Tulisan
Singapura Caplok Mabes TNI Angkatan Udara
Gonjang-ganjing Maskapai Berlogo
Kepala Singa
IndonesianReview.com -- Kalau benar
Temasek punya saham terselubung dibalik kepemilikan Lion Air, maka TNI AU wajib
menggugatnya. Sayangnya, TNI AU diam seribu bahasa.
Bila tidak, barangkali orang pertama
yang menangis adalah Marsekal Muda “Anumerta” Abdul Halim Perdanakusuma, andai
pahlawan nasional itu masih hidup. Kemenangan Lion Air atas PT Angkasa Pura II
dan Induk Koperasi TNI AU dalam gugatan pengelolaan Bandara Halim Perdanakusuma
menjadi bandara internasional yang dioperasikan secara sementara dan komersil
untuk mengalihkan sesaknya penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta, sesungguhnya
telah mengusik kedaulatan negeri.
Terlebih lagi Lion Air memenangkan
perkara itu secara beruntut. Di mulai dari PN Jakarta Timur pada 2010 sampai
dengan kasasi di Mahkamah Agung, Oktober 2014. Amar putusan hakim yang
memerintahkan pihak TNI AU dan Angkasa Pura II untuk mengosongkan asetnya di
Halim Perdanakusma sangat melukai perasaan bangsa jika pihak yang berpesta pora
di balik kemenangan ini adalah BUMN Singapura tersebut.
Teramat sulit diterima akal sehat,
mengingat bukan saja sebatas nilai-nilai sejarah yang dikandung Markas Komando
Operasi Angkatan Udara I TNI AU Halim Perdanakusuma, tapi juga peran dan fungsi
letak geografis sekaligus geostrategis markas tersebut.
Sejarah skuadron tempur tertua
Secara historis, Pangkalan Udara
Utama (Lanuma) Halim Perdanakusuma bukan saja simbol perjuangan TNI AU. Tapi
juga merekam mozaik sejarah pengorbanan jiwa dan harta benda anak bangsa dalam
memperkuat AURI di masa kembalinya Belanda menjajah Indonesia pasca 1945.
Ketika semangat para pejuang
republik nyaris pupus akibat Agresi Militer I Belanda pada 21 Juli 1947 yang
meluluhlantak Jawa, AURI yang baru setahun terbentuk memompa nyali perjuangan
itu kembali. Untuk menunjukan kepada dunia bahwa Indonesia belum remuk redam,
KSAU Komodor Udara Suryadi Suryadarma memerintah Komodor Halim Perdanakusuma
untuk menyusun aksi serangan balik.
Walau hanya dengan tiga pesawat
terbang dan jumlah mesiu yang kalah hebat dengan pasukan musuh, misi serangan
udara yang dipimpin Halim pada 29 Juli 1947 itu efeknya luar biasa. Serangan
balasan itu membuktikan kepada dunia bahwa perjuangan RI sampai titik darah
penghabisan, hingga mampu menarik simpatik dunia luar.
Disamping itu, serangan ini juga
menjadi pemicu untuk mempercepat konektivitas Pulau Jawa dengan pulau-pulau
besar lainnya, mengingat penjajah bisa menginvansi lagi sewaktu-waktu yang
menghancurkan sejumlah pangkalan udara RI. Halim Perdanakusuma bertugas
menyambung Sumatera dengan Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan darurat dengan
membentuk AURI wilayah Sumatera yang saat itu berpusat di Bukittinggi.
Di wilayah Timur, ia juga diminta
untuk menyusun strategi AURI menembus blokade Belanda melalui Kotawaringin,
Kalimantan Tengah, sekaligus membuka stasiun radio induk yang menghubungkan
komunikasi langsung Kalimantan-Yogyakarta. Misi yang berlangsung
pada 17 Oktober 1947 ini tercatat dalam sejarah sebagai Operasi
Penerjunan Militer Pertama di Indonesia sekaligus peristiwa yang menandai
lahirnya pasukan elit baret jingga, dikenal dengan Korps Pasukan Khas
(Korpaskhas) TNI AU.
Di tengah upaya memperkuat AURI
itulah sejumlah anak negeri menyumbangkan emas dan harta benda lainnya demi
membeli pesawat yang mengganti armada yang telah hancur sebelumnya. Halim
Perdanakusuma bertugas menampung sumbangan itu hingga AURI mampu membeli sebuah
pesawat Avro Anson VH-BBY dengan harga 12 kg emas murni yang diberi nomor
registrasi RI-003.
Menggunakan pesawat yang dibeli dari
hasil keringat rakyat itu pula Halim Perdanakusuma bersama Opsir I Udara
Iswahyudi mengemban sebuah misi penting penerbangan rute Bangkok-Singapura.
Misinya adalah membeli persenjataan dan pesawat lainnya; menjalin dukungan
perjuangan RI dengan negara-negara sahabat sekaligus inspeksi Perwakilan RI;
serta memasok barang ke Singapura untuk menembus blokade Belanda.
Naasnya, dalam perjalanan lanjutan
dari Bangkok ke Singapura itulah pesawat Avro Anson jatuh hancur lebur di
Tanjung Hantu Malaka. Penyebabnya masih gelap. Diduga antara akibat terbang
rendah untuk menghindari kabut tebal dan adanya sabotase. Tapi yang jelas:
peristiwa ini merupakan pukulan berat bagi dunia penerbangan nasional.
Halim Perdanakusuma pergi ketika
negeri masih sangat membutuhkan kecakapan dan pengalamannya untuk ditransfer ke
AURI. Betapa tidak, ia adalah segelintir putra Indonesia yang menjadi perwira
Royal Air Force sekaligus Royal Canadian Air Force pada Perang Dunia II, dan
pernah berpangkalan di Colombo.
Dengan pangkat Wing Commander, ia
satu-satunya putra Indonesia yang mengantong jam terbang terbilang tinggi dalam
mengemban misi navigasi dan pengeboman di wilayah target pada masa perang dunia
itu. Setidaknya sudah 44 kali pengeboman yang dilancarkan Halim Perdanakusuma
di bumi NAZI Jerman, menggunakan pesawat Liberator dan Lancaster. Sungguh
sebuah misi sangar dibalik posturnya yang kurus dan berwajah halus.
Di Indonesia yang masih bayi merah,
bayangkan: pria kelahiran Sampang Madura ini adalah salah satu di antara hanya
dua orang jumlah navigator yang dimiliki AURI di masa itu. Maka sebagai
penghormatan, pada 17 Agustus 1952, nama Pangkalan Udara (Lanud) Cililitan
diganti lalu diabadikan dengan namanya sebagaimana yang kita kenal sampai
sekarang: Pangkalan Udara Utama (Lanuma) Halim Perdanakusuma.
Di republik ini hanya ada dua
wilayah besar Markas Komando Operasi TNI AU. Pertama, Lanuma Halim
Perdanakusuma yang membawahi kurang lebih 20 Lanuma dan Lanud Tipe A-C untuk
Wilayah I Indonesia Barat. Ia merupakan Skuadron udara tempur tertua dan paling
banyak terlibat dalam operasi tempur Indonesia. Kedua, Lanuma Hasanuddin di
Makassar yang membawahi sekitar 19 Lanuma dan Lanud Tipe A sampai D untuk
Wilayah II Indonesia Timur.
Fungsi vital Halim Perdanakusuma
Secara geografis dan geostrategis,
Lanuma Halim Perdanakusuma adalah Mabes TNI AU. Komando Pertahanan Udara
Nasional Indonesia (KOHANUDNAS) memang bermarkas di komplek Lanuma satu ini.
Termasuk sebagai pusat komando batalyon tempur korps elit baret jingga itu.
Sebagai Mabes, boleh saja ia kalah
pamor dengan Lanuma Iswahyudi lantaran Skuadron udara di Madiun itu merupakan
markas pesawat-pesawat seri terbaru nan canggih seperti sukhoi SU-27 atau F-16.
Tapi kalau muncul serangan mendadak militer asing dan dalam situasi
pertempuran, kendali teritorial dan pertahanan udara RI praktis dioperasikan
dari Mabes Halim Perdanakusuma. Beberapa Skuadron tempur udara wilayah Barat-Timur
Indonesia juga akan kembali ke pangkuannya.
Sebab, invansi militer musuh yang
biasanya diawali dengan pengerahan kekuatan tempur udara ke wilayah target,
secara otomatis akan ditangkal terlebih dulu oleh sejumlah Lanuma dan
Lanud di wilayah besar Barat dan Timur Indonesia sehingga Jakarta sebagai pusat
pemerintahan relatif lebih terkendali.
Kalau datang dari Barat, otomatis
dihalau dari pangkalan TNI AU di berbagai provinsi di Sumatera. Terutama oleh
Lanuma Roesmin Nurjadin di Riau serta Lanud Tanjungpinang, Lanud Hang Nadim dan
Lanud Ranai (Natuna) Kepulauan Riau sebagai wilayah perbatasan laut-udara RI
dengan teritori asing. Bila datangnya dari Timur, Lanuma Hasanuddin berpesan
besar menangkalnya.
Letak Halim Perdanakusuma di
Cililitan Jakarta Timur juga sesungguhnya bertalian erat dengan posisi Markas
Kopassus dan Sat 81 Gultor di Cijantung serta Mabes TNI di Cilangkap; sama-sama
berjarak dekat di Jakarta Timur. Tujuannya tak lain untuk memudahkan
memobilisasi dan sinergis unit-unit tempur di tubuh TNI, terutama dalam
mobilisasi serangan balik ke teritori lawan dan pengatur tempo pada pertempuran
infanteri yang telah menembus wilayah RI.
Marsekal Muda (Purn) TNI AU Prayitno
Ramelan pernah mengurai strategi infanteri ini kepada merdeka.com.
Menurutnya, pasokan penerjunan pasukan penerjun payung dalam perang infanteri
paling banyak dari Halim Perdanakusuma selain dari Lanuma Abdul Rachman Saleh
di Malang yang memudahkan mobilisasi pasukan penerjun payung. Karena itulah
Halim Perdanakusuma menjadi fasilitas utama Batalyon Infanteri Lintas Udara
(Brigif Linud) 328 (masuk dalam Brigif Linud 17/Kujang I) yang bermarkas
di Cilodong-Depok dan saling berdekatan dengan pasukan elit baret hijau di
Cijantung.
Begitu pula dengan Brigif Linud
18/Trisula yang bermarkas di Jabung Malang, menjadikan Lanuma Abdul Rachman
Saleh sebagai fasilitas utamanya. Mobilisasi pasukan terjun payung itu juga
sebagai penjelas kenapa dua Lanuma tersebut menjadi pangkalan Hercules,
dan keduanya didekatkan dengan bandara penerbangan sipilnya masing-masing.
Tak cuma itu, di masa darurat,
Lanuma Halim Perdanakusuma menjadi titik evakuasi Presiden RI dan tamu-tamu
negara lainnya. Akses dari Istana menuju Halim lebih cepat ditempuh ketimbang
ke Cengkareng dimana jalan menuju Halim sejak awal sengaja tidak diperlebar. Di
dalam area bandaranya, tempat naik-turun penumpang juga sengaja tidak stel
lebar. Jumlah landasan pacunya dibiarkan hanya satu landasan, yang itupun
panjangnya cuma tiga kilometer. Semua itu tidak absen dari strategi, agar mobilisasi
titik pengamanan dan manuver pesawat tidak terhambat sedarurat apapun
situasinya.
Nasib Halim Perdanakusuma
Tapi nampaknya kini nilai sejarah
TNI AU dan penghormatan terhadap Halim Perdanakusuma bakal hangus. Sistem
pertahanan TNI AU juga praktis banyak berubah. Pihak “Temasek” melalui tangan
PT Angkasa Transportindo Selaras, anak perusahaan Lion Air, akan merombak Mabes
TNI AU ini dengan dana awal Rp 5 trilyun. Dengan dana jumbo ini bandaranya akan
disulap seperti lazim di Eropa sebagai kota bandara. Pihak Lion Air akan
membangun taxiway dan melengkapinya dengan berbagai fasilitas seperti
monorel, under pass dan sebagainya.
Itu semua diintegrasikan dengan
kawasan bisnis seperti business center, ruang MICE; lengkap dengan
perhotelan di area dalam bandara ini yang luasnya mencapai 21 ha. Pihak Lion
Air sudah menggandeng PT Adhi Karya untuk menyulap semua itu. Bahkan menurut
Dirut-nya bisa jadi kelak pihak BUMN Konstruksi ini memiliki saham.
Dengan skema bagi hasil 80% PT
Angkasa Transportindo Selaras dan 20% Induk Koperasi TNI AU, pihak TNI AU tak
berkutik dengan rencana yang telah mulai berjalan sejak 2004 itu. Mabes TNI AU
merestuinya melalui Kepala Dinas Penerbangan TNI AU Marsekal Pertama Hadi
Tjahjanto usai pertemuan dengan pihak Lion Air dan Angkasa Pura II sebagaimana
disampaikan sang Marsekal, 13/01/2014.
Sampai dengan setelah kemenangan
kasasi Lion Air, 16/10/ 2014, pihak TNI AU masih menunjukan sikap serupa.
Malah, Korpaskhas TNI AU tanggap bersiaga di landasan pacu Terminal III Bandara
Seokarno Hatta, 20/02/2015, untuk mengamankan aksi blokir para penumpang Lion
Air yang terlantar akibat keterlambatan maskapai berlogo kepala singa itu.
Kini sebelum semuanya terlambat,
tentu rakyat tidak rela membiarkan Singapura mencaploknya. Kalau tidak, gawat
sekali urusannya. Tapi bila semuanya terlaksana, yah..selamat tinggal
Halim Perdanakusuma! ***
http://indonesianreview.com/alfi-rahmadi/singapura-caplok-mabes-tni-angkatan-udara#sthash.sckevr02.dpuf






0 komentar: