Berita
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa kasus Hambalang, Anas
Urbaningrum divonis delapan tahun penjara serta denda Rp 300 juta.
Namun, Anas tidak terima dengan putusan tersebut. Ia merasa putusan tak
adil karena tidak sesuai fakta pengadilan.
Di akhir kesempatan saat memberikan tanggapan atas putusan sidang, Anas meminta waktu kepada majelis hakim untuk melakukan mubahalah.
"Karena sebagai terdakwa saya yakin, jaksa penuntut juga yakin, majelis juga yakin. Karena itu di akhir persidangan, saya mohon untuk diberikan waktu untuk Mubahalah. Siapa yang salah itu yang akan menerima kutukan," tutur Anas, di akhir pembacaan pembelaannya dalam sidang Tipikor, di Jakarta, Rabu (24/9).
Apa itu mubahalah? Ustadz Bachtiar Nasir memberikan penjelasan yang cukup lengkap.
Mubahalah adalah saling melaknat atau saling mendoakan agar laknat Allah SWT dijatuhkan atas orang yang zalim atau berbohong di antara mereka yang berselisih. Syariat mubahalah bertujuan untuk membuktikan kebenaran dan mematahkan kebatilan bagi mereka yang keras kepala dan tetap bertahan pada kebatilan meskipun sudah jelas bagi mereka kebenaran dan argumen-argumennya.
Dalam kitab Zad al-ma'ad, Ibnu al-Qayyim menjelaskan, mubahalah disunahkan ketika beragumentasi dan berdebat dengan kelompok batil atau orang-orang sesat. Apabila mereka tetap tidak mau kembali kepada kebenaran dan tetap keras kepala meskipun sudah dijelaskan tentang kebenaran dan hujah-hujahnya.
Allah SWT memerintahkan Nabi SAW menantang kaum Nasrani dari Najran untuk ber-mubahalah. Ketika itu, utusan Nasrani dari Najran bersikeras mengatakan kepada Nabi SAW bahwa Isa adalah anak Allah SWT. Padahal, Nabi SAW telah menjelaskan kepada mereka bahwa Isa AS itu adalah hamba Allah SWT dan utusan-Nya. Maka, Allah SWT memerintahkan kepada Nabi SAW agar menantang mereka untuk ber-mubahalah.
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan meminta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (QS Ali 'Imran [3]: 6).
Dalam mubahalah tersebut, Nabi SAW menghadirkan anak dan istri masing-masing, kemudian berdoa kepada Allah agar menurunkan azab dan laknat-Nya kepada yang berbohong di antara mereka. Tetapi, karena mereka mengetahui bahwa Nabi SAW berada dalam kebenaran dan mereka berada dalam kebatilan, merekapun tidak berani melakukannya. Akhirnya, mereka berdamai dan membayar jizyah kepada Nabi SAW.
Diriwayatkan bahwa para sahabat Nabi SAW, seperti Ibnu Abbas, pernah menantang orang yang berselisih pendapat dengannya dalam suatu masalah untuk ber-mubahalah. Imam al-Auza'i, Imam Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Hajar juga pernah ber-mubahalah.
Namun, tidak dianjurkan kepada seorang Muslim untuk ber-mubahalah setiap berbeda pendapat dengan orang atau kelompok lain. Karena, sebagaimana yang ditegaskan di atas, mubahalah itu bertujuan untuk membuktikan kebenaran yang jelas kebenarannya dan mematahkan kesesatan dan kebatilan yang jelas kebatilannya. Oleh karena itu, para ulama menyebutkan bahwa di antara syarat dibolehkannya mubahalah adalah:
- Mengikhlaskan niat hanya karena Allah SWT bukan untuk tujuan kemenangan hawa nafsu dan urusan duniawi. Semata-mata untuk membuktikan kebenaran yang hak dan mengalahkan kebatilan dan kesesatan.
- Meyakini kebenaran yang diperjuangkan.
- Terlebih dahulu menjelaskan kebenaran kepada mereka yang berbeda.
- Tampak jelas perlawanan orang yang dihadapi sedang mempertahankan kebatilan.
- Hanya dilakukan dalam urusan agama yang penting.
Sumber :
Ini Penjelasan Ulama Soal Mubahalah
Di akhir kesempatan saat memberikan tanggapan atas putusan sidang, Anas meminta waktu kepada majelis hakim untuk melakukan mubahalah.
"Karena sebagai terdakwa saya yakin, jaksa penuntut juga yakin, majelis juga yakin. Karena itu di akhir persidangan, saya mohon untuk diberikan waktu untuk Mubahalah. Siapa yang salah itu yang akan menerima kutukan," tutur Anas, di akhir pembacaan pembelaannya dalam sidang Tipikor, di Jakarta, Rabu (24/9).
Apa itu mubahalah? Ustadz Bachtiar Nasir memberikan penjelasan yang cukup lengkap.
Mubahalah adalah saling melaknat atau saling mendoakan agar laknat Allah SWT dijatuhkan atas orang yang zalim atau berbohong di antara mereka yang berselisih. Syariat mubahalah bertujuan untuk membuktikan kebenaran dan mematahkan kebatilan bagi mereka yang keras kepala dan tetap bertahan pada kebatilan meskipun sudah jelas bagi mereka kebenaran dan argumen-argumennya.
Dalam kitab Zad al-ma'ad, Ibnu al-Qayyim menjelaskan, mubahalah disunahkan ketika beragumentasi dan berdebat dengan kelompok batil atau orang-orang sesat. Apabila mereka tetap tidak mau kembali kepada kebenaran dan tetap keras kepala meskipun sudah dijelaskan tentang kebenaran dan hujah-hujahnya.
Allah SWT memerintahkan Nabi SAW menantang kaum Nasrani dari Najran untuk ber-mubahalah. Ketika itu, utusan Nasrani dari Najran bersikeras mengatakan kepada Nabi SAW bahwa Isa adalah anak Allah SWT. Padahal, Nabi SAW telah menjelaskan kepada mereka bahwa Isa AS itu adalah hamba Allah SWT dan utusan-Nya. Maka, Allah SWT memerintahkan kepada Nabi SAW agar menantang mereka untuk ber-mubahalah.
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan meminta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (QS Ali 'Imran [3]: 6).
Dalam mubahalah tersebut, Nabi SAW menghadirkan anak dan istri masing-masing, kemudian berdoa kepada Allah agar menurunkan azab dan laknat-Nya kepada yang berbohong di antara mereka. Tetapi, karena mereka mengetahui bahwa Nabi SAW berada dalam kebenaran dan mereka berada dalam kebatilan, merekapun tidak berani melakukannya. Akhirnya, mereka berdamai dan membayar jizyah kepada Nabi SAW.
Diriwayatkan bahwa para sahabat Nabi SAW, seperti Ibnu Abbas, pernah menantang orang yang berselisih pendapat dengannya dalam suatu masalah untuk ber-mubahalah. Imam al-Auza'i, Imam Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Hajar juga pernah ber-mubahalah.
Namun, tidak dianjurkan kepada seorang Muslim untuk ber-mubahalah setiap berbeda pendapat dengan orang atau kelompok lain. Karena, sebagaimana yang ditegaskan di atas, mubahalah itu bertujuan untuk membuktikan kebenaran yang jelas kebenarannya dan mematahkan kesesatan dan kebatilan yang jelas kebatilannya. Oleh karena itu, para ulama menyebutkan bahwa di antara syarat dibolehkannya mubahalah adalah:
- Mengikhlaskan niat hanya karena Allah SWT bukan untuk tujuan kemenangan hawa nafsu dan urusan duniawi. Semata-mata untuk membuktikan kebenaran yang hak dan mengalahkan kebatilan dan kesesatan.
- Meyakini kebenaran yang diperjuangkan.
- Terlebih dahulu menjelaskan kebenaran kepada mereka yang berbeda.
- Tampak jelas perlawanan orang yang dihadapi sedang mempertahankan kebatilan.
- Hanya dilakukan dalam urusan agama yang penting.
Sumber :
0 komentar: