Tulisan
SALAM-ONLINE: Hari ini, Jumat, 9 Ramadhan 1436 H,
Proklamasi Indonesia yang dibacakan Soekarno sudah berusia 72 tahun.
Jumat, 9 Ramadhan 1364 H (17 Agustus 1945 M), proklamasi “kemerdekaan”
itu dinyatakan. Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah, saat dimana
Indonesia merasakan karunia dari Allah untuk menikmati “kemerdekaan”,
lepas dari penjajahan asing.
Proklamasi yang telah berusia 72 tahun ini (9 Ramadhan 1364 -1436 H) mengingatkan kita untuk berkaca kembali, apa makna kemerdekaan bagi kita? Apa harga yang harus dibayar untuk proklamasi “kemerdekaan” yang kita rasakan saat ini?
Memutar kembali waktu, membuka kembali lembaran-lembaran sejarah bangsa kita, maka kita akan menemukan jejak Islam di setiap lembar sejarah bangsa Indonesia. Bahkan perjuangan kemerdekaan sejatinya telah ada, malah jauh sebelum terbayang sebuah komunitas bernama Indonesia.
Perjuangan “kemerdekaan” bangsa ini berurat dan berakar kepada perjuangan Islam.Perjuangan para pendahulu kita untuk merdeka bertolak dari Islam yang menentang penindasan. Menggaungkan nama Islam. Merentang dari barat hingga timur nusantara.Untuk menegakkan hukum Allah.
Semangat jihad rakyat Aceh yang seringkali disebut sebagai perang sabil menghujam dalam dada rakyat tanah rencong itu.Maka kita dapat melihat meleburnya jihad ke dalam budaya masyarakat Aceh, sehingga didengungkanlah syair-syair hikayat perang sabil dalam kehidupan rakyat. Hikayat Perang Sabi sering dibacakan ditengah masyarakat. Didengarkan turun temurun.
Maka tak heran Aceh mampu menghadapi perang dengan penjajah hingga 40 tahun lamanya.Bahkan ketika kesultanan Aceh runtuh, rakyat aceh tak pernah benar-benar berhenti berperang. Malah penulis Belanda, Zentgraaf, mencatat wanita-wanita aceh adalah perempuan-perempuan paling pemberani dalam kancah peperangan.
“Vrouwen als deze waren er bij honderden, wellicht duizenden (wanita Aceh yang seperti ini ada ratusan, mungkin ribuan).”
Di lain kesempatan Zentgraaff mengatakan, “En dat de vrouwen van dit volk alle andere overtreffen in moed en doodsverachting,” yang dalam terjemahan bebasnya berarti; wanita bangsa ini melampaui orang lain dalam keberanian dan berani mati.[1]
Keberanian para pejuang aceh ini juga dapat kita temukan pada perlawanan kaum paderi melawan kolonial Belanda. Kaum Paderi tak lain ingin menjadikan wilayah mereka sesuai dengan ajaran Islam. Begitu pula ketika akhirnya harus menempuh jalan peperangan dengan penjajah, maka Islamlah yang menjadi daya dorong para kaum paderi di Sumatera Barat. Steyn Parve, salah seorang mantan residen Padangsche Bovenlanden, memberikan kesaksiannya mengenai Kaum paderi.
“Tetapi sekte Paderi tidak muncul sebentar saja. Sebaliknya, sekte ini laksana cahaya yang muncul dan bertahan lama, terus menerus memperlihatkan sinarnya kepada kita.”[2]
Hal yang sama kita temukan di Jawa. Pangeran Diponegoro yang ingin menegakkan Islam di tanah Jawa, mendapat dukungan dari kaum ulama seperti Kiai Mojo. Sang Pangeran memiliki kehendak merdeka, melawan penjajahan dan mengembalikan kemuliaan Islam di tanah Jawa.[3]
Di Makassar, Sultan Alauddin berdiri tegak mempertahankan kesultanannya. Ketika VOC meminta Makassar untuk menghentikan perdagangannya ke kepulauan Maluku, dijawab oleh Sultan dengan sangat mengesankan.
“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, (dan telah) membagikan bumi di antara manusia, (begitu pun) Dia memberi lautan sebagai milik bersama. Tidak pernah kami mendengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang. Jika engkau melakukan larangan itu, berarti engkau seolah-olah mengambil roti dari mulut orang (lain).”[4]
Jawaban yang tentu saja memicu peperangan bertahun-tahun. Meskipun akhirnya Makassar menderita kekalahan, namun sejarah tetap mengenangnya sebagai peperangan umat Islam melawan orang kafir, seperti terekam dalam Syair Perang Mengkasar, yang di tulis oleh Enci’ Amin, seorang juru tulis Sultan Hasanuddin.
Lima tahun lamanya perang
Sedikit pun tidak hatinya bimbang
Sukacita hati segala hulubalang
Melihat musuh hendak berperang.
Mengkasar sedikit tidak gentar
Ia berperang dengan si Kuffar
Jikalau tidak ra’yatnya lapar
Tambahi lagi Welanda kuffar.[5]
Berbagai peperangan telah mewarnai perjuangan kemerdekaan bangsa kita.Bertumpuk-tumpuk badan menjadi syahid. Bersahut-sahut takbir memanggil. Panggilan yang oleh M. Natsir disebut Panggilan Allahu Akbar. Seperti tercatat dalam Syair Perang Menteng melawan penjajah di Palembang.
Haji berteriak Allahu Akbar
Datang mengamuk tak lagi sabar
Dengan tolong Tuhan Malik Al-Jabbar
Serdadu Menteng habislah bubar.[6]
Semua perjuangan itu adalah kehendak untuk merdeka, bebas dari segala penindasan. Bagi para pemimpin kita, segala perjuangan di atas, menjadi inspirasi untuk meneruskan perjuangan.
Demikian pula ketika perjuangan beralih ke zaman modern, Islam tetap menjadi sumbu dari berputarnya usaha-usaha menuju kemerdekaan. Sarekat Islam adalah contoh nyata bagaimana Islam dapat menyatukan bangsa ini.Organisasi ke-Islam-an seperti Nadlatul Ulama, diwakili para kiai, telah mendambakan kemerdekaan sebagai jalan untuk kemaslahatan umat Islam. KH Wahab Hasbullah ketika ditanya mengenai kemerdekaan, sehari sebelum NU berdiri pada 1926, menjawab,”Tentu, itu syarat nomor satu, umat Islam menuju ke jalan itu, umat Islam kita tidak leluasa sebelum Negara kita merdeka.“[7]
Menurut M. Natsir, ajaran Islamlah yang menyebabkan dorongan-dorongan untuk merdeka. Ia menyatakan, “Pada hakikatnya, ajaran Islam itu merupakan suatu revolusi, yaitu revolusi dalam menghapuskan dan menentang tiap-tiap eksploitasi. Apakah eksploitasi itu bernama kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, komunisme atau fascism, terserah kepada yang hendak memberikan.
Demikianlah semangat kemerdekaan yang hidup dan dibakar dalam jiwa kaum Muslimin di Indonesia. Semenjak berabad-abad semangat itu menjadi sumber kekuatan bangsa kita dan spirit itu pulalah yang menghebat dan mendorong kita memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1945 itu.”[8]
Maka tak mengherankan jika para ulama dan tokoh Islam, ketika memiliki kesempatan untuk mewarnai lahirnya Republik Indonesia, mereka memanfaatkannya dengan memperjuangkan Islam sebagai pondasi negara. Melalui Piagam Jakarta (Jakarta Charter), umat Islam dapat menyalurkan citanya untuk menjadikan Indonesia negara merdeka yang bertauhid.
Menurut Buya Hamka, tidak mungkin tauhid dilepaskan dalam perjuangan bernegara. Sebab pangkal pokok pandangan Islam adalah dua kalimat syahadat.
“Akibat dua kalimat syahadat itu bagi kehidupan Islam sangat besar dan sangat jauh. Karena kalimat itu, tidaklah ada yang mereka sembah, melainkan Allah. Tidak ada peraturan yang mereka akui, atau undang-undang yang mereka junjung tinggi, melainkan peraturan dan undang-undang dari Allah,” kata Buya Hamka. [9]
Namun sayang, Piagam Jakarta tak terlaksana hingga saat ini. Kalimat“Dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” malah dihapuskan. Buya Hamka, sangat menyesalkan peristiwa ini.
“Pendeknya, sesudah sehari maksud berhasil (maksudnya proklamasi kemerdekaan-pen), partner ditinggalkan, dan orang mulai jalan sendiri. Pihak Islam dibujuk dengan janji-janji bahwa kepentingannya akan dijamin. Bersama dengan tujuh kalimat itu, dihapuskan pulalah kata yang di atas sekali, kata pembukaan yang termasuk kalimat’ sakti’ dalam jiwa orang yang hidup dalam Islam, yaitu kalimat, ‘Dengan Nama Allah Tuhan Yang Rahman dan Rahim. Sampai begitunya!”sesal Hamka.[10]
Kita, generasi saat ini memang patut menyesalkan peristiwa tersebut. Padahal, dengan kalimat Allahu Akbar-lah, para syuhada merelakan jiwanya untuk melawan penjajah. Kalimat Allahu Akbar-lah ucapan terakhir para pahlawan kita, sebelum nyawa mereka bercerai dari badannya. Dengan kalimat takbirlah, mereka mempertanggungjawabkan jihad mereka di hadapan Allah.
Hingga kini, Piagam Jakarta yang disebut undang-undang menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan satu kesatuan dengan konstitusi, nyatanya hanyalah teks belaka tanpa realisasi nyata. Atas perkara ini, Buya Hamka melemparkan pertanyaan menohok bagi kita.
“Sekarang Indonesia telah merdeka. Merdeka Buat apa?”
Bagi kita kaum Muslimin adalah merdeka buat melakukan syariat Islam, dalam pengakuan dan pangkuan negara, bagi penduduknya yang memeluk Islam.
Sebab menjalankan syariat Allah dan Rasul bagi kita kaum Muslimin adalah bagian dari iman. Sebab dalam ajaran Islam, Islam itu bukanlah semata-mata hubungan dengan Allah, tetapi hubungan juga dengan masyarakat.
Bukan semata-mata ibadat, tetapi mencakup juga bernegara dan bermasyarakat. Percuma jadi orang Islam, percuma mendirikan partai-partai Islam, kalau dengan iman terpotong-potong kita hendak tampil ke muka.
Namun tidak! Demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman, sebelum engkau jadikan hakim, pada barang yang mereka perselisihkan di antara mereka, kemudian itu tidak mereka dapati dalam diri mereka sendiri rasa keberatan pada apa yang engkau putuskan, dan mereka menyerah sebenar-benar menyerah.
Itulah dia iman, dan itulah dia hidup.
Kalau tidak, sama dengan artinya mati, walaupun nafas masih turun naik.”[11]
Lantas jika begini, apakah arti kemerdekaan bagi kita? Agaknya penulis sepakat, sekali lagi, dengan [12] Buya Hamka:
“Mari kita berpahit-pahit, kaum Muslimin belum pernah merasa puas dalam kemerdekaan negeri ini kalau kewajiban menjalankan syariat Islam dalam kalangan pemeluknya seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 belum menjadi kenyataan.”
-Penulis adalah Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
Sumber: jejakislam.net
[1]Talsya, T. Alibasjah. (1982). Cut Nyak Meutia, Srikandi yang Gugur di Medan Perang Aceh. Jakarta: Mutiara
[2]Amran,Rusli. (1981). Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
[3] Carey, Peter. (2011). Kuasa Ramalan.Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
[4]Sewang, Ahmad M. 2005.Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai abad XVII. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
[5]Amin, Enci’. (2008). Syair Perang Mengkasar, C. Skinner (ed). Makassar: Ininnawa.
[6] Alfian, Ibrahim. (1992). Sastra Perang. Sebuah Pembicaraan Mengenai Hikayat Perang Sabil. Jakarta: Balai Pustaka.
[7] Feillard, Andree. (1999). NU Vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna.Yogyakarta : LKiS.
[8] Natsir, M. (2008). Revolusi Indonesia dalam Capita Selecta Jilid 2. Jakarta: PT Abadi dan Yayasan Capita Selecta.
[9] Hamka. (2002). Mengapa Mereka Masih Ribut?dalamHati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas.
[10] Ibid
[11] Hamka. (2002). Cintakan Rasul SAW dalam Hati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas.
[12] Hamka. (2002). Mengapa Mereka Masih Ribut?dalamHati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hari Ini 72 Tahun Proklamasi Indonesia dalam Hitungan Hijriyah, Hamka: “Merdeka Buat Apa?”
Proklamasi yang telah berusia 72 tahun ini (9 Ramadhan 1364 -1436 H) mengingatkan kita untuk berkaca kembali, apa makna kemerdekaan bagi kita? Apa harga yang harus dibayar untuk proklamasi “kemerdekaan” yang kita rasakan saat ini?
Memutar kembali waktu, membuka kembali lembaran-lembaran sejarah bangsa kita, maka kita akan menemukan jejak Islam di setiap lembar sejarah bangsa Indonesia. Bahkan perjuangan kemerdekaan sejatinya telah ada, malah jauh sebelum terbayang sebuah komunitas bernama Indonesia.
Perjuangan “kemerdekaan” bangsa ini berurat dan berakar kepada perjuangan Islam.Perjuangan para pendahulu kita untuk merdeka bertolak dari Islam yang menentang penindasan. Menggaungkan nama Islam. Merentang dari barat hingga timur nusantara.Untuk menegakkan hukum Allah.
Semangat jihad rakyat Aceh yang seringkali disebut sebagai perang sabil menghujam dalam dada rakyat tanah rencong itu.Maka kita dapat melihat meleburnya jihad ke dalam budaya masyarakat Aceh, sehingga didengungkanlah syair-syair hikayat perang sabil dalam kehidupan rakyat. Hikayat Perang Sabi sering dibacakan ditengah masyarakat. Didengarkan turun temurun.
Maka tak heran Aceh mampu menghadapi perang dengan penjajah hingga 40 tahun lamanya.Bahkan ketika kesultanan Aceh runtuh, rakyat aceh tak pernah benar-benar berhenti berperang. Malah penulis Belanda, Zentgraaf, mencatat wanita-wanita aceh adalah perempuan-perempuan paling pemberani dalam kancah peperangan.
“Vrouwen als deze waren er bij honderden, wellicht duizenden (wanita Aceh yang seperti ini ada ratusan, mungkin ribuan).”
Di lain kesempatan Zentgraaff mengatakan, “En dat de vrouwen van dit volk alle andere overtreffen in moed en doodsverachting,” yang dalam terjemahan bebasnya berarti; wanita bangsa ini melampaui orang lain dalam keberanian dan berani mati.[1]
Keberanian para pejuang aceh ini juga dapat kita temukan pada perlawanan kaum paderi melawan kolonial Belanda. Kaum Paderi tak lain ingin menjadikan wilayah mereka sesuai dengan ajaran Islam. Begitu pula ketika akhirnya harus menempuh jalan peperangan dengan penjajah, maka Islamlah yang menjadi daya dorong para kaum paderi di Sumatera Barat. Steyn Parve, salah seorang mantan residen Padangsche Bovenlanden, memberikan kesaksiannya mengenai Kaum paderi.
“Tetapi sekte Paderi tidak muncul sebentar saja. Sebaliknya, sekte ini laksana cahaya yang muncul dan bertahan lama, terus menerus memperlihatkan sinarnya kepada kita.”[2]
Hal yang sama kita temukan di Jawa. Pangeran Diponegoro yang ingin menegakkan Islam di tanah Jawa, mendapat dukungan dari kaum ulama seperti Kiai Mojo. Sang Pangeran memiliki kehendak merdeka, melawan penjajahan dan mengembalikan kemuliaan Islam di tanah Jawa.[3]
Di Makassar, Sultan Alauddin berdiri tegak mempertahankan kesultanannya. Ketika VOC meminta Makassar untuk menghentikan perdagangannya ke kepulauan Maluku, dijawab oleh Sultan dengan sangat mengesankan.
“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, (dan telah) membagikan bumi di antara manusia, (begitu pun) Dia memberi lautan sebagai milik bersama. Tidak pernah kami mendengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang. Jika engkau melakukan larangan itu, berarti engkau seolah-olah mengambil roti dari mulut orang (lain).”[4]
Jawaban yang tentu saja memicu peperangan bertahun-tahun. Meskipun akhirnya Makassar menderita kekalahan, namun sejarah tetap mengenangnya sebagai peperangan umat Islam melawan orang kafir, seperti terekam dalam Syair Perang Mengkasar, yang di tulis oleh Enci’ Amin, seorang juru tulis Sultan Hasanuddin.
Lima tahun lamanya perang
Sedikit pun tidak hatinya bimbang
Sukacita hati segala hulubalang
Melihat musuh hendak berperang.
Mengkasar sedikit tidak gentar
Ia berperang dengan si Kuffar
Jikalau tidak ra’yatnya lapar
Tambahi lagi Welanda kuffar.[5]
Berbagai peperangan telah mewarnai perjuangan kemerdekaan bangsa kita.Bertumpuk-tumpuk badan menjadi syahid. Bersahut-sahut takbir memanggil. Panggilan yang oleh M. Natsir disebut Panggilan Allahu Akbar. Seperti tercatat dalam Syair Perang Menteng melawan penjajah di Palembang.
Haji berteriak Allahu Akbar
Datang mengamuk tak lagi sabar
Dengan tolong Tuhan Malik Al-Jabbar
Serdadu Menteng habislah bubar.[6]
Semua perjuangan itu adalah kehendak untuk merdeka, bebas dari segala penindasan. Bagi para pemimpin kita, segala perjuangan di atas, menjadi inspirasi untuk meneruskan perjuangan.
Demikian pula ketika perjuangan beralih ke zaman modern, Islam tetap menjadi sumbu dari berputarnya usaha-usaha menuju kemerdekaan. Sarekat Islam adalah contoh nyata bagaimana Islam dapat menyatukan bangsa ini.Organisasi ke-Islam-an seperti Nadlatul Ulama, diwakili para kiai, telah mendambakan kemerdekaan sebagai jalan untuk kemaslahatan umat Islam. KH Wahab Hasbullah ketika ditanya mengenai kemerdekaan, sehari sebelum NU berdiri pada 1926, menjawab,”Tentu, itu syarat nomor satu, umat Islam menuju ke jalan itu, umat Islam kita tidak leluasa sebelum Negara kita merdeka.“[7]
Menurut M. Natsir, ajaran Islamlah yang menyebabkan dorongan-dorongan untuk merdeka. Ia menyatakan, “Pada hakikatnya, ajaran Islam itu merupakan suatu revolusi, yaitu revolusi dalam menghapuskan dan menentang tiap-tiap eksploitasi. Apakah eksploitasi itu bernama kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, komunisme atau fascism, terserah kepada yang hendak memberikan.
Demikianlah semangat kemerdekaan yang hidup dan dibakar dalam jiwa kaum Muslimin di Indonesia. Semenjak berabad-abad semangat itu menjadi sumber kekuatan bangsa kita dan spirit itu pulalah yang menghebat dan mendorong kita memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1945 itu.”[8]
Maka tak mengherankan jika para ulama dan tokoh Islam, ketika memiliki kesempatan untuk mewarnai lahirnya Republik Indonesia, mereka memanfaatkannya dengan memperjuangkan Islam sebagai pondasi negara. Melalui Piagam Jakarta (Jakarta Charter), umat Islam dapat menyalurkan citanya untuk menjadikan Indonesia negara merdeka yang bertauhid.
Menurut Buya Hamka, tidak mungkin tauhid dilepaskan dalam perjuangan bernegara. Sebab pangkal pokok pandangan Islam adalah dua kalimat syahadat.
“Akibat dua kalimat syahadat itu bagi kehidupan Islam sangat besar dan sangat jauh. Karena kalimat itu, tidaklah ada yang mereka sembah, melainkan Allah. Tidak ada peraturan yang mereka akui, atau undang-undang yang mereka junjung tinggi, melainkan peraturan dan undang-undang dari Allah,” kata Buya Hamka. [9]
Namun sayang, Piagam Jakarta tak terlaksana hingga saat ini. Kalimat“Dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” malah dihapuskan. Buya Hamka, sangat menyesalkan peristiwa ini.
“Pendeknya, sesudah sehari maksud berhasil (maksudnya proklamasi kemerdekaan-pen), partner ditinggalkan, dan orang mulai jalan sendiri. Pihak Islam dibujuk dengan janji-janji bahwa kepentingannya akan dijamin. Bersama dengan tujuh kalimat itu, dihapuskan pulalah kata yang di atas sekali, kata pembukaan yang termasuk kalimat’ sakti’ dalam jiwa orang yang hidup dalam Islam, yaitu kalimat, ‘Dengan Nama Allah Tuhan Yang Rahman dan Rahim. Sampai begitunya!”sesal Hamka.[10]
Kita, generasi saat ini memang patut menyesalkan peristiwa tersebut. Padahal, dengan kalimat Allahu Akbar-lah, para syuhada merelakan jiwanya untuk melawan penjajah. Kalimat Allahu Akbar-lah ucapan terakhir para pahlawan kita, sebelum nyawa mereka bercerai dari badannya. Dengan kalimat takbirlah, mereka mempertanggungjawabkan jihad mereka di hadapan Allah.
Hingga kini, Piagam Jakarta yang disebut undang-undang menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan satu kesatuan dengan konstitusi, nyatanya hanyalah teks belaka tanpa realisasi nyata. Atas perkara ini, Buya Hamka melemparkan pertanyaan menohok bagi kita.
“Sekarang Indonesia telah merdeka. Merdeka Buat apa?”
Bagi kita kaum Muslimin adalah merdeka buat melakukan syariat Islam, dalam pengakuan dan pangkuan negara, bagi penduduknya yang memeluk Islam.
Sebab menjalankan syariat Allah dan Rasul bagi kita kaum Muslimin adalah bagian dari iman. Sebab dalam ajaran Islam, Islam itu bukanlah semata-mata hubungan dengan Allah, tetapi hubungan juga dengan masyarakat.
Bukan semata-mata ibadat, tetapi mencakup juga bernegara dan bermasyarakat. Percuma jadi orang Islam, percuma mendirikan partai-partai Islam, kalau dengan iman terpotong-potong kita hendak tampil ke muka.
Namun tidak! Demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman, sebelum engkau jadikan hakim, pada barang yang mereka perselisihkan di antara mereka, kemudian itu tidak mereka dapati dalam diri mereka sendiri rasa keberatan pada apa yang engkau putuskan, dan mereka menyerah sebenar-benar menyerah.
Itulah dia iman, dan itulah dia hidup.
Kalau tidak, sama dengan artinya mati, walaupun nafas masih turun naik.”[11]
Lantas jika begini, apakah arti kemerdekaan bagi kita? Agaknya penulis sepakat, sekali lagi, dengan [12] Buya Hamka:
“Mari kita berpahit-pahit, kaum Muslimin belum pernah merasa puas dalam kemerdekaan negeri ini kalau kewajiban menjalankan syariat Islam dalam kalangan pemeluknya seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 belum menjadi kenyataan.”
-Penulis adalah Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
Sumber: jejakislam.net
[1]Talsya, T. Alibasjah. (1982). Cut Nyak Meutia, Srikandi yang Gugur di Medan Perang Aceh. Jakarta: Mutiara
[2]Amran,Rusli. (1981). Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
[3] Carey, Peter. (2011). Kuasa Ramalan.Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
[4]Sewang, Ahmad M. 2005.Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai abad XVII. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
[5]Amin, Enci’. (2008). Syair Perang Mengkasar, C. Skinner (ed). Makassar: Ininnawa.
[6] Alfian, Ibrahim. (1992). Sastra Perang. Sebuah Pembicaraan Mengenai Hikayat Perang Sabil. Jakarta: Balai Pustaka.
[7] Feillard, Andree. (1999). NU Vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna.Yogyakarta : LKiS.
[8] Natsir, M. (2008). Revolusi Indonesia dalam Capita Selecta Jilid 2. Jakarta: PT Abadi dan Yayasan Capita Selecta.
[9] Hamka. (2002). Mengapa Mereka Masih Ribut?dalamHati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas.
[10] Ibid
[11] Hamka. (2002). Cintakan Rasul SAW dalam Hati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas.
[12] Hamka. (2002). Mengapa Mereka Masih Ribut?dalamHati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas.
0 komentar: