Artikel
Anomali Pendidikan Karakter
" Nak, Apa yang kamu sukai lebih dulu gurunya atau mata
pelajarannya?"
Pendidikan karakter adalah membentuk
karakter dan kepribadian anak bangsa menjadikan anak-anak bangsa ini memiliki
kepribadian yang cakap, inovatif, kreatif dan bermoral. Setiap pendidik
memiliki keinginan anak didiknya sukses untuk masa depannya, untuk itu banyak
cara yang harus dilakukan untuk membentuk karakter.
Hal ini merupakan prioritas utama
dalam mengatasi prilaku dan sikap anak didik kita semakin hari semakin jauh
dari kata karakter yang baik itu. Para pendidik mengalami kesulitan dalam
menerjemahkan bagaimana sesungguhnya pembinaan pendidikan karakter itu.
Begitupun juga stackholder di Dinas
Pendidikan selalu menggaungkan tentang pendidikan karakter bagi peserta didik.
Pembinaan imtaq sering dilakukan di internal sekolah tetapi tidak berpengaruh
juga pada perubahan prilaku para anak didik kita. Pertanyaannya kenapa seperti
itu? hal ini menjadi pertanyaan kita semua sebagai seorang pendidik. Pendekatan
agama memberikan solusi pada perubahan prilaku anak didik kita, tetapi nyatanya
hasilnya tidak memenuhi target yang kita inginkan. Sebagai seorang guru
tentunya tidak harus putus asa 'banyak jalan menuju roma' kalimat yang pantas
untuk kita ungkapkan di kondisi hari ini.
Pendidikan keluarga adalah pendidikan
karakter yang terbaik, peranan orang tua dan lingkungan keluarga menjadi
benteng terakhir bagi masa depan anak kita. Orang tua yang baik harus menyadari
sepenuhnya bahwa yang bisa mendidik sepenuhnya anak-anak yang diberikan amanah
oleh Sang Pencipta adalah kedua orang tua. Pendidikan karakter tidak mungkin
menyerahkan sepenuhnya pada para guru disekolah. Pendidikan karakter harus
dimulai dari lingkungan keluarga. Disamping itu guru harus memiliki peranan
penting dalam membentuk anak didik kita.
Pendidikan karakter itu salah satunya
ada pada ruang seni teater. Disana sesosok manusia diajarkan tentang moral values melalui media seni pertunjukkan.
Seni pertunjukkan teater mengajarkan segala bentuk prilaku manusia dengan
manusianya, manusia dengan kelompok manusianya, manusia dengan organisasinya,
manusia dengan alamnya dan manusia dengan Tuhannya dalam sebuah pertunjukkan.
Fase pendidikan karakter dimulai
sejak pengenalan seni teater. Fase belajar tentang olah vokal, oleh gerak, olah
jiwa, dan meditasi bumi. Kita di ajak bercermin diri bahwasannya manusia
mempunyai kelemahan dan kelebihan. Melalui pengajaran seni teater pendidikan
karakter itu dibentuk. Kita lebih bijak dalam menghadapi persoalan. Itu adalah
salah satu alternatif dan media untuk penyaluran bakat dan minat para peserta
didik disamping kegiatan yang lainnya.
Mendirikan sebuah ekstrakurikuler di
lingkungan sekolah adalah sebuah solusi terbaik dalam mendidik anak kita.
Sekolah bukan hanya sekedar bangunan yang manusia-manusianya tidak melahirkan
ide-ide kreatif. Sekolah harus mengambil peran untuk memfasilitasi segala
aktifitas yang menjurus pada pendidikan karakter, namun fakta dilapangan acap
kali kepala sekolah sangat pasif terhadap hal-hal pendidikan karakter yang pada
akhirnya sekolah menjadi aktifitas yang membosankan.
Guru hadir menggugurkan kewajiban
yaitu mengajar siswa, siswa hadir ke sekolah untuk menggugurkan kewajibannya
sebagai siswa tanpa ada aksi kreatifitas dalam bentuk kegiatan
ekstrakurikulernya. Kepala sekolah hanya sebagai jabatan saja tetapi miskin
kreatifitas dan inovasi untuk membangun, oknum-oknum kepala sekolah hanya
kreatif ketika menyangkut proyek sekolah, dana BOS(Biaya Operasional Sekolah),
dan perjalanan dinas tetapi hasilnya nihil, perjalanan dinas lebih banyak unsur
liburannya. Hal ini berlaku pada oknum-oknum kepala sekolah yang memang minim
prestasi dan ketaladanan yang baik sebelum diangkat menjadi kepala sekolah.
Pendidikan karakter apa yang bisa kita harapkan ditengah kondisi lingkungan
sekolah yang tidak kondusif.
Guru kreatif, guru berprestasi, guru
profesional, guru yang berintegritas dengan berbagai macam sebutannya menjadi
tidak memiliki ruang untuk membangun dan kreatif ditengah kondisi lingkungan
sekolah seperti ini. Fakta ini banyak kita temukan pada dunia pendidikan di
republik ini. Negara dalam hal ini pemerintah lebih banyak menghabiskan
anggaran pendidikan pada hal-hal yang sifatnya normatif sekedar menghabiskan
anggaran tetapi tidak menyentuh tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Sesungguhnya pendidikan karakter bukan kita temukan di ruang-ruang seminar,
workshop, diklat dan petuah-petuah para intelektual-intelektual dalam balutan
konsep dan teoritis. Pendidikan karakter itu aplikatif bukan retorika. Sangat
miris sekali kita melihat di kehidupan keseharian kita pendidikan lebih pada
sebatas seminar yang sifatnya teoritis dan tidak aplikatif. Para stackholder pendidikan lebih senang pada
slogan bukan aksi? mengadakan seminar pendidikan karakter yang dihadiri oleh
ratusan guru dan kepala sekolah adalah anomali yang tidak ada ujungnya.
Pemateri berbicara dengan
retorikanya, guru dan kepala sekolah hanya menjadi pendengar setia bahkan tidak
disimak. Bosan rasanya kita selalu berbicara pendidikan karakter di sudut
ruang-ruang hampa tapi hasilnya tidak memberi pengaruh yang berarti pada diri
peserta didik.
Kasus-kasus yang terjadi di dunia
pendidikan merupakan tamparan keras bagi negara yaitu pemerintah sebagai
penentu kebijakan pendidikan, para stackholder
pendidikan, sekolah dan para pendidik'pahlawan tanpa tanda jasa'. Tanggung
jawab tanpa batas tapi minim penghargaan merupakan potret para pendidik dan
dunia pendidikan di republik ini.
Anggaran pendidikan yang sangat besar
di tahun 2017 ini tidak menjamin proses pendidikan sumber daya manusianya
memenuhi target yang sesuai dicita-citakan oleh kita semua. Tidak heran di
kota-kota besar bermunculan sekolah-sekolah swasta yang berbasis pendidikan
alam, dimana ruang alam mereka jadikan sebagai ruang pembelajaran, munculnya
sekolah "home scholing',
bimbingan belajar(bimbel), Rumah Qur'an yang menawarkan berbagai macam
pendidikan karakter yang inovasi dan kreatif.
Hal ini menjadikan para wali murid
mempercayakan pendidikan pada lembaga-lembaga swasta tersebut untuk mendidik
putra-putrinya. Kalaupun kita kaji dan analisis itu adalah sebuah bentuk
penolakan terhadap pendidikan formal yang tidak memberi pengaruh pada
pendidikan karakter anak-anaknya. Suatu hal yang membahayakan nantinya pada
masa yang akan datang kalau pada akhirnya pendidikan formal akan terpinggirkan
oleh pendidikan informal. Para orang tua wali lebih percaya pada bimbingan
belajar(bimbel), padahal kalau kita lihat yang mengikuti bimbingan belajar itu
adalah anak-anak yang pintar artinya mereka masih menganggap belum pintar atau
masih merasa kurang dengan apa yang diajarkan oleh guru-gurunya disekolah. Si
anak menjadi anak yang tidak merdeka dalam ilmunya, usia yang masih muda tetapi
harus dipaksa untuk menyerap semua ilmu pengetahuan. Padahal sesungguhnya
pendidikan karakter yang di inginkan bukan hanya menyoal tentang pencapaian
kognitifnya(pengetahuan) saja tetapi yang di utamakan dalam pendidikan karakter
adalah afektif(sikap/prilaku). Mengajak anak kita membantu, menolong dan
berempati pada sesama adalah salah satu cara menanamkan sikap-sikap dalam
pendidikan karakter.
Disinilah peran seorang guru dan
orang tua mampu membimbing dan melihat potensi dari anak-anak kita. Seorang
anak yang tidak bisa satu mata pelajaran tetapi si anak itu katakan bodoh. Dia
mungkin unggul di segi attitudenya(sikap/prilaku) atau kemampuan psikomotirik
lainnya entah itu dalam bidang seni, menulis, membaca dan kemampuan lainnya.
Disinilah dibutuhkan kejelian pada kita sebagai pendidik dan orang tua.
Ketika kita masih menganggap bahwa
anak didik kita bukan seperti anak kandung kita, maka proses transfer ilmu
tidak akan sampai pada peserta didik kita. Artinya senangilah anak didik kita
seperti kita menyenangi anak kita sendiri. Tugas kitalah mengantarkan anak
didik kita ini untuk lebih siap menggapai masa depannya dengan memberikan dan
menanamkan pendidikan karakter yang bermanfaat.
Eka
Ilham.S.Pd.,M.Si
Ketua
Umum Serikat Guru Indonesia(SGI) Bima
0 komentar: