Nasehat Para Guru Dakwah
Ya Syaikh .. Kemewahan Bukan Cita-Cita Kami ! (Renungan di tengah Perjalanan dakwah) Oleh: Farid Nu'man Dalam sebuah perjalanan kami bersama beberapa Ikhwah, ada perbincangan menarik. Salah seorang Al Akh bertanya, "Akhi, berapa penghasilan Antum sebulan dari mengajar?" Ikhwah tersebut tersenyum dan malu menjawabnya. Namun, ketika ditanya lagi dengan nada bergurau, ia pun menjawab, "150 ribu sebulan." Inilah ikhwah kita, kader da'wah yang memiliki banyak kelompok halaqah. Ada lagi, Ikhwah yang pernah kami temui, ia aktifis dan banyak amanah da'wah yang dia emban. Ia hanya berpenghasilan tidak sampai 300 ribu rupiah dari membuat minuman penghangat badan, wedang jahe. Syahdan, di kota besar ada pula ikhwah da'iyah yang hidupnya lebih dari cukup, bahkan sangat-sangat lebih. Itu baik dan tidak masalah. Namun, jadi masalah jika ia mengiklankan kemewahan, menyeru orang kepadanya, memberikan ilustrasi keunggulan `mewah', bukan sekedar bercerita kekayaan. Ia menghiasi dengan berbagai dalil dan alasan yang dipaksakan untuk melegitimasi pemikiran dan perilakunya sendiri. Membicarakan pentingnya kekayaan, harta, kemewahan, dengan alasan maslahat da'wah dan sebagainya, karena ia sudah merasakannya. Lalu, kemana dahulu ketika keadaannya belum seperti sekarang? Kenapa maslahat-maslahat itu baru dibicarakan saat ini ? Apakah dibicarakan untuk pledoi? Apa ia tidak pernah tahu kondisi ikhwah lain yang serba sulit? Atau memang tidak mau tahu? Tak usah ajarkan kami, kami sudah mengetahui harta memang urgen. Kaya memang penting. Mayoritas para sahabat yang mubasyiruna bil jannah (dikabarkan akan masuk surga) adalah orang-orang kaya. Orang kaya yang bersyukur lebih utama dari orang miskin bersabar. Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam pun berdoa berlindung dari kekafiran dan kefaqiran. Dan, kami pun tetap bekerja untuk menafkahi anak dan istri kami … Alangkah baiknya jika kami tetap diajarkan -oleh da'i itu- bagaimana menjadi hamba yang shalih, hamba yang bersyukur terhadap kekayaan, bersabar atas kesulitan, berjihad, istiqamah, dan ilmu-ilmu bermanfaat lainnya untuk agama dan dunia kami, agar kami menjadi pribadi yang apa adanya menurut Al Quran dan As Sunnah, bukan pribadi yang seharusnya menurut keadaan dan status sosial. Dan, tidak usah menyesali jika dahulu kami `lupa' diajarkan tentang masalah kekayaan dalam silabus tarbiyah kami, karena hakikat kekayaan adalah kaya jiwa. Inilah keyakinan dari keimanan kepada Allah Ta'ala, dan pemahaman terhadap harta secara sehat, dan jangan memaksakan pemahaman yang asing dalam sejarah da'wah dan tarbiyah. Tetapi Ya Syaikh …, kaya bukanlah mewah, walau ia bersumber dari satu hal yang sama yakni harta, tetapi ia berbeda secara nilai yakni mentalitas. Mentalitas aji mumpung; mumpung ada, mumpung menjabat, mumpung dekat dengan orang kaya, mumpung di atas, mumpung punya binaan kalangan menengah ke atas. Tak ada kamus aji mumpung dalam kehidupan teladan kami, Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam, ia memegang kunci-kunci kekayaan, jika ia mau mudah sekali mendapatkannya. Tetapi, ia amat sederhana. Para sahabat, memang kaya, tapi adakah kita mendengar mereka mengiklankan kemewahan, dan berleha-leha ketika ada saudaranya kesulitan? Justru mereka menampakkan kesederhanaan dan kesahajaan. Mereka tahu perasaan sahabat nabi lainnya. Ya .. mereka tahu perasaan manusia .. Khadijah seorang wanita kaya, ia saudagar wanita, ketika nikah dengan Rasulullah ia menjadi sederhana. Kekayaannya ia abiskan untuk perjuangan suaminya, bukan dihabiskan untuk menikmati kenikmatan hidup. Jangan sekedar melihat besarnya mahar ketika mereka berdua nikah, tetapi lihatlah buat apa dan dikemanakan mahar tersebut, apakah mahar tersebut merubah Rasulullah menjadi laki-laki yang mewah? Tidak! Terlalu naif membicarakan kemewahan hanya melihat dari ukuran mahar pernikahan Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam dan Khadijah Radhiallahu `Anha. Umar bin Abdul Aziz ia seorang kaya, ketika menjadi khalifah justru ia tinggalkan kekayaannya. Tetapi, kewibawaan mereka sama sekali tidak berkurang, justru melambung tinggi, karena Allah Ta'ala telah muliakan mereka. Kemana contoh-contoh ini ? Rasulullah dan para sahabat adalah teladan kita, qudwah hasanah kita … selamanya. Kami tidak butuh teladan yang lain, walau ia berilmu, senior da'wah, tetapi … alhamdulillah, kami tidak pernah silau dengan istilah, gelar, dan pujian manusia yang sehaluan dengannya. Walau kami sangat menghargai dan menghormati peran dan kontribusi da'wah yang telah mereka lalui demikian panjang. Ada sudut pandang simplistis yang biasa dilontarkan oleh manusia yang ber'ideologi' kekayaan dan kemewahan. Sudut pandang kesetaraan status dan kepantasan lingkungan, agar penerimaan dirinya dilingkungan yang baru, bisa diterima dengan baik. Sudut pandang materialis kapitalis ini, satu-dua contoh kasus bisa saja benar, bahwa jika Anda bergaul dengan kalangan jet set tetapi ketika menghadap mereka dengan `hanya' motor bebek atau mobil seken, lalu Anda kurang dianggap, kurang `berharga' dimata mereka. Bisa saja itu terjadi, dan bisa pula itu perasaan dan sugesti saja. Jangan pernah memandang bahwa kesulitan hidup, adalah biang keladi segala masalah kita -para da'i dan umat Islam- saat ini. Tak ada manusia satu pun yang ingin susah dan miskin, tetapi jangan pula menganggap kekayaan adalah solusi jitu, yang akhirnya harus dikejar-kejar dan diserukan secara demonstratif, karena taqwa dan keshalihan itulah solusi, sedangkan kekayaan adalah penunjang atau bisa juga fitnah. Dari Abu Hurairah Radhiallahu `Anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya, kalian tidak akan mampu menguasai manusia dengan harta kalian, tetapi kalian bisa menguasai mereka dengan wajah yang bersahaja dan akhlak yang baik." (HR. Abu Ya'la, dishahihkan Al Hakim, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Kitab Al jami', Bab Targhib fi Makarimil Akhlaq, hal. 287. Hadits no. 1341. Cet 1, 2004m/1425H. Darul Kutub Al Islamiyah) Dari Sahl bin Sa'ad Radhiallahu `Anhu dia berkata: "Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam, dia berkata: "Wahai Rasulullah tunjukkanlah kepadaku jika aku lakukan maka Allah dan manusia akan mencintaiku. " Maka Ia bersabda: "Zuhudlah di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa-apa yang ada pada manusia, niscaya manusia akan mencintaimu. " (HR. Ibnu Majah, sanadnya hasan. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Kitab al Jami' Bab Zuhd wal Wara', hal. 277. Hadits no. 1285. Cet 1, 2004M/1425H. Darul Kutub Al Islamiyah) Da'wah ini telah diramaikan oleh beragam manusia; tipe, kecenderungan, skill, kebiasaan, sifat, dan niatnya. Faktor niat inilah yang akan mengendalikan dan mengarahkan masing-masing da'i, bahkan yang menentukan masa depan mereka di akhirat. Mereka sama-sama berjuang, sama-sama lelah, tapi mereka akan dibangkitkan di akhirat sesuai niatnya masing-masing. Ada yang niat dunia seperti ketenaran, popularitas, kekayaan, jabatan, wanita, walau ini mampu disembunyikan dengan sangat rapi di dunia, berbungkus da'wah dan berhasil mengelabui banyak manusia, tetapi akan tersingkap di akhirat. Semoga Allah Ta'ala merahmati dan memberikan balasan yang lebih baik bagi da'i-da'i akhirat, yang hanya mengharapkan Allah Ta'ala dan ketinggian agamaNya. `Aisyah bertanya: "Ya Rasulullah, bagaimanakah dibinasakan semua, padahal di antara mereka ada orang-orang yang tidak ikut-ikutan seperti mereka, yaitu orang-orang yang di pasar dan lain-lain?"Rasulull ah menjawab: "Mereka dibinasakan semua, lalu dibangkitkan menurut niat masing-masing. " (HR. Bukhari- Muslim, lafaz ini menurut Bukhari. Riyadhus Shalihin, Bab Al ikhlas wa Ihdhar an Niyah, hadits no. 2. Maktabatul Iman, Manshurah) "Barang siapa yang beramal akhirat dengan tujuan dunia, maka dia tidak mendapatkan bagian di akhirat." (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Al hakim dan Al Baihaqi. Al Hakim berkata: sanadnya shahih, dan disepakati Adz Dzahabi. Al Haitsami mengatakan hadits ini diriwayatkan Ahmad dan anaknya dari beberapa jalur, dan para perawi Ahmad adalah perawi shahih, Majma' uz Zawaid 10/220) Jika ada yang menyangka, ini adalah sikap sok suci, sok tidak butuh kekayaan, apalagi disebut iri, maka ia amat keliru. Namun yang menjadi tema dan sorotan kami adalah gaya hidup para da'i yang mengalami sock budaya, OKB, Orang Kaya Baru, lalu dia demonstratif dalam hal itu. Dia lupa bahwa dirinya berada di lingkungan da'wah, dan para ikhwah yang kebanyakan `tidak seberuntung dia'. Para Ikhwah yang hidupnya kembang kempis. Bergesernya orientasi da'wah ilallah menjadi da'wah `Road to Senayan', `Road to Kekayaan', inilah yang harus disorot dan diwaspadai. Sesungguhnya, peringatan itu bermanfaat buat orang-orang beriman. Namun bagi yang sulit menerima nasihat, hatinya kesat, maka kami katakan: Berpestalah … bersenang-senanglah … dan lakukan semua kehendakmu …. Anda bebas saudaraku… Tetapi, pesta pasti berakhir itu pasti …. Kami juga meyakini, bahwa secara nilai normatif, banyak yang lebih faham dari kami tentang ini, lebih faqih, lebih berpengalaman, lebih cerdas, lebih pandai, lebih tahu masalah, pokoknya segalanya di atas kami …. Tetapi, yang kami (para kader da'wah) minta adalah jangan ajarkan kami kemewahan, sebab itu bukan cita-cita, obsesi, dan ambisi kami … jangan contohkan kami perilaku yang dahulunya sama-sama kita benci, sebab itu kabura maqtan … dan jangan paksa kami untuk mengikuti jejak perilaku dan pemikiran yang Anda iklankan …. "Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, Maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik." (QS. Al Isra' : 18-19) Wallahu A'lam wa Illahil `Izzah |
Sikap Peduli Lingkungan?
Temukan jawabannya di Yahoo! Answers!






0 komentar: