BEST SELLER,

Imajinasi, Transisi dan Literasi

12.38.00 Iwan Wahyudi 0 Comments




Masa usai ujian semester (ulangan cawu/catur wulan III saat itu) alias kenaikan kelas adalah sebuah jeda yang hampir ditunggu oleh semua pelajar. Hampir semua beban selama setahun akademik (pelajaran) seakan terangkat semua (mulai dari jadwal pelajaran, PR dan tugas-tugas lainnya) dari kepala dan tinggal menunggu saat pengumuman kenaikan kelas. Inilah waktunya Refresh alias rehat full, masuk sekolah cuma mandar-mandir lihat-lihat pengumuman terus pulang sesukanya kapan aja. Kesibukan hanya nongkrong, ngobrol, sesekali diminta guru untuk memungut sampah dedaunan kering yang berguguran dihalaman sekolan (maklum waktu  tersebut musim kemarau sudah mencapai puncaknya bagi kami yang tinggal di ujung timur NTB dan bersekolah dikaki bukit).





Gambar 1 : Pintu Gerbang Sekolah. Inilah gerbang yang selalu menyucapkan selamat datang setiap saat untuk menuntut ilmu.



Pada masa transisi itu jelas tidak ada kelas dan belajar. Semua siswa masuk pagi termasuk kelas II yang biasa Rombongan Belajar (Robel)nya sore hari, efek hal tersebut antar angkatan atau kelas bisa lebih leluasa berintreaksi, berbaur sesuai dengan hoby juga kecenderungan mengisi waktu yang sama dan sejenis. Disinilah akhirnya sharing laku dan pikiran itu bertemu dengan sebuah jembatan literasi dan imajinasi. Literasi karena sebagian kami berkesempatan membaca karya literasi bernama buku yang sangat minim jumlahnya dan surat kabar (yang kadang telat sepekan setelah jadwal terbit baru bisa dibaca, bayangkan betapa terpencilnya kami dengan sumber informasi saat itu, apalagi internet jauh bingiit bro) serta informasi televisi yang sudah marak dengan parabola plus perpustaakan kecil sekolah disamping barat toilet siswa ( sebenarnya juga tak layak disebut perpustakaan jika dilihat dari ukuran ruangan dan koleksi bukunya yang sangat sangat sangat minim and minimalis). Imajinasi dengan khayalan kami menganalisa dalam rabaan sudut pandang masing-masing melalui obrolan pinggir bukit utara sekolah. Era 1995-1996 adalah masa dimana orde baru dipuncak kekuasaannya dan Timor Timur Provinsi termuda Indonesia ( sekarang negera Timor  Leste )mulai bergejolak dengan beberapa kerusuhan.


Gambar 2 : Toilet Siswa. Di sebelah kiri dan satu tembok dengan toilet inilah saat itu ruang perpustakaan sekolah super minimalis berdiri. Foto diambil pada 28 Agustus 2012
Transisi ini berlanjut dan berlangsung pada bulan Juni, Juli hingga  Agustus ketika masuk tahun ajaran baru yang diisi dengan pelatihan P4 (Pendidikan, Penghayatan & Pengamalan Pancasila) bagi siswa baru kelas I, Latihan dan Lomba Gerak jalan antar sekolah, Latihan dan Lomba Tata Upacara Bendera, Perjusami (Perkemahan Jum’at Sabtu Minggu) hari Pramuka dan puncaknya Upacara proklamasi 17 Agustus di Lapangan Kecamatan Belo di Cenggu (saat itu Belo belum dimekarkan menjadi 2 kecamatan dengan Palibelo). Otomatis jam belajar belum bisa normal bayangkan latihan gerak jalan dan tata upacara bendera setiap pagi dan sore, setiap kelas ada utusan masing-masing.

Masa-masa ini juga adalah waktu transisi usia biologis anak manusia dari fase anak-anak menuju awal masa remaja yang tentunya disesaki dengan ruang waktu penuh tanda tanya serta proses pencarian jawaban atas fenomena diri dan lingkungan sekitar ( dari fase sok gak mau tau menjadi sedikit-sedikit mau tau). Diwaktu inilah saya bisa bertemu banyak teman di SLTPN 1 Belo ( sekarang SMPN 1 Palibelo, terkenal dengan nama SMP Teke) dua diantaranya senior setahun diatas saya bernama Andi Anas dan Eka Ilham yang tersohor “jawara” di generasinya ( mereka berasal dari Desa Bre dan Belo yang terkenal produktif menghasilkan orang-orang pintar dibanding desa lainnya). Proses  ngobrol literasi dan imajinasi saat transisi ini cukup sering hingga akhirnya kami tamat SMP dan melanjutkan ke SMUN 1 Raba ( Sekarang SMAN 1 Kota Bima) dengan intensitas bertemu yang jauh sangat berkurang bahkan bisa dibilang kosong, hanya sesekali menyapa tanya kabar jika berpapasan, kami bertiga sibuk dengan dunia masing-masing (bahasa bang Andi Anas gengnya sendiri-sendiri), maklum ada perubahan pola dan cara belajar yang drastis dari ala kampung pinggir bukit ke model belajar masyarakat terdidik kota.



Gambar 3 : Halaman Depan Sekolah. Dulu digunakan sebagai tempat Upacara Bendera tiap hari Senin dan Tiap pagi kami masuk berbaris bershaf memungut dedaunan kering yang berguguran saat musim kemarau.

Pasca SMA  saya melanjutkan study ke Mataram  ibukota NTB. Andi Anas ke Bandung tempat dimana Bung Karno sang proklamator juga mengenyam pendidikan tingginya, bedanya Andi mengambil Jurusan perbandingan agama dan menjadi aktivis HMI, 11 tahun setelah terakhir bertemu saya baru tau kalau beliau mengambil jurusan itu, jauh dari ekspektasi saya bahwa beliau orang eksak banget. Eka Ilham ke kota pelajar tempat dimana KH Ahmad Dahlan memulai langkah membangun sebuah pendidikan dan organisasi ummat yang kemudian menjadi salah satu ormas terbesar di Negeri ini-Muhammadiyah- mengambil Pendidikan Bahasa Inggris dan aktif di dunia seni dan teater yang sangat jauh dari bayangan saya dengan latar diskusi saat SMP dulu karena beliau hampir tidak pernah tampil dipentas seni ajang perpisahan SMP dan sebagainya.
Dari pengalaman dan pengayaan waktu pasca SMA, 19 tahun sejak mengenggam ijazah SMP Teke tepatnya 30 Juni 2016 saya menuliskan pengantar buku BEST SELLER Inspirasi dan Spirit menjadi Manusia Luar Biasa. 14 Tahun setelah tamat SLTPN 1 Belo  Bang Andi Anas di Bandung menorehkan kata pengantar di buku pertamanya The Word of Hikmah pada tanggal 20 Juli 2010. Kata Pengantar Buku GURU itu MELAWAN tergores pada bulan Agustus 2016 dari Bima, 20 tahun sejak selesai sekolah di SMP tertua di kecamatan Belo dan Palibelo oleh penulisnya Bang Eka Ilham. 

Tiga buku ini walau tak ada unsur kesengajaan ataupun janjian, ditakdirkan lahir pada musim kemarau mulai terasa dengan ditandai dedaunan halaman dan belakang SMP Teke mulai berguguran dalam tiga bulan yang berurutan Juni-Juli-Agustus, ya saat masa transisi tahun ajaran baru. Pengembaraan menuntut ilmu dan berkelana ke tanah rantau (seperti halnya suku Mbojo yang terkenal pula sebagai suku perantau) dengan pengalaman juga wawasan yang tentu tak sedikit menemukan kami dengan kenyataan imajinasi-imajinasi era sekolah pinggir gunung yang hampir dua dekade rentangnya dan mewariskan sebagian hal itu pada tiga buah karya literasi berbeda genre. Adalah sebuah kesyukuran tak bertepi pula padaMu Ya Rabb, isi buku-buku tersebut adalah refleksi hidup dengan kekuatan motivasi dan Inspirasi yang dalam.


Gambar 4 : Bukit Belakang Sekolah. Dibelakang sekolah berturut-turut ke atas adalah lapangan kecil (berpondasi batu kali), lapangan besar dan bukit. Foto diambil pada 28 Agustus 2012



Salah satu guru SMP kami bertiga, kini menjadi Guru di SMAN 1 Kota Bima yang memiliki koleksi lengkap tiga buku kami,  Ibu Lily Nurlaeli dalam inbox akun Facebooknya mengirimkan komentar “ Kata-kata indah mengingatkan akan saat-saat seorang bu guru muda memulai menjadi guru di usia dua puluh tiga. Sekolah yang tenang di desa yang sunyi dari keramaian di pinggir bukit. Tiga anak kecil jelang remaja telah terlihat talentanya untuk masa depan.Ternyata benar, tiga anak kecil itu kini menjelma jadi pemuda pemikir yang ikut mewarnai Indonesia dengan karya tulisnya yang menginspirasi. Semoga mereka menanjak dewasa dengan karya yang mencerahkan “.

Gambar 5 : Bersama Ibu Lily Nurlaeli. Di Depan Laboratorium Biologi SMAN 1 Kota Bima. Foto diambil pada 18 Maret 2016






Semoga Imajinasi, transisi dan literasi ini bermanfaat bagi kami dan semua kerabat juga pembaca, sebagai sarana kebaikan dan melipatgandakan kebaikan itu sendiri seperti yang dikatakan oleh Ibnul Jauzy “ Diantara amal jariyah terbesar adalah menulis buku, ia akan terus mengalirkan pahala meski penulisnya sudah mati “.



Cordova 03, 22:50 wita 08 November 2016
IWAN Wahyudi
 

You Might Also Like

0 komentar: