Sosok
Ahmad Dahlan dan Hasyim Asyari, satu guru satu ilmu
Merdeka.com - Kiai Haji Shaleh Darat adalah sosok ulama
panutan penyebar Islam di Pantai Utara Jawa, khususnya Semarang. Dia
lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, pada
sekitar tahun 1820 dengan nama lengkap Muhammad Shaleh.
Sejak dini, Shaleh mendapat gemblengan ilmu dari ayahnya. Setelah dirasa cukup, Shaleh disuruh mengembara ke berbagai tempat hingga berlabuh di Mekkah.
Di sana, dia berguru dengan ulama-ulama besar di antaranya Syaikh Muhammad Almarqi, Syaikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syaikh Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar Assyani, Syaikh Yusuf Almisri, serta Syaikh Jamal Mufti Hanafi. Shaleh juga bertemu dengan santri -santri yang berasal dari Indonesia antara lain KH Nawawi Al Bantani dan KH Muhammad Kholil Al Maduri.
Sepulang dari Makkah, Shaleh mengajar santri-santrinya di pondok pesantren milik Kiai Murtadho yang tak lain mertuanya. Di situ, Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) dan Hasyim Asyari menimba ilmu fikih, tasawuf, dan beragam ilmu agama lainnya.
Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun sementara, Hasyim Asyari berusia 14 tahun. Dalam keseharian, Darwis memanggil Hasyim dengan sebutan Adi Hasyim. Sementara, Hasyim Asyari memanggil Dahlan dengan panggilan Mas Darwis.
Konon semasa mondok, keduanya sangat akrab dan tidur sekamar. Dua pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia ini menjadi santri Sholeh Darat selama 2 tahun penuh.
Selepas nyantri, keduanya mendalami ilmu agamanya di Makkah, di mana Sholeh Darat pernah menimba ilmu. Tentu saja, sang guru membekali referensi ulama-ulama yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah.
Seusai pulang dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah dipelajari bertahun-tahun. Muhammad Darwis yang telah mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah sedangkan Hasyim Asyari mendirikan Nahdlatul Ulama.
Sejak dini, Shaleh mendapat gemblengan ilmu dari ayahnya. Setelah dirasa cukup, Shaleh disuruh mengembara ke berbagai tempat hingga berlabuh di Mekkah.
Di sana, dia berguru dengan ulama-ulama besar di antaranya Syaikh Muhammad Almarqi, Syaikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syaikh Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar Assyani, Syaikh Yusuf Almisri, serta Syaikh Jamal Mufti Hanafi. Shaleh juga bertemu dengan santri -santri yang berasal dari Indonesia antara lain KH Nawawi Al Bantani dan KH Muhammad Kholil Al Maduri.
Sepulang dari Makkah, Shaleh mengajar santri-santrinya di pondok pesantren milik Kiai Murtadho yang tak lain mertuanya. Di situ, Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) dan Hasyim Asyari menimba ilmu fikih, tasawuf, dan beragam ilmu agama lainnya.
Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun sementara, Hasyim Asyari berusia 14 tahun. Dalam keseharian, Darwis memanggil Hasyim dengan sebutan Adi Hasyim. Sementara, Hasyim Asyari memanggil Dahlan dengan panggilan Mas Darwis.
Konon semasa mondok, keduanya sangat akrab dan tidur sekamar. Dua pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia ini menjadi santri Sholeh Darat selama 2 tahun penuh.
Selepas nyantri, keduanya mendalami ilmu agamanya di Makkah, di mana Sholeh Darat pernah menimba ilmu. Tentu saja, sang guru membekali referensi ulama-ulama yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah.
Seusai pulang dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah dipelajari bertahun-tahun. Muhammad Darwis yang telah mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah sedangkan Hasyim Asyari mendirikan Nahdlatul Ulama.
0 komentar: