Opini
Kekuatan terbesar partai politik seharusnya pada basis massa, bukan uang! Jika uang yang menjadi basis kekuatan, maka politik menghalalkan segala caralah yang akan dilakukan!
Buya Hamka, Masjumi dan Perang Melawan Korupsi
Kekuatan terbesar partai politik seharusnya pada basis massa, bukan uang! Jika uang yang menjadi basis kekuatan, maka politik menghalalkan segala caralah yang akan dilakukan!
Oleh: Artawijaya*
KORUPSI yang
dilakukan oleh para pejabat yang berkuasa sudah sejak lama menjadi
sorotan di negeri ini. Terutama pejabat negara yang berasal dari partai
politik. Hari ini kita menyaksikan, pejabat yang berasal dari partai
politik seolah menjadi lumbung uang untuk mencari dana bagi pendanaan
partai.
Keberadaannya di pemerintahan
seolah dituntut untuk menjadi mesin pengeruk uang. Tak peduli halal dan
haram, yang penting lumbung partai terpenuhi dengan pundi-pundi rupiah.
Partai yang harusnya menjadikan basis massa sebagai kekuatan politik,
berubah mengedepankan uang. Tujuannya agar suara rakyat bisa dibeli,
apalagi menjelang Pemilu.
Fenomena ini ternyata sudah sejak
lama terjadi. Buya Hamka, salah seorang tokoh Partai Masjumi yang
terpilih menjadi anggota Majelis Konstituante pada Pemilu tahun 1955,
mengeritik cara-cara yang dilakukan oleh Partai Nasionalis Indonesia
(PNI), rival politik Masjumi, yang mengedepankan uang sebagai kekuatan
politik. Dalam tulisannya di Majalah Hikmah, No.10 Thn IX, 5
Sya’ban 1374 H/17 Maret 1956, ulama asal Sumatera Barat ini
mengungkapkan cara-cara kotor yang dilakukan oleh partai politik sekular
yang ingin merebut simpati rakyat.
Kekuatan Partai Masjumi yang mampu memenangkan Pemilu di beberapa wilayah pada tahun 1955, dan banyak mendapatkan kursi di parlemen, membuat lawan-lawan politiknya ketar-ketir
untuk menghadapi Pemilu berikutnya pada tahun 1960. Meskipun akhirnya,
Pemilu tahun itu tidak dapat terlaksana, setelah Soekarno secara sepihak
mengajukan gagasan “Demokrasi Terpimpin” dan berniat mengubur
partai-partai yang ada.
Hamka mengatakan dalam tulisannya, “Plan
(rencana, pen) utama rupanya bagaimana supaya Masjumi dapat dikalahkan
dalam pemilihan umum. Partai-partai yang berkuasa itu, terutama PNI
insjaf bahwa kekuatan mereka tidak besar pada massa. Oleh sebab itu,
uang mesti ditjari sebanjak-banjaknya untuk biaja pemilihan umum. Kalau
perlu dari mana sadjapun uang itu ditjari. Halal atau haram bukan soal: ‘lil ghayati tubarrirul wasilah’ (untuk mentjapai maksud boleh dipakai sembarang tjara),” terang Hamka.
Hamka kemudian mengungkap adanya
upaya dari partai yang berkuasa dengan menjadikan para anggotanya yang
menjabat dalam pemerintahan, untuk melakukan korupsi demi memenuhi
keuangan partai.
“Di
waktu itulah terdengarnja ‘lisensi istimewa’ korupsi besar-besaran. Mr.
Ishak, seorang djago PNI mendjadi menteri keuangan. Hebatlah nasib jang
diderita rakjat pada waktu itu. Benarlah mendjadi menteri mendjadi
sumber kekayaan jang tidak halal! Banjak kita melihat orang kaja baru!
Dia mendapat ‘lisensi istimewa’ itu didjualnya kepada asing!” ujarnya.
Ia kemudian menceritakan, “Setelah
kabinent Burhanudin naik, maka program yang pertama adalah memberantas
korupsi! Mr Djodi dituntut, dan Mr. Ishak “menjingkir” atau disuruh
“menjingkirkan” keluar negeri,” kata Hamka, sambil menyebut Kabinet
Burhanudin Harahap yang berasal dari dari Partai Masjumi, bertekad
memerangi korupsi. Mr. Djodi dan Mr. Ishak yang dimaksud adalah aktivis
partai sekular PNI.
Dengan kritik yang cukup keras,
Hamka yang melihat praktik kecurangan sebelumnya, saat kabinet belum
berada di bawah kendali Partai Masjumi, menyatakan bahwa partai yang
berkuasa sebelumnya menjadikan kekuasaan untuk mengeruk uang bagi
pendanaan partainya.
“Dengan
serba matjam djalan, uang negara diperas! Dengan kedok “ekonomi
nasional” orang-orang diandjurkan mendirikan firma, N.V (perusahaan),
dan diberi lisensi. Keuntungannya sekian buat partai.”
Apa yang disampaikan oleh ulama penulis Tafsir Al-Azhar ini
puluhan tahun lalu, seperti terulang kembali pada saat ini. Aparat
penegak hukum menciduk tokoh-tokoh partai politik yang terlibat kong-kalikong dengan pengusaha.
Partai dijadikan sarana untuk jual beli lisensi,
jual beli izin usaha, izin ekspor-impor, pemenangan proyek atau tender,
dan sebagainya, yang ujung-ujungnya memeras pengusaha untuk memberikan
suap.
Uang suap itu kemudian ada yang dicurigai dijadikan basis pendanaan partai demi memenangkan Pemilu. Politik tak lagi menjadikan basis massa sebagai kekuatan, tetapi menjadikan uang sebagai alat untuk meraih kemenangan.
Suatu ketika, kata Buya Hamka, ia
bertemu dengan perwakilan negara asing di Jakarta. Kepada Hamka, orang
itu bertanya tentang dari mana sumber dana Partai Masjumi, sehingga
mampu meraup suara yang cukup besar pada Pemilu 1955. Orang asing itu
menduga Partai Masjumi mendapat pendanaan dari luar negeri.
Kepada orang itu, Buya Hamka mengatakan, selama ini pendanaan Masjumi berasal dari dana pribadi para anggota dan simpatisannya.
“Memeras kantong sendiri, mendjual
menggadaikan harta bendanja,” ujar Hamka menceritakan bagaimana para
kader dan simpatisan Masjumi mendanai partai.
Orang asing itu kaget, karena
selama ini yang ia tahu, partai-partai besar, jika tak mendapat dana
asing, maka kemungkinan lainnya adalah menggunakan para kadernya yang
ada di lingkar elit kekuasaan sebagai mesin pengeruk uang.
Demikianlah keteladanan yang
ditorehkan oleh Partai Masjumi dalam sejarah kepartaian di Indonesia.
Partai Islam tersebut mampu mengepankan cara-cara halal dalam politik,
bukan menghalalkan segala cara. Bagi Partai Masjumi, kekuatan terbesar
partai politik adalah pada basis massa, pada kader yang solid, bukan
pada uang!*
Penulis adalah editor Pustaka Al-Kautsar dan dosen STID Mohammad Natsir Jakarta
Sumber : http://www.hidayatullah.com
0 komentar: