Kuliner,
32 [ANYAMAN MAKNA DALAM KETUPAT]
Setiap lebaran terutama Idul Fitri, ada satu hidangan yang tak boleh absen dalam keluarga kami yaitu ketupat. Walau kadang beberapa kali harus tergantikan dengan lontong karena kendala teknis diataranya mencari daun kelapa untuk dibuat ketupat. Lebaran tahun ini nyaris tanpa ketupat atau lontong. Pandemi Covid-19 membuat saya tidak bisa pulang kampung lebaran bersama keluarga, satu sisi saya harus tetap di Sumbawa tempat mengabdi saat ini.
Sudah pasrah sebenarnya ketika H-1 lebaran tidak melihat orang yang menjual ketupat atau lontong , sempat janjian sama anak-anak asrama mahasiswa yang masih tersisa (tidak pulang kampung) untuk membuatnya pada hari H. Namun, saat makan pagi bersama setelah shalat Ied, tiba-tiba pak Rektor Universitas Teknologi Sumbawa (UTS) Ir. Chairul Hudaya, PhD membawa rantang berisi lontong dan opor. Alhamdulillah walau beberapa potong , menggugurkan lebaran tanpa ketupat/lontong.
Ketupat bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sangat identik dengan lebaran (Idul Fitri dan Idul Adha). Tentu ada sejarah dan nilai filosofis pada ketupat sehingga melekat pada Perayaan hari Besar Islam tersebut. Saya coba mencari beberapa sumber, terutama online atas penasaran saya terhadap ketupat. Salah satunya Sejarawan Universitas Padjadjaran Bandung Fadly Rahman yang menulis buku Jejak Rasa Nusantara : Sejarah Makanan Indonesia (Kompas.com, Sabtu 24/6/2017)
Ketupat berasal dari abad ke-15 hingga ke-16 semasa hidup Sunan Kalijaga (salah satu dari Wali Songo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa). Sunan Kalijaga menjadikan ketupat sebagai budaya sekaligus filosofi Jawa yang berbaur dengan nilai keislaman. Ketupat mewakili dua simbolisasi, yakni ngaku lepat yang artinya mengajui kesalahan dan laku papat atau empat laku yang juga tercermin dari wujud empat sisi ketupat . Empat laku, memiliki makna yang mengartikan :
Ketupat berasal dari abad ke-15 hingga ke-16 semasa hidup Sunan Kalijaga (salah satu dari Wali Songo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa). Sunan Kalijaga menjadikan ketupat sebagai budaya sekaligus filosofi Jawa yang berbaur dengan nilai keislaman. Ketupat mewakili dua simbolisasi, yakni ngaku lepat yang artinya mengajui kesalahan dan laku papat atau empat laku yang juga tercermin dari wujud empat sisi ketupat . Empat laku, memiliki makna yang mengartikan :
1. Lebaran (kata dasar lebar) berarti pintu ampun atau ma’af yang dibuka lebar terhadap kesalahan orang lain.
2. Luberan (kata dasar luber) berarti melimpahi, memberi sedekah kepada orang yang membutuhkan.
3. Leburan (kata dasar lebur) berarti melebur dosa yang dilakukan selama satu tahun.
4. Laburan (kata lain kapur) yakni menyucikan diri, putih kembali layaknya bayi, kembali pada fitrah.
2. Luberan (kata dasar luber) berarti melimpahi, memberi sedekah kepada orang yang membutuhkan.
3. Leburan (kata dasar lebur) berarti melebur dosa yang dilakukan selama satu tahun.
4. Laburan (kata lain kapur) yakni menyucikan diri, putih kembali layaknya bayi, kembali pada fitrah.
Ketupat juga bermakna pembauran budaya yang terjadi di Indonesia antara budaya hindu dan Islam. Tidak menutup kemungkinan ketupat juga berasal dari zaman Hindu-Budha di Indonesia, hal ini melihat indikasi makanan beras yang dibungkus nyiur (daun kelapa) sudah dilakukan sebelum masa pra-Islam.
Ketupat biasanya dihidangkan dengan opor ayam dan sayur santan. Di beberapa daerah di Indonesia seperti Lombok dan Madura, ketupat baru disajukan pada hari ke-tujuh bulan Syawal pada saat Lebaran Ketupat. Lebaran Ketupat dilakukan setelah menggenapkan puasa sunnah Syawal selama enam hari. Diawali dengan mengumpulkan ketupat dan makanan lainnya di masjid dan menggelar do’a bersama, kemudian dilanjutkan dengan makan bersama dan tradisi silaturahim ke sanak family yang jauh.
0 komentar: