota negara Eropa lainyya untuk meyakinkan kepada mereka
akan pentingnya suplai senjata ke Mesir. Upaya lain, tentunya menekan
mereka untuk tidak memberikan sanksi apapun atas apa yang disebut
sebagai kudeta.
(4)
Tanggal 26/8 lalu, harian Al-Watan terbitan Kairo menurunkan berita
tentang koordinator gerakan Tamarud (pembangkangan) di Saudi (MM)
mendapatkan seorang bayi baru yang ia beri nama As Sisi. Jika berita itu
benar, untuk pertama kalinya terungkap bahwa gerakan tamarud di Mesir
punya cabang di Saudi. Hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan besar
yang ada hubungannya antara tamarud Mesir dengan kerajaan Saudi.
Dalam berita itu juga disebutkan bahwa mantan PM Mesir, Ahmad Syafiq
yang kini tinggal di Abu Dabi, dalam sebuah acara televisi yang
disiarkan pada tanggal 8/9 Ahad lalu (TV 10) menjelaskan bahwa Uni
Emirat Arab baru-baru ini mensuplai senjata kepada depdagri Mesir untuk
menghadapi teroris.
Pada saat yang sama, laporan-laporan HAM menyebutkan bahwa operasi
polisi secara besar-besaran dilakukan dengan target aktivis dan penggiat
HAM di sejumlah negara Teluk. Dengan dakwaan, mereka sangat empati atau
loyal kepada Ikhwan dan Hizbullah.
Setelah kepala polisi Dubai mengumumkan daftar nama-nama Ikhwan Teluk
yang dilarang masuk ke wilayahnya. Kemudian mengirimkannya ke sejumlah
ibukota negara-negara Arab agar nama-nama itu dilarang masuk ke
wilayahnya masing-masing. Pihak pemerintah kerajaan Arab Saudi
mengeluarkan perintah penangkapan kepada siapa saja anggota Ikhwan
karena dakwaan teroris. Baik itu ia datang untuk haji atau umrah.
Ditambah lagi larangan terhadap 1200 warga Saudi untuk pergi keluar
negeri.
Semua kebijakan di atas diambil setelah hukuman penjara diberikan kepada
puluhan aktivis HAM. Total vonisnya mencapai 800 tahun dalam salah satu
perkara dan salah satunya adalah tuduhan tidak taat pada pemimpin
(baca: raja).
Dalam kondisi seperti itu, pihak Hamas mengumumkan adanya rencana
menyerang Gaza yang dirancang oleh Israel dan ditemani oleh pihak
Otoritas Palestina (OP) di Ramallah. Dalam pengumuman itu disebutkan
peran sejumlah negara Arab yang melindungi dan mendukung sejumlah
pejabat keamanan OP yang kabur dari Gaza.
Dalam rencana, yang diumumkan Hamas itu, disebutkan adanya rencana
demonstrasi besar dengan judul tamarud untuk melakukan kudeta terhadap
pemerintah Gaza pada 11 November mendatang. Belum diketahui pasti,
apakah gerakan tamarud ini ada kaitannya dengan gerakan yang sama di
Tunis. Walaupun Presiden Tunis, Munsef Al Marzuqi, menepis rencana itu
disebabkan beberapa hal, diantarannya sikap militer Tunis yang tidak
memblok kepada penguasa.
Para cendekiawan Arab, yang penulis temui di Amman, sepakat bahwa apa
yang terjadi di Mesir adalah permulaan. Mereka yang takut dan menjadi
musuh Arab Spring memiliki kepentingan yang sama yaitu habisi Arab
Spring sekarang juga. Karena kondisi dan situasinya sekarang ini sangat
mendukung. Pembuatan pemufakatan terjadi di bawah kaki dan tangan.
Brangkas terbuka untuk disuplai. Dukungan dunia tak dapat dibendung
lagi. Dengan begitu, bagi para penentu kebijakan tak ada jalan lain
selain segera bergerak untuk memetik buahnya dan mengembalikan arah jam
ke belakang sebelum terlambat. Kepada rakyat, akhirnya diucapkan: goodbye!
*sumber: http://www.aljazeera.net/opinions/pages/b10f2722-41c2-4601-95b1-ad6fe3aa60ee
(penerjemah: amrozi m rais)
0 komentar: