Berita
Jakarta - Indonesia mulai
melaksanakan langkah konkret untuk mewujudkan alat utama sistem
persenjataan (alutsista) sendiri. Mimpi membuat kapal selam, pesawat
tempur F-33 (KFX-DFX), hingga rudal perlahan diwujudkan hingga mandiri
dan bisa menghemat devisa.
"Perlu dicatat, negara yang mampu membuat alutsista sendiri itulah yang nantinya bisa menguasai peta politik dunia. Contoh China, Rusia, AS, India dan sebagainya. Karena mereka memiliki kekuatan yang membuatnya bisa menguasai negara politik dunia. Kita bukan negara agresor, tapi kita memerlukan banyak alutsista untuk mempertahankan negara. Saya kira sudah waktunya sekarang," ujar mantan KSAL dan Ketua Harian Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Laksamana (Purn) Sumarjono.
Hal itu disampaikan dalam jumpa pers di Ruang Palapa Kemenhan, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (19/2/2014).
Dia menambahkan, selama ini Indonesia selalu mengisi porsi alutsista dari luar negeri. Ketergantungan kepada negara lain ini rawan embargo oleh negara penjual senjata. Bila Indonesia mampu membuat alutsista sendiri, negara lain akan menghargai.
Sementara Staf Ahli bidang Kerjasama Hubungan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Silmi Karim memaparkan langkah itu dimulai dengan pembangunan kapal selam yang bekerja sama dengan PT PAL.
"RDP DPR Senin lalu, di mana salah satu industri pertahanan dalam negeri, PT PAL mendapatkan USD 250 juta untuk 2014 melalui APBNP. Ini adalah salah satu upaya dalam rangka membentuk kemandirian industri pertahanan," kata Silmi.
PT PAL yang ditunjuk oleh Menhan akan mulai memproduksi kapal selam pada 2018. Kemudian dilanjutkan pengawasannya oleh KKIP. Selain itu jalan menuju pembangunan pesawat tempur F 33 (KFX-DFX) yang bekerja sama dengan Korea Selatan sedang disiapkan.
"Kapal selam mempunyai daya gentar yang cukup signifikan diperlukan Indonesia meraih kekuasaan. Untuk itu, kita menjalin kerjasama dengan lembaga riset dari Korsel merangkai pesawat tempur KFX-DFX," jelas dia.
Selain itu sedang dirancang Perpres tentang pesawat tempur KFX-DFX dan kapal selam. Pembuatan alutsista sendiri ini merupakan program yang memakan waktu lebih dari 1 tahun bahkan bisa sampai 5 tahun.
"Selain itu, kita juga mencanangkan kerja sama dengan salah satu negara untuk membangun rudal. Di samping itu juga kami harus memiliki medium tank yang sudah disesuaikan dengan karakteristik Indonesia, sehingga mampu menjawab tantangan dalam negeri. Dengan bobot yang ringan, tapi punya kemampuan daya hancur yang signifikan. Kita juga akan mengembangkan panser amphibi, bahan baku amunisi dengan bekerja sama dengan negara lain, pesawat tanpa awak UFV, radar dan amunisi kaliber besar," jelas Silmi.
Hemat Devisa
Untuk alat pertahanan yang digunakan di laut, Pemerintah menunjuk produsen hulu adalah PT PAL. Sedangkan yang berhubungan dengan bahan peledak adalah PT Dahana. "Jadi kita sudah bagi lead integrator yang melibatkan BUMN," tutur Silmi mencontohkan.
Pembuatan alutsista sendiri dipastikan bisa menghemat devisa negara. Dengan biaya yang sama, bila diproduksi di Indonesia dibanding mengimpor, maka alat pertahanan lebih banyak. Dampaknya, pengawasan pertahanan dan kedaulatan bisa dimaksimalkan.
"Ambil contoh kapal selam kurang lebih sekitar USD 1 miliar dapat tiga kapal. Kalau itu diproduksi full di Indonesia berapa banyak penghematan? Indonesia butuh 12 kapal, tapi kita hanya punya 2. Jadi jangan heran potensi alam Indonesia banyak diambil oleh negara luar," jelas dia.
Sumber : http://news.detik.com
RI Mulai Jalankan Mimpi Buat Pesawat Tempur, Kapal Selam dan Rudal
(Foto: Ayunda W Savitri/detikcom)
"Perlu dicatat, negara yang mampu membuat alutsista sendiri itulah yang nantinya bisa menguasai peta politik dunia. Contoh China, Rusia, AS, India dan sebagainya. Karena mereka memiliki kekuatan yang membuatnya bisa menguasai negara politik dunia. Kita bukan negara agresor, tapi kita memerlukan banyak alutsista untuk mempertahankan negara. Saya kira sudah waktunya sekarang," ujar mantan KSAL dan Ketua Harian Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Laksamana (Purn) Sumarjono.
Hal itu disampaikan dalam jumpa pers di Ruang Palapa Kemenhan, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (19/2/2014).
Dia menambahkan, selama ini Indonesia selalu mengisi porsi alutsista dari luar negeri. Ketergantungan kepada negara lain ini rawan embargo oleh negara penjual senjata. Bila Indonesia mampu membuat alutsista sendiri, negara lain akan menghargai.
Sementara Staf Ahli bidang Kerjasama Hubungan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Silmi Karim memaparkan langkah itu dimulai dengan pembangunan kapal selam yang bekerja sama dengan PT PAL.
"RDP DPR Senin lalu, di mana salah satu industri pertahanan dalam negeri, PT PAL mendapatkan USD 250 juta untuk 2014 melalui APBNP. Ini adalah salah satu upaya dalam rangka membentuk kemandirian industri pertahanan," kata Silmi.
PT PAL yang ditunjuk oleh Menhan akan mulai memproduksi kapal selam pada 2018. Kemudian dilanjutkan pengawasannya oleh KKIP. Selain itu jalan menuju pembangunan pesawat tempur F 33 (KFX-DFX) yang bekerja sama dengan Korea Selatan sedang disiapkan.
"Kapal selam mempunyai daya gentar yang cukup signifikan diperlukan Indonesia meraih kekuasaan. Untuk itu, kita menjalin kerjasama dengan lembaga riset dari Korsel merangkai pesawat tempur KFX-DFX," jelas dia.
Selain itu sedang dirancang Perpres tentang pesawat tempur KFX-DFX dan kapal selam. Pembuatan alutsista sendiri ini merupakan program yang memakan waktu lebih dari 1 tahun bahkan bisa sampai 5 tahun.
"Selain itu, kita juga mencanangkan kerja sama dengan salah satu negara untuk membangun rudal. Di samping itu juga kami harus memiliki medium tank yang sudah disesuaikan dengan karakteristik Indonesia, sehingga mampu menjawab tantangan dalam negeri. Dengan bobot yang ringan, tapi punya kemampuan daya hancur yang signifikan. Kita juga akan mengembangkan panser amphibi, bahan baku amunisi dengan bekerja sama dengan negara lain, pesawat tanpa awak UFV, radar dan amunisi kaliber besar," jelas Silmi.
Hemat Devisa
Untuk alat pertahanan yang digunakan di laut, Pemerintah menunjuk produsen hulu adalah PT PAL. Sedangkan yang berhubungan dengan bahan peledak adalah PT Dahana. "Jadi kita sudah bagi lead integrator yang melibatkan BUMN," tutur Silmi mencontohkan.
Pembuatan alutsista sendiri dipastikan bisa menghemat devisa negara. Dengan biaya yang sama, bila diproduksi di Indonesia dibanding mengimpor, maka alat pertahanan lebih banyak. Dampaknya, pengawasan pertahanan dan kedaulatan bisa dimaksimalkan.
"Ambil contoh kapal selam kurang lebih sekitar USD 1 miliar dapat tiga kapal. Kalau itu diproduksi full di Indonesia berapa banyak penghematan? Indonesia butuh 12 kapal, tapi kita hanya punya 2. Jadi jangan heran potensi alam Indonesia banyak diambil oleh negara luar," jelas dia.
Sumber : http://news.detik.com
0 komentar: